Pengemis dan Photo Model

Setiap hari para pengguna transportasi umum dapat melihat mereka. Duduk di lantai, kadang ditemani seorang anak kecil, satu tangan menengadah ke atas. Namun ketika kamera di sekitar stasiun menangkap mereka lalu kemudian datang sebuah pengumuman, „Mengemis dan tinggal di stasiun kereta bawah tanah, dilarang!!, mereka harus bergegas pergi. Tulisan berikut ini menunjukkan sisi lain bagaimana para pengemis berpikir dan hidup. Belum pernah ada sebelumnya photo photo dari seorang pengemis wanita di tempat tinggalnya sendiri. Blaulicht und Graulicht menuliskannya untuk anda. (Kehidupan) pengemis2 itu terkadang di luar yang kita bayangkan.

(Wina, Oktober 2005) Pria yang bercambang itu berdiri di dekat stasiun kereta bawah tanah "Friedensbrücke“. Dia memegang sebotol bir di tangannya. Usianya sekitar 40 tahun, tinggi 170an cm. Di perutnya menggantung sebuah tas pinggang, di mana dia menyimpan uang dan hp nya. Dia sudah berdiri satu jam di sana. Seperti sedang menunggu seseorang. Kenyataannya, dia adalah seorang "penjaga" dan dia tidak sendiri. Persis di ujung anak tangga di bawahnya, di staisun yang sama, duduk seorang wanita yang berusia 20an tahun. Sambil bersimpuh di atas kedua kakinya, memasang muka yang sedih, tangannya menengadah meminta iba dari orang yang lalu lalang.

Lelaki bercambang itu bertugas untuk memberi tanda. Dia tahu bahwa mengemis itu dilarang. Yang dia awasi adalah para petugas security kereta yang berseragam ungu ataupun polisi Vienna yang berseragam hijau. Jika salah satu dari mereka ada yang datang, lelaki bercambang cukup memberi signal agar si wanita pengemis di bawah bisa segera bergegas dari situ. Keduanya bekerja sama. Keduanya adalah pasangan yang hidup bersama. Hari itu Sabtu, siang hari, di Vienna.

Lelaki bercambang tersebut lancar berbahasa Jerman. Berasal dari Afrika Utara, tepatnya Aljazair. Dia mengaku muslim tapi tingkah lakunya sudah kebarat baratan. Penampilannya lebih mirip sebagai businessman . Awalnya dia ragu untuk berbicara banyak. Tapi semakin lama bicaranya semakin lancar mengalir. "Kami orang orang yang berasal dari Afrika Utara di Vienna saling kenal. Orang Mesir, Tunisia ataupun Aljazair, semuanya sudah seperti keluarga besar,“ katanya. "Kami sering mengadakan pertemuan bersama, sekitar 3000 orang yang tinggal di kota ini dan kami berbicara dalam bahasa Arab, Perancis atau Inggris“. Dia memberitahu bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa bekerja dan mendapat penghasilan layak. Itulah sebabnya dia tidak keberatan jika ada di antara mereka yang mengajak istri/pasangan hidupnya untuk ikut mengemis mencari tambahan penghasilan.

Di tengah tengah percakapan, ketika ditanya siapa perempuan yang mengemis yang menjadi pasangannya, apakah pacar atau istri atau cuman sekedar teman, pria itu tersenyum menjawab, "semuanya". "Apakah dia kaki tangan Anda?" "Kaki tangan? Tentu bukan, " jawabnya tak senang. "Yang jelas mengemis lebih baik daripada mencuri, " tekannya

Umurnya 21 tahun. Hanya bisa berbicara bahasa Slovakia dan tidak mengerti bahasa Jerman. Dia nampak ramah. Mengaku mempunyai seoran anak yang ditinggal di Slovakia dan memilih mengadu nasib di Vienna, kota yang berpenduduk 1,6 juta jiwa, di mana dia tinggal bersama lelaki dari Aljazair yang menyuruhnya untuk mengemis demi kehidupan yang lebih baik.

Tampaknya hari sabtu itu mereka kurang beruntung. Setengah jam kemudian si wanita naik menemui pria bercambang tersebut. Menyerahkan beberapa keping uang logam. Jam menunjukkan pukul 13.30. "Kita pindah saja ke Kettenbrückenkasse," ujarnya kepada si wanita sambil menyebut salah satu nama stasiun kereta bawah tanah yang lain.

Beberapa hari kemudian, telepon (saya) berbunyi, "Bisakah kita bicara tentang photo photo lagi?" Tentu saja. "Bisakah kita bertemu?" Kenapa tidak. "Anda naik subway nomor 6, turun di Längenfeldgasse, keluar menuju arah belakang kereta. Datang tepat jam 1 siang. Saya tunggu di sana," lalu telpon ditutup.

Saat bertemu sebelumnya, si pria bercambang itu mengungkapkan jika ia ingin mengorbitkan "istrinya" sebagai photo model. Menurut informasi yang dia dapatkan, OKM (Austrian Contact Magazin) bersedia membayar 200 sampai 400 Euro untuk setiap sesi photo. Hari itu, dia menelepon menawarkan sesi photo (kpd saya) di tempat tinggalnya.

Längenfeldgasse, hari Minggu, hampir jam satu siang. Si Pria sudah menunggu di ujung jalan. Saya membawa Nikon kesayangan seharga 3.000 euro. "Mari ke tempat saya," ujarnya. Kami lalu menyeberangi jalan, memasuki sebuah gedung apartment. Di bawahnya terparkir rapi beberapa buah sepeda, di sampingnya berjejer kotak jualan koran. Gedung tersebut tidak mempunya lift. Lantai satu, lantai dua, lantai ketiga. "Berapa lantai lagi?". Dia tidak menjawab. Setelah sampai ke lantai lima, dia belok. Di belakang pintu kayu, masih ada beberapa apartment berupa kamar (semacam studio). Kamar2 tersebut memiliki satu dapur yang digunakan bersama yang terletak di gang. Si Pria tinggal di salah satu kamar tersebut (di tengah) bersama "istrinya" yang berasal dari Slovakia itu.

Tempat mereka sedikit mengejutkan. Dalam artian, jauh dari apa yang sering kita baca di "Augustin" (majalah untuk tunawisma). Kelihatan berbeda. Kami memasuki sebuah ruangan yang terang. Berlantaikan parket, ada karpet kecil, di bagian tengah terdapat tempat tidur double size. Dindingnya berwarna cerah, jendela di mana cahaya matahari bisa tembus ke dalam. Ada TV yang menayangkan CNN, DVD player dan tape recorder. Bahkan beberapa orang Austria sendiri bakal senang jika dapat tinggal di tempat semacam ini. Jika anda mengharapkan tempat tinggal standar untuk seorang pengemis, anda salah.

Sebelum sesi photo dimulai, sang pria mengingatkan sesuatu. (saya) kemudian menyerahkan 50 Euro kepadanya sebagai honor. "Ini cuma harga perkenalan. Berikutnya anda harus membayar 150 atau 200 euro," katanya mengingatkan. "Cuma 25 kutip," ujarnya lagi.

Dan pembicaraan pun berpindah mengenai tempat tinggal mereka. "Sewanya 400 euro sebulan". Ketika topik pembicaraan mengarah ke kegiatan mengemis, "(hal itu) tidak wajar," "tidak (ada komentar) sama sekali," ujarnya. Dia kemudian menekankan bahwa, "Mengemis lebih baik daripada mencuri". "Tapi bukankah lebih baik lagi jika bekerja?"

Si gadis Slovakia terdiam sejak tadi. Hanya memandangi kami berbicara. "Itu betul," kata si pria lagi. "Tapi bagaimana?" jawabnya balik bertanya." Sebagi seorang pencari suaka, saya menerima 350 euro sebulan dan saya tidak boleh mencari kerjaan karenanya. Dia (sambil melihat ke arah si wanita) hanya hidup dari bantuan social pemerintah, 300 euro. Jika dia bekerja, dia diupah 500 euro sebulan sementara kalau mengemis, dia bisa mengumpulkan 600-700 sebulan".

Dia mengaku kenal beberapa pengemis yang mencari tambahan dengan menjadi photo model begini. Kadang sang tamu cuma ingin memotret, kadang ingin yang lain. Yang jelas mereka paling murah membayar 150 euro. Ketika acara pemotretan dilakukan, sang pria hanya duduk mengamati. Terkadang dia memerintahkan si wanita melakukan pose tertentu. Tidak ada gurat penyesalan atau keberatan sedikitpun, meskipun sang "istri" sedang dipotret dalam keadaan telanjang.

"Kami berbagi semuanya," lanjutnya. "Termasuk 50 euro hasil pemotretan ini".
Lalu kenapa seorang wanita, 21 tahun, mau tinggal bersama lelaki berumur 40an tahun, yang hanya menyuruhnya untuk mengemis sekaligus "menjual" dirinya?
Yang jelas keduanya hidup saling bergantung. Si wanita terdampar di negeri orang, bahasa dan lingkungan berbeda, butuh figur lelaki sementara sang pria selain karena urusan biologis juga karena si wanita bernilai komersil.

Setelah sesi pemotretan selesai, alat2 dibereskan, kami lalu pamit sambil berjanji untuk tetap saling menghubungi.

Diambil dari "der Bettler und Nacktfotos (Pengemis dan photo2 telanjang) yang ditulis oleh Marcus J. Oswald di
www.gerichtlive.twoday.net

Tulisan asli beserta photo2, di http://gerichtlive.twoday.net/stories/1050871






Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Family Name

Cukup sering saya “bermasalah” dengan "family name" di sini, utamanya setiap kali butuh registrasi yang melibatkan anak dan saya. Umumnya mereka heran karena nama anak saya berbeda sama sekali dengan nama saya. Pernah suatu kali waktu membawa anak periksa ke dokter, dengan muka serius si resepsionis memanggil dan sambil mendekatkan wajah, dia berbisik (tidak mau orang lain dengar), “Kamu betul betul yakin dia anak Anda?”. Itu karena dia mendapati di kertas asuransi yang saya tunjukkan sebelumnya, nama sang anak berbeda sama sekali dengan nama saya. Saya hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa sebagian besar dari orang Indonesia tidak “memelihara” family name..bla..bla..bla. Melihat raut wajahnya yang masih kurang percaya, saya berkata, “Jika belum yakin, silahkan anda tanyakan kepada istri saya, bahwa memang sayalah bapaknya!”.

Kalau dipikir-pikir, sebagian kita orang Indonesia memang suka asal-asalan dalam memberikan nama kepada anak. Asal-asalan dalam artian tidak ada aturan baku. Ada nama yang mengandung doa atau keinginan orang tua buat si anak tapi banyak juga yang memberi nama untuk sekedar “gaya2an”.
Tidak heran, buku yang berisi nama2 bayi menjadi buku wajib buat orang tua yang sedang menunggu kehadiran bayinya. Nama2 modern pun semakin jamak digunakan menggeser nama nama “kuno”. Karena apa? Karena tidak ada aturan baku. Cobalah anda simak kalau ke dokter anak misalnya. Setiap kali nama sang anak disebut bila dapat giliran untuk diperiksa, tidak ada lagi nama macam Bambang Sutrisno, Baharuddin Abdullah ataupun Siti Jamilah yang disebut…:-)

Ada yang bapaknya bernama Hasan Basri, anaknya malah bernama Andhika Putri Permata.
Permata nya dari mana, Hasan atau Basrinya ke mana…:-)
Saya ingat tetangga dekat rumah waktu saya kecil memberi anaknya nama Ronald Reagan!! Mungkin sang orang tua mengharapkan si anak kelak bisa sukses jadi artis trus berlanjut jadi presiden. Tapi saya bisa membayangkan pertanyaan2 apa yang bakal dia dapati seandainya si Ronald itu berkunjung ke LN, apalagi kalau anaknya si Ronald ini kemudian diberi nama Mikhail Gorbachev.


Ngomong2 soal nama keluarga, baru sekitar tahun 1000 SM orang orang di Eropa mulai memakai tradisi ini. Dimulai dari daerah bagian Selatan terus menyebar ke Utara. Pada masa sebelumnya, saat penduduk masih sedikit, di mana kebanyakan orang tidak pernah pergi jauh dari tempat kelahirannya, first name sudah dianggap mencukupi. Bahkan para raja raja jaman dahulu juga cuma punya single name (individual name) tanpa nama family di belakangnya.

Pada abad pertengahan, saat di mana keluarga bertambah besar jumlahnya, desa desa juga bertambah ramai, individual name menjadi tidak cukup untuk membedakan orang orang. Seorang John mungkin dipanggil John anaknya si William sementara John yang lain dipanggil John anaknya si Robert. Saat itulah family name mulai dirasa penting untuk membedakan satu sama lain. Lalu, bagaimana asal muasal family name?


Sebagian besar dari family name diambil dari:
Patronimic Name; berasal dari nama sang ayah. Di gunakan di banyak negara mulai dari Barat sampai Timur, misalnya di Inggris adaJohnson (son of John), di Swedia ada Johansson, di Denmark, Jensen. Pattern yang sama digunakan pula di negara2 Balkan seperti Petrescu (son of Peter), Ivanov (son of Ivan), Ivanova (daughter of Ivan).
Lalu ada juga O’Brien (son of Brien), MacDonald atau McDonald (son of Donald).


Local or Geographic Name; berasal dari lokasi atau tempat tinggal seseorang. Contohnya, Schwarznegger (orang2 dari daerah Schwarznegg), Kissinger (dari Kissing), Churchill (orang yang tinggal dekat gereja di atas bukit).

Profesi sang ayah; seperti Schumacher (pembuat sepatu), Smith (tukang besi), Bauer (petani), Becker (pembuat roti).

Setidaknya, dengan family name, orang bisa lebih mudah melacak asal muasalnya ataupun silsilah keluarga. Beda dengan kita yang tidak memelihara tradisi ini, untuk melacak 3-4 generasi ke atas saja sudah kesulitan..:-(

So, mungkin sebaiknya kita mulai memikirkan satu family name untuk dipakai anak cucu kita. Selain agar mudah dilacak, biar orang lain juga percaya kalau sang anak betul darah daging kita....:-)


taken from many sources.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Kampf ums Überleben

Sejak beberapa bulan ini Polisi di Muenchen mencari para pengemis yang mulai banyak berkeliaran di pusat keramaian. Sebagian besar berasal dari Eropa Timur yang sejak bergabungnya negara mereka ke dalam Uni Eropa, semakin sulit untuk “dijaring” diperbatasan. Yang menarik adalah pengakuan dari beberapa orang diantara yang tertangkap tentang kehidupan mereka.

Thorsten Dörfler, seorang polisi mengatakan bahwa meskipun dalam sehari pengemis tersebut terkadang bisa mengantongi 100-150 Euro, kenyataannya mereka hanya mendapatkan 10 Euro dan sisanya harus diserahkan kepada “kepala suku” yang membekingi mereka. “Si kepala suku biasanya datang setiap 2-3 jam sekali untuk mengumpulkan uang yang berhasil didapat,” lanjut Dörfler.

“Hidup kami tidak layak,” kata Julia yang berasal dari Rimavska, Slovakia yang sering datang ke Muenchen hanya untuk mengemis. “Kami tidak punya kerjaan di sana dan tunjangan yang kami terima dari negara tidak cukup untuk hidup,” lanjutnya.
Dia dan ribuan orang di Rimavska hanya punya satu cara untuk survive, “mengemis” di luar negeri. Hampir sebagian besar dari mereka tinggal di gedung2 tua, tanpa air dan tanpa listrik karena tak sanggup membayar. Satu2nya sumber air untuk mereka adalah semacam sumur yang dipakai bersama2.
Seperti yang lainnya, dia juga “berhasil” menjadi pengemis di Muenchen berkat bantuan seseorang yang mengatur segalanya. Ketika ditanya berapa yang harus dibayarkan kembali ke orang tersebut, Julia menolak memberitahu.

Lain lagi yang diungkapkan oleh Roland Balogh, 21 tahun yang juga sering ke Jerman hanya untuk mengemis. Selain karena butuh uang untuk survive, dia menjadi pengemis karena orang tuanya sering meminjam dari rentenir dan tak sanggup membayar kembali pinjaman yang ditambah bunga yang tinggi.
“Jika ibu tak punya uang untuk membeli makanan, kadang dia meminjam dari tetangga. Saya mengemis untuk membayar kembali hutang itu,” ujarnya.
Dia tinggal bersama orang tua, saudara dan ipar2nya di sebuah apartment satu kamar di mana listrik dan air tidak tersedia. Ayahnya, Barnabas Balogh menambahkan, “Jika kami tidak membayar hutang tepat waktu, mereka akan mengancam ataupun memukul kami. Jika tetap tak mampu, mereka akan memaksa salah satu anggota keluarga untuk jadi pengemis di luar negeri sampai hutang kami lunas”.

Menteri Sosial Slovakia, Ludovit Kanik ketika ditanya apakah negaranya malu karena hanya bisa “mengirim” penduduknya ke Negara lain untuk mengemis, balik bertanya, “Apanya yang mesti malu? (sejak bergabung dengan EU) perekonomian kami membaik, pengangguran berkurang?”


Source: ZDF online
Kampf ums Überleben = Berjuang untuk Hidup.




Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Survei Membuktikan

Wanita yang cantik lebih disenangi daripada yang pintar. Laki laki lebih baik dalam melihat daripada berpikir.

Hasil survey yang dilakukan di Inggris terhadap 2000 orang pria dan wanita menegaskan hal itu. Setiap hari, pria rata rata menghabiskan 16 menit waktunya untuk memandangi wanita sementara sebaliknya kaum hawa hanya menghabiskan 90 detik!!

Lalu apa saja yang jadi objeknya? Sebagian besar pria senang memandangi dada, bokong dan kaki. Lucunya, tidak ada yang berani melakukan kontak mata sedikitpun sebelum atau sesudahnya. Sementara di pihak wanita, hampir setengah dari mereka melakukan kontak mata pada awalnya lalu dilanjutkan dengan memperhatikan senyum dan badan si pria.

Ketika ditanyai di mana saja para pria tersebut memandang "mangsanya", ditemukan jawaban bahwa sebagian besar dilakukan di Cafe, Restaurant dan Disco, sisanya di Supermarket.

Meski sepertiga dari mereka pernah bertengkar dengan pasangan karena "kedapatan", survey tersebut sepertinya mengijinkan hal tersebut karena mereka juga mengutip bahwa memandangi wanita cantik dapat memperlancar peredaran darah dan baik buat jantung yang effeknya sama dengan berolahraga selama setengah jam.




Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Kertas Putih Itu

Photonya sempat menghiasi beberapa surat kabar lokal di sini. Terlentang tanpa baju, muka meringis menahan perih, iga-iga yang terpampang jelas berbungkus kulit nyaris tanpa daging. Tulang2nya kecil, kurus dengan perut yang “menonjol”. Tatap matanya kosong, untuk bergerakpun tubuhnya tak mampu.





Bukan.....bukan potret tentang anak yang kelaparan di Afrika melainkan potret seorang anak bernama Lukas yang berasal dari Sachsen, Jerman. Orang tuanya tidak pernah pedulii dan merawatnya dengan baik. Ketika pertama kali ditemukan oleh Polisi di rumah mereka, Lukas hampir mati kelaparan, usianya saat itu 19 bulan, dengan berat yang cuman 5 kilo, sangat jauh dari berat normal.
Sekarang, setelah tiga tahun berlalu, meski sang ortu diadili, dicabut hak asuhnya, si kecil Lukas tetap saja menyimpan trauma yang mendalam. Bicaranya hanya sepatah kata, sering menggigit sendiri tangannya ataupun berusaha memakan apa yang dilihatnya.

Di Bremen, Kevin (2 tahun) mengalami nasib yang lebih parah. Ketika polisi datang menjemputnya untuk disimpan di panti anak2, Kevin tidak ditemukan. Ayahnya yang diduga mengidap kelainan sejak kematian sang istri setahun sebelumnnya tidak mau buka mulut. Setelah lama menggeledah, polisi akhirnya menemukan si kecil Kevin di dalam lemari pendingin, diantara tumpukan daging, tidak bernyawa.

Sejatinya, anak adalah masa depan, tempat segala asa bertumpu. Anak adalah dambaan setiap insan, buah cinta kasih bersama. Setiap pasangan menanti kehadirannya. Melihat mereka seperti melihat lorong waktu, wajah kita di masa datang, wakil kita suatu saat nanti.
Agama mengingatkannya sebagai karunia sekaligus cobaan. Yang lain menyebut sebagai “malaikat” kecil yang suci dari dosa.

Mengikuti tumbuh kembangnya centi demi centi, mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya ataupun melihat kali pertama dia bisa berdiri adalah pengalaman yang tak terlukiskan. Bahkan sekedar melihat sepatunya yang kecil yang lebih mirip gantungan kunci menurut saya sudah mampu membuat wajah ini tersenyum.

Dunianya selalu ceria, penuh warna, tak pernah berburuk sangka. Pikirannya egosentris dan hanya selalu ingin melakukan apa yang menyenangkan dirinya. Dia tidak pernah sadar bahwa dibalik omelan yang diterima tersimpan keinginan untuk melihatnya lebih baik.
Dia juga bagaikan kertas putih bersih yang siap menerima setiap coretan orang tua dan lingkungannya. Kanvas yang tidak berdaya menerima setiap goresan warna dari orang sekelilingnya. Apa yang diajarkan kepadanya, itulah yang dilakukan. Apa yang ditanamkan kepadanya, menjadi dasar pemikirannya kelak.

Adalah tugas orang tua untuk mengajarkan kebaikan kepada mereka. Memberi contoh bukan hanya dengan kata kata tapi dengan perbuatan. Mengarahkan jalan mereka bukan memaksakan kehendak yang menurut kita terbaik tapi kenyataannya mengeksploitasi mereka. Orang tua punya sedikit hak tapi bukan berarti legalisasi untuk bersikap feodal apalagi diktator terhadapa mereka. Meski anak adalah kanvas yang pasif tapi bukan berarti tidak perlu mendengar keinginan mereka.


Yang harus kita ingat bahwa kewajiban orang tua adalah kewajiban sebuah generasi terhadap generasi penerusnya. Kita tidak hanya wajib peduli atas darah daging sendiri tetapi juga anak2 kecil yang ada di sekitar kita, karena kita punya tanggung jawab moral dan sosial sebagai generasi yang lebih tua. Bantu mereka dengan segala kemampuan. Bisa dengan materi, nasihat, berbagi cerita, menjadi teman bermain ataupun sekedar memberi dekapan hangat yang bisa membuat mereka merasa nyaman. Jika ada anak yang terpuruk di lingkungan kita, tidak sekolah hanya karena orang tuanya kurang mampu, maka kita punya dosa sosial karenanya.

Lukas dan Kevin di atas adalah “produk” dari sebuah keluarga yang terhimpit secara ekonomi yang akhirnya merembet menjadi masalah kejiwaan ataupun sosial. Alasan klasik tapi sayangnya betul. Kita tidak pernah tahu ada berapa "Kevin2" baru setiap hari tapi yang jelas kemiskinan telah mengoyak hidup sebagian dari kita.
Dan kemiskinan telah menjelma menjadi menjadi mesin pembunuh buat sebagian anak yang dampaknya lebih memilukan dibandingkan perang sekalipun. Mungkin tidak membunuh secara fisik, tapi kemiskinan telah mematikan mimpi-mimpi, mengoyak masa depan ataupun kehidupan anak itu sendiri.
Seperti pesan seorang sahabat dalam mailnya, “ Jika kita tak mampu memadamkan api kemiskinan, setidaknya kita tidak membuatnya lebih besar”.

Lakukan sesuatu apa yang anda bisa, jangan biarkan kertas putih itu terbakar menjadi abu.


Pic taken from BILD.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Magdalena

Usianya 72 tahun. Hampir seluruh rambutnya sudah memutih. Kerutan-kerutan di wajahnya seperti melukiskan perjalanan hidupnya selama ini. Hari itu, saya mendapatinya duduk di salah satu sudut Hauptbahnhof (central station). Di sampingnya ada tumpukan majalah yang berdampingan dengan sebuah tas perempuan yang lusuh berwarna hijau. Kedua tangannya memegang majalah yang sengaja disimpan di depan dadanya agar orang yang lalu lalang tahu bahwa dia sedang berjualan.

"Gruss Gott (salam)", sapa saya ketika berada tepat di depannya. "ich wollte ein bitte (saya mau satu)!" ujar saya lagi. "Satu setengah euro," jawabnya sambil menyodorkan majalah. "Saya lagi sakit sekarang. Gigi saya tanggal semua," lanjutnya memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa saya tanya."Kenapa bisa?". "Beberapa tahun yang lalu saya membuatnya di Bosnia dengan harga yang murah. Sekarang mereka tanggal semua. Di sini biayanya 1.200 Euro dan saya tidak punya uang untuk itu," jelasnya. Dan ceritanyapun mengalir seakan dia sedang berhadapan dengan kawan lama yang kembali bertemu. Bahasa jermannya yg bercampur aksen eropa timur ditambah dengan kondisinya yang tanpa gigi membuat saya harus memasang telinga baik baik untuk menangkap apa yang sedang dia bicarakan. Dia sudah bertahun tahun tinggal di Muenchen bersama suami, meninggalkan desanya di Bosnia demi untuk kehidupan yang lebih baik. Putra tunggal mereka hidup terpisah di Berlin dan bekerja di sebuah rumah sakit. "Hidup di sini butuh perjuangan ekstra tapi setidaknya kita selalu punya harapan. Yang terpenting adalah mau bekerja keras," ujarnya tanpa bermaksud menggurui.

"...und was machst du denn hier im München, jungen Mann?" (kamu sendiri lagi ngapain di Muenchen, anak muda?) seakan tersadar telah mendominasi percakapan, dia bertanya balik kepadaku. "Bekerja," jawab saya singkat. "Kamu harus selalu bersyukur," ujarnya sambil memegang tangan saya. "Saya tidak pernah mengeluh meski hidup saya susah. Begitulah hidup, kita harus selalu bersyukur apapun yang kita hadapi," ujarnya.


Di sekitar Hauptbahnhof, sangat mudah untuk mendapati orang2 seperti Magdalena. Sebagian dari mereka adalah tuna wisma dan tinggal di sebuat tempat yang disediakan pemerintah. Sebagian lain tinggal di tempat mereka sendiri seperti ibu Magdalena tadi. Karena biaya hidup yang tinggi sementara tunjangan social dari pemerintah tidak mencukupi, mereka (orang2 yang sdh melewati usia produktif) mencari tambahan uang dari berjual majalah tadi. Setiap satu majalah yang terjual, mereka akan mendapatkan 1 euro, sisanya diberikan kepada lembaga sosial yang mencetak majalah tersebut.


"Harus selalu bersyukur", kata2 ibu tua itu masih saja terngiang ditelinga sampai beberapa saat setelah saya meninggalkannya. Hal yang mudah terucap tapi begitu sulit dilakukan terlebih buat orang yang berada di posisinya. Dari kejauhan saya melihat dua orang remaja berdiri di depannya. "Mungkin sedang mendengar nasihat yang sama," ujarku dalam hati.


Muenchen, 22.10.2006





Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Image

Suatu hari, ibunya anak anak (ciyee) yg selalu bertugas menjemput anak kami di sekolah diomelin oleh gurunya anak anak. Gara2nya pagi hari itu bapaknya anak anak (baca:saya) yg bertugas ngantarin si anak setiap pagi datang terlambat. Sebenarnya sih gak terlambat2 amat, anak saya tiba di depan kelas pada saat bel sekolah berbunyi. Tapi tetap saja sang guru ngomel krn sebelumnya para orang tua sudah diingatkan agar anak harus tiba di sekolah beberapa menit sebelum bel berbunyi supaya mereka punya waktu untuk mengganti sepatu (di dlm kelas mereka memakai sepatu berbeda), menggantung jaket, tas dan menyiapkan alat tulisnya. Jam 8 teng, si anak sdh harus duduk di bangkunya, siap menerima pelajaran.

Sebelumnya saya selalu mengantar anak jam 7.30 pagi, mengikuti jadwal bus di depan rumah. Perhitungannya, perjalanan dari rumah ke sekolah cuman 15 menit, jadi masih bisa on time. Apa daya hari itu busnya datang telat, otomatis tiba di sekolah juga telat. Karena yang nyopir waktu itu adalah cewek, saya jadi menerka2 bahwa penyebab busnya terlambat karena dia cewek, bawa mobil besar pelan2 dan serba hati hati.
Saat itu ibunya anak anak (iya dong, masa dibilang induknya anak anak) sdh mencoba menjelaskan dasar alasan kenapa anak kami terlambat, tapi setiap kali dia mau membuka mulut, saat itu pula si ibu guru memotong sambil mengangkat telunjuk, menggeleng2kan kepala, “keine Ausrede!” (No Excuse).
Alasan lupa ataupun terlambat karena macet memang kurang ampuh di sini..:-(

Dan keesokan harinya saya pun mengantar anak lebih awal, mengikuti jadwal bus yang jam 07.10 pagi. Meski hari masih gelap, lampu2 jalan masih menyala, tetap aja dengan semangat kami berangkat. Karena busnya sdh on time, otomotis kami tiba di sekolah juga lebih awal. Beberapa anak2 yang datang duluan meski kedinginan tetap setia menunggu di depan pintu. Saya langsung masuk menemani anak saya, mengganti sepatu, melepas jaket dan menyiapkan bukunya. Sang guru yang datang kemudian terlihat begitu surprised. Setelah menyapa anak saya, dia kemudian ke arah saya, berbasa basi dan berkata “ anda terlalu cepat datangnya. Selain guru, yang lain tidak bisa masuk ke dalam ruang sekolah sebelum jam 7.45 pagi karena kalau terjadi apa apa asuransi tidak akan menanggung. Bagaimana kalau anak anda ke toilet terus terjatuh?”. Sayapun hanya mengangguk-angguk karena tahu dia tidak akan menerima alasan apapun. Bukannya dipuji karena cepat datang, tetap aja diomelin.

Keesokannya lagi, tetap berangkat 07.10 pagi, busnya tetap on time, tiba di sekolah tetap kepagian tapi sekarang menunggu di depan pintu sekolah, ikut mengigil kedinginan. Biarinlah saya pikir. Toh di Indonesia orang2 berangkat jauh lebih awal. Biar bisa ngajarin anak disiplin, biar gak diomelin ibu guru, biar dibilang orang tua yang peduli dgn anaknya dan biar gak dibilang pemalas dan biar biar lainnya. Nanti apa pendapat gurunya tentang saya kalo sampai terlambat lagi.

Sesungguhnya saya, anda dan mungkin juga sebagian dari kita terkadang sangat peduli dengan pendapat orang lain. Sebelum melakukan sesuatu, tak jarang yang terlintas di benak adalah , “ Nanti orang bilang apa, Nanti yang lain nganggap apa”, etc..etc..
Pikiran seperti ini sering bermakna positif tapi tidak jarang berdampak negatif. Yang memilukan, tanpa sadar kita lebih peduli untuk menjaga image di mata manusia dibanding di hadapan Tuhan. Ada wanita yang memakai baju mahal dan bermerek untuk ke pesta demi harkat diri, sementara ketika menghadap Tuhan hanya berbaju daster yg juga dipakai ketika memasak dibungkus mukena yang kusam. Ada lelaki yang tidak sayang menghabiskan uangnya untuk pakaian tapi mendadak merasa “miskin” untuk membeli sekedar sajadah dan baju muslim.
Jika diundang ke sebuah pesta , kita selalu ingin tampil terbaik dengan busana yang terbaik (dari luar sampai ke dalam2nya) dengan aroma yang terharum. Beberapa wanita bahkan rela dipermak di salon berjam2 sebelumnya. Demi apa? Demi prestise, gengsi ataupun image. Ke mana perasaan itu ketika hendak “bertemu” menyembah Tuhan? Jelas saja tidak harus ke salon setiap kali ingin beribadah, tapi setidaknya akan lebih baik jika kita juga menjaga image di hadapanNya.

Ketika hari hari akhir ramadhan, jamaah di mesjid jauh berkurang, pengunjung di mall jauh bertambah, mungkin disebabkan oleh masalah image itu tadi.



Muenhen, zwanzigsten.zehnten.zweitausendsechs


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

TUHAN menyayangiku.....

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(QS 8:28)


Suara alarm membuyarkan lelap tidurku. Dengan menahan kantuk, saya berusaha berdiri mencari sumber bunyi. Jam 05.20 pagi hari, waktu imsak tersisa 20 menit lagi dan itu artinya sudah harus betul2 bangun untuk bersantap sahur karena alarmnya berasal dari hp saya.
Untuk menyiasati agar tidak alpa ataupun ketiduran, saya selalu memasang tiga “wecker” selama ramadhan ini. Yang pertama berasal dari jam wecker, kemudian dari hp istri dan ketiga dari hp saya sendiri. Uniknya (atau malasnya) ketiganya disetel hanya berselang 10 menit. Yup, buat saya tidur sepuluh menit lebih lama sangat berarti. Ibaratnya lomba lari, dua wecker pertama bagaikan signal aba2 atau siap2 untuk bangun sedangkan alarm ketiga adalah tanda bahwa saya sudah harus “berlari”.

Makan sahur selalu berat buat saya. Berat karena makan sambil terkantuk kantuk. Dulu semasa kecil, orang tua terkadang harus mengajak ngobrol untuk menghilangkan rasa kantuk kami. Menceritakan keutamaan sahur dan betapa kami harus bersyukur karena sebagian orang bahkan tidak punya sesuatu untuk disantap bersahur. Tidak seperti kita yang menahan lapar dan dahaga hanya sampai matahari terbenam, sebagian saudara kita harus tetap menahan lapar tanpa batas waktu. Kita yang hanya diwajibkan puasa sebulan dalam setahun, hari-hari mereka selalu akrab dengan lapar itu sendiri, sepanjang tahun. Ada yang menyebut mereka miskin, ada pula yang mencap sebagai kurang beruntung.

Sejak dulu setiap kali berdoa sesudah sholat (yang lebih banyak bolongnya itu) saya selalu memohon kepadaNya antara lain agar jika dewasa nanti (maksudnya sdh bisa nonton film dewasa tanpa ada yang larang larang) diberi rejeki, kesempatan untuk berhaji DAN keliling melihat dunia (kata “dan” sengaja pake huruf besar krn haji/keliling dunia selalu satu paket dalam doa saya). Waktu itu saya tidak punya gambaran bilamana dan bagaimana saya bisa mewujudkannya tapi saya tetap yakin dan selalu menyebut keinginan tersebut dalam doa. Kadang saya membayangkan diri sebagai seorang pelaut, lengkap dengan seragam putih dan topinya, memegang kemudi kapal menyeberangi samudera, sambil tentunya mampir di kota kota besar di setiap belahan bumi. Di lain waktu, saya membayangkan diri sedang duduk manis, memakai kaca mata ray ban di cockpit pesawat commercial dalam sebuah penerbangan international.

Bagaikan lompat dari satu scene ke scene yang lain dalam sebuah film, dengan embel tulisan “20 tahun kemudian”, dalam adegan berikutnya saya sudah mendapati diri (thanks a lot my Lord) duduk di subway dalam perjalanan ke kantor. Yup, bukan cuman sekedar jalan jalan, saya bahkan bisa menetap di negeri orang bersama anak istri. Meski kehidupan kami di sini tidak bisa dibilang mewah, hal itu jelas tidak mengurangi rasa syukur.Terkadang, kami juga bisa mengunjungi kota2 lainnya walau dengan budget yang terbatas.

Tuhan yang Maha Mendengar telah mengabulkan doaku untuk berkunjung ke belahan bumi yang lain. Tuhan memang sayang padaku. Tapi kadang terlintas di benak, bagaimana dengan mahlukNya yang lain? MahlukNya (baca: manusia) yang harus bekerja banting tulang demi makan sehari. MahlukNya yang memikul buah-buahan, berjalan di bawah terik matahari, berteriak menjajakan dagangannya. Atau mahlukNya yang hanya bisa menangis memandangi anaknya terbaring sakit, tidak bisa berbuat apa apa karena tidak punya uang untuk ke dokter. Tidak sayangkah Tuhan kepada mereka?
Bagi sebagian yang skeptis mungkin berujar, “ itu karena mereka malas dan tidak mau bekerja keras”.
Betul, kerja keras adalah kuncinya. Tapi siapa yang meragukan kerja keras seorang petani yang tetap saja mencangkul meski panas terik menerpa ataupun penjual bakso yang rela mendorong gerobaknya berkilo meter dalam sehari demi mencari pembeli.
“Itu karena mereka lebih mengandalkan otot daripada otak mereka,” ujar lain.
Tidak salah. “Menjual” otak akan lebih dihargai daripada “menjual” otot. Tapi bisakah kita memilih dilahirkan di lingkungan yang mana? Dengan orang tua yang sanggup mencukupi kebutuhan kita, menyekolahkan kita setinggi mungkin? Bukan orang tua yang “hanya” mampu memberi makan sekali sehari.


Adalah sifat dasar manusia untuk menyenangi segala sesuatu yang indah, enak dan mampu memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya. Jika saya, anda, tetangga ataupun orang orang yang kita kenal senang dengan uang, pangkat, jabatan, rumah dan mobil mewah, itu karena kita adalah manusia dan kita masih normal. Kalau kita berusaha segala cara sekuat tenaga daya dan upaya, langsung tidak langsung, halus maupun kasar, untuk mewujudkan keinginan tersebut itu juga karena kita manusia yang masih normal. Yang tidak normal dan tidak manusiawi adalah mendapatkannya dengan cara yang salah (baca:haram), dengan menyakiti orang, menyikut sana sini ataupun berbohong apalagi membohongi rakyat banyak.

Sejak kecil kita juga terkadang dididik dengan pola pikir yang terkesan materialistis. Selain dibekali pendidikan agama, kita misalnya di “brainwashed” untuk sekolah tinggi, untuk apa? untuk jadi anak yang pintar supaya kelak bisa jadi orang berguna, hidup senang, dihormati orang, rumah bagus, dll. Karena sudah begitu terpatri dan tertanam dalam instrument alam pikiran kita, pada akhirnya dalam strata kehidupan bermasyarakatpun timbul istilah orang yang pintar, beruntung, kurang beruntung, hebat, kaya, miskin, rakyat biasa, ningrat, etc.
Lebih parah lagi harkat dan martabat seseorang dinilai dari harta, jabatan ataupun kekayaan ataupun keturunan. Seseorang dianggap mulia dan terpandang, dihargai, dihormati atau disegani, hanya karena materi, apa yang dia miliki.

Bahwa apa yang kita miliki dan raih selama ini wajib kita syukuri memang benar. Rejeki, kesehatan, kedudukan, rumah tangga yang harmonis, anak anak yang lucu adalah karunia yang tak ternilai dariNya.
Yang sering terlupakan, kita selalu menganggapnya sebagai keberuntungan, selalu merasa disayang Tuhan. Di sisi lain, begitu sedang ditimpa masalah, musibah ataupun kejadian kejadian yang tidak di inginkan, langsung disimpulkan bahwa Tuhan sedang menguji, Tuhan tidak sayang pada kita (malah ada yang seakan menyalahkanNya).
Tak heran kalau sholat kita lebih khusyu, doa kita jauh lebih panjang ketika merasa mendapat cobaan.

Keberuntungan yang hakiki, nikmat sebenarnya, rahmat sesungguhnya hanya ada di akhirat, pada kehidupan setelah dunia ini. Rejeki yang berlimpah di dunia bisa menjadi malapetaka jika membuat kita kikir dan tamak, takabur ataupun tak mau berbagi kepada fakir miskin. Apa lagi jika cara mendapatkannya dengan cara yang tidak benar.
Anak yang lucu dan pintar, bisa membuat kita celaka jika kita lalai beribadah karenanya, tidak mendidik mereka dengan benar ataupun sombong membanggakannya.
Sebaliknya, setiap kesusahan yang datang bisa jadi merupakan rahmat ataupun keberuntungan buat kita jika hal itu membuat kita lebih sabar, lebih dekat kepadaNya.
Sekali lagi, kita harus bersyukur jika tidur di atas kasur yang empuk di dalam kamar yang ber AC, tapi jangan pernah merasa lebih beruntung dibanding tetangga yang tidur di atas dipan dalam kamar berdinding tripleks. Boleh jadi Tuhan lebih sayang kepada sang tetangga karena ibadahnya yang lebih ikhlas. Kasur empuk ataupun dipan hanyalah instrument yang tidak ada artinya di hadapanNya.

Tanpa mengesampingkan segala usaha dan kerja keras yang kita lakukan, apakah bisa bekerja, duduk berdasi di depan komputer, duduk di belakang kemudi sebuah bis kota, mengajar di depan murid murid, berpakaian seragam cokelat mengatur lalu lintas, atau pekerjaan lainnya, semuanya adalah ketentuan dariNya. Bila kita hanya mampu mengendarai roda dua, naik turun mobil mewah, berjalan kaki ataupun naik kendaraan umum, itu juga merupakan sunnahNya. Selayaknya yang berdasi (eksekutif) tidak merasa lebih beruntung daripada si sopir bus apalagi merasa sombong karenanya.
Semuanya cuma lakon yang harus kita jalani. Tugas kita untuk menghayati dan menjalani lakon kita masing-masing, berbuat baik sesuai peran kita di depan kameraNya.
Tuhan menilai dari kebaikan kita bukan dari pangkat, jabatan, keturunan ataupun warna kulit.
Karena Tuhan menyayangiku, anda dan semua mahlukNya.


Wallahualam bis ash sawab


Muenchen, sechsten zehnten zweitausendsechs.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Every Rose Has Its Thorn (Living in Europe).

Beberapa hari lalu, teman semasa kuliah menyampaikan unek uneknya lewat telephone, “…Eropa hanya enak untuk berlibur bukan untuk tinggal atau menetap..bla..bla...”.
Sudah lumayan lama tidak bertemu ataupun mendengar kabar tentangnya, tiba tiba saya melacak di mana rimbanya setelah dia meninggalkan pesan lewat YM!. Dari situ saya tahu bahwa sejak beberapa minggu sebelumnya dia tiba di
Geneva, Swiss untuk urusan kerjaan.
“Berapa lama kamu bakal tinggal di sana?” tanya saya. “Insya Allah sampai akhir Maret tahun depan. Mudah-mudahan saat itu udara sudah tidak dingin lagi,” harapnya. Ketika saya jelaskan bahwa biasanya hawa dingin betul betul berlalu sekitar akhir Mei, dia menyangka bahwa saya hanya menggodanya. Dia memang termasuk mahluk yang kurang suka dengan cuaca dingin dan sayangnya harus menetap di sana saat-saat cuaca lagi dingin. Cukup lama kami berbincang, menanyakan kabar masing-masing, kabar teman2 semasa kuliah dulu ataupun soal kerjaan. Setelah itu dia lebih banyak bercerita tentang culture shock ataupun homesick yang dia alami. Lingkungan, bahasa dan kebiasaan yang berbeda, living cost yang tinggi, watak orang orangnya yang relative lain ditambah iklim yang kurang bersahabat seakan melengkapi “penderitaannya”.
Sambil tertawa kecil saya berkata kepadanya, “Welcome to Europe my friend”.

Saya mengenalnya sebagai sosok yang mandiri, little bit stubborn dan berani. Bukan berani sama garong, preman ataupun berani malu, tapi berani menyeberang jalan besar, naik taksi tengah malam sendirian, etc..etc..he..he..he..
+ : "jadi dia berani apa dong?"
- : "ya...berani...maksudnya gak takut, gitu".
+ : "bukan berani yang nyangkul di sawah itu ya?"
- : yee.. itu mah bertani gob***!". #?!§$

Maksud saya, dia bukan tipe wanita cengeng. Not at all!!.
Kalau dia sedikit “berkeluh kesah” tentang keadaannya di sana, mungkin (menurut gue sih) dia gak menyangka bahwa tinggal di sini (baca:Eropa) tidak semudah yang disangka, gak seindah cerita2 yang kita dengar ataupun seperti kita lihat di film, buku atau kartu pos…:-)

Dulu kalau saya melihat salju dalam bentuk gambar ataupun di film2, rasanya gimana gitu. Putih, indah,lembut, tampak menyenangkan. Dan kenyataannya memang benar begitu. Saat winter, sejauh mata memandang hanya ada putih, indah dan sejuk di mata, lembut di tangan tapi sayangnya sangat menusuk di tulang. Dinginnya itu lho. Seminggu dua minggu mungkin masih okey tapi kalo berbulan bulan hanya ada salju dan salju, matahari tidak pernah menampakkan batang hidungnya, temperature selalu di bawah nol, neg gak sih? Belum lagi mau jalan ke mana mana susah karena tumpukannya, bibir yang pecah pecah (bukan karena panas dalam), tangan yang kaku sampai minyak gosok yang beku di kamar mandi. Sempat terbayang kalau misalnya air senipun ikutan beku begitu kita kencing, kan repot matah2in es nya…
Nah, perasaan itu yang gak bisa kita alami kalau hanya sekedar menonton film atawa melihat gambar tentang salju.

Saat saya dan keluarga boyongan ke
Muenchen hampir dua tahun yang lalu, saya juga mengalami kendala yang sama. Tidak bisa dibilang menderita tapi masa masa awal tersebut tidak mudah untuk dilalui. Saya pindah ke lingkungan kerja di mana kebanyakan kolega yg jarang mau berbahasa inggris. Setiap kali bertanya dalam bahasa inggris, maka setiap kali pula mereka menjawab dengan bahasa jerman (ngeyel kan?).Hal itu terjadi bukan cuma di kantor tapi juga di tempat umum lainnya. Dengan bekal bahasa jerman yang bisa dibilang pas pasan, (karena baru) waktu itu saya harus menghadiri berbagai macam training dan meeting. Terkadang pada saat meeting saya hanya memandangi yang hadir satu persatu tanpa tahu mau berbuat apa..:-) Sering saya hanya berkata pada diri sendiri, “ What the h*** am I doing here?”.

Mencari apartment juga perlu perjuangan. Saat itu kami diberi waktu tiga bulan untuk tinggal di apartment yang disediakan oleh kantor dan kemudian harus mencari apartment sendiri (hanya dapat housing allowance). Tidak ada gambaran bagaimana, tapi dari cerita teman-teman yg ada di sini, mencari Wohnung (apartment-bhs jerman) bukan hal yang mudah. Kenyataannya? Memang tidak mudah..:-) Mencari wohnung di sini seperti mencari jodoh. Meski anda mau, mampu bayar tapi kalau yang empunya rumah ogah, then no deal.
Orang di sini sangat selektif menyewakan tempat mereka. Meski butuh duit, mereka juga tidak gegabah mencari penyewa. Saya pernah mengunjungi “calon wohnung” yang akan saya tempati dan ketika si pemilik tahu saya akan tinggal bersama istri dan satu anak, dia serta merta menolak. Alasannya, orang asia kalau memasak suka aneh aneh bumbunya dan dia enggan “aroma” apartmentnya bakal jadi ikutan aneh.
Kami juga pernah mengunjungi sebuah Wohnung di mana pemiliknya langsung berkata tidak pada saat dia membuka pintunya. Mukanya yang tersenyum ramah berubah menjadi masam begitu melihat anak kami. Dia kurang senang dengan anak kecil krn menurutnya ribut dan suka merusak..:-(
Oh iya, data2 tentang apartment waktu itu disediakan oleh agent. Mereka mengirimkan gambar dan details tentang wohnung kepada saya dan jika ada yang diminati maka sang agent akan membuatkan janji dengan si pemilik agar kami bisa berkunjung dan melihatnya. Terkadang sang agent lupa memberi tahu si pemilik bahwa kami mempunyai anak kecil ataupun kami berasal Indonesia (baca:asia).
Ada puluhan “calon wohnung” yang kami lihat pada saat itu sampai akhirnya ketemu dan cocok dgn wohnung yang sekarang kami tempati.


Tinggal di sini (baca: Europe) juga berarti harus mandiri. Segala sesuatunya dikerjakan sendiri tanpa bisa mengharapkan orang lain. Mulai dari belanja kebutuhan sehari hari, masak, setrika, bersihin rumah, ngurus anak semuanya harus dilakukan sendiri. Hanya orang yang betul betul “berada” yang mampu membayar pembantu ataupun baby sitter krn per jamnya mereka minta upah sekitar 10 euro (kurang lebih 112 ribu rupiah)!!!.
Kadang saya mendengar cerita di mana seorang istri yang kebetulan orang Indonesia menjadi kaget sekaget kagetnya setelah diboyong oleh suaminya yang bule ke sini. Ketika menikah di Indonesia, suaminya adalah seorang expat yg punya rumah besar, pembantu dan sopir. Begitu tiba di sini, fasilitas yang ada sama sekali berbeda dan dia harus mengerjakan semuanya sendiri.

Seorang nenek yang berusia 80an tahun yang kebetulan tinggal di atas apartment saya bisa membuat kagum sekaligus miris. Kagum dengan semangat dan kemandiriannya yang tinggi. Meski sdh bungkuk dan tertatih, dia masih mampu (ataupun mungkin terpaksa) untuk belanja keperluan sendiri. Halte bus yang hanya berjarak 25 meter dari apartment kami harus dia tempuh dalam waktu lebih 5 menit. Berjalan pelan, tongkat di tangan kiri, kantong belanjaan di tangan yang satunya. Semua dilakukannya sendiri krn mungkin sudah terbiasa sejak kecil. Tidak manja dan tidak pernah meminta tolong bahkan kepada anaknya sendiri yang sangat jarang mengunjunginya.

Yang lain? Living cost yang relative tinggi termasuk biaya sewa apartment. Kalau urusan makan mungkin masih bisa diakalin dengan memasak sendiri. Tapi kalo anda seorang bujang, gak doyan ataupun gak bisa masak, siap siap aja merogoh kocek yang dalam. Untuk makan di luar sekelas McDonaldpun relative mahal. Pakaianpun idem, apalagi buat yang punya anak kecil. Sepatu, jaket, sweater ataupun kaos tangan untuk winter hanya dipake sekali musim karena winter berikutnya semuanya sudah kekecilan untuk mereka.

Mengutip lirik sebuah lagu, “Every rose has its thorn, every night has its dawn”.
Hasil berbagi cerita dengan teman2 yang tinggal di beberapa kota di Eropa, dengan segala kelebihannya, hidup di sini tetap saja butuh perjuangan extra untuk survive. Di satu sisi mungkin lebih enak dibanding tinggal di Indonesia tapi di sisi lain juga mungkin tidak lebih baik. Di manapun kaki berpijak, raga berteduh, hidup adalah perjuangan tanpa henti henti.

Muenchen, zwölften zehnten zweitausendsechs.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

35 Juta Euro Jackpot

Seluruh Jerman dilanda demam Lotto. Beberapa saat sebelum jam 20.00, sabtu malam 07.10.06, saat pengundian nomor jackpot dilakukan, puluhan juta pemirsa TV berdebar debar menanti setiap bola yang mewakili setiap angka keluar dari tabung undian. Hasilnya, jackpot kali ini lagi lagi tidak menemukan pemenangnya. Itu berarti, hadiah yang ditawarkan pada penarikan berikutnya akan terus bertambah.

LOTTO adalah satu dari permainan judi yang dilegalkan di Jerman. Undiannya dilakukan dua kali seminggu yakni setiap rabu dan sabtu malam. Apabila grandprize pada hari sebelumnya tidak ada pemenangnya, maka hadiahnya akan ditambahkan ke hari undian berikutnya.

Hari Sabtu kemarin, Lotto mengimingi-imingi hadiah jackpot yang terbesar dalam sejarah undian di Jerman, 35 Juta Euro (rupiahin aja sendiri kalo kurs 1 Euro setara dengan 11.600 Rupiah). Tentu saja hal itu menggiurkan banyak orang untuk ikut bermain. Yup, orang jerman pun senang bermimpi. Siapa tahu dengan menghabiskan cuma 6 euro, sedikit keberuntungan dan tadaammmm 35 Juta euro ditangan (ups gak ding di rekening bank. Repot juga kan kalo 35 juta euro diterima cash dengan notes 100):-)
Apalagi mereka gak perlu punya rasa bersalah krn diharamkan, tidak perlu banyak tidur untuk menunggu wangsit lewat mimpi ataupun untuk mengunjungi kuburan. ..:-)

Konon, judi jenis undian seperti ini sudah sejak jaman dahulu ditemukan jejak jejak scriptnya di China. Bahkan, pembangunan Great Wall di China sebagian besar dananya didapat dari permainan ini.
So, gak di China, Jerman, Indonesia (meskipun illegal dan haram) iming iming seperti ini (hampir) selalu ampuh.

Mau tau, apa saja yang akan mereka lakukan jika mereka memenangkan jackpotnya?:

Nicolas Kiefer (29 Thn, Tennis Profi):
"Saya akan menghabiskan sebagian untuk kemakmuran anak2 di Afrika. Sisanya akan saya berikan kepada klub kesayangan saya Hannover 96 supaya bisa membeli Wayne Rooney dari ManU".

Collien Fernandez (25, TV star):
"Saya tidak menginginkannya sama sekali. Sampai saat ini saya selalu sulit mencari pria yang mau menerima jika perempuan mempunyai penghasilan lebih besar".


Daniel Küblbock (21, Penyanyi):
"Saya mau terbang ke bulan bersama beberapa cewek hot dan meludahi bumi dari atas".

Anne Rosenberger (21, Mahasiswi):
"Untuk shopping, akan saya habiskan 2 juta. 10 juta untuk orang tua saya. Sisanya untuk beli rumah dan perabotnya".


Markus Söder (39, Sekjen CSU):
"Hmmm..saya akan membebaskan biaya di Kindergarten. Sisanya, sebagai fans Nürnberg, akan saya beli pemain terbaik dari Bayern Muenchen".


Bagaimana dengan kamu? Jika suatu hari kamu menemukan saldo rekeningmu bertambah miliaran rupiah, tanpa kerja keras, tanpa sadar, tanpa embel embel haram. Apa yang akan kamu lakukan?

Mari kita bermimpi dan berandai andai..:-)


(quoted from some sources)


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Hobby

Kita semua tentu punya yang namanya hobby atau kesenangan. Menurut kamus yang saya baca hobby adalah sebuah aktifitas atau ketertarikan akan sesuatu selain pekerjaan utama seseorang dan dilakukan untuk kesenangan.
Ada yang dari kita hobbynya menyanyi, olah raga, ngutak atik mobil, traveling, surfing di internet, etc. Ada yang ditekuni dari kecil sampai dewasa, ada yang baru “nemu” pas gede akhirnya jadi keterusan, ada yang tadinya cuman buat kesenangan tapi malah menghasilkan duit dan sebagainya.
Meski untuk kesenangan, seyogyanya hobby yang kita tekuni tidak menganggu atau merugikan orang lain. Sayangnya, diantara sekian macam hobby, banyak juga diantara kita punya hobby yang negative, yang kadang mengganggu orang lain. Mulai dari hobby nyontek waktu di sekolah, minta rokok, mabuk mabukan, buka bukaan (yang ini merugikan orang lain gak ya), sampai memelihara istri muda.. :-)


Masih tentang hobby, menurut survey yang dilaksanakan di Inggris dan Jerman oleh sebuah lembaga independent, ketika ditanya tentang hobby yang paling mereka gemari, sekitar 72% dari 1.000 responden yg semuanya gadis remaja menjawab “Hobbie Williams”…
Dulu waktu masih TK, hampir setiap kali ketika disuruh menyanyi, saya pasti milih lagu favorit saya waktu itu, “Hobbi Saya Bundar”..(maksa deh)..:-D
Yang lain? Hobby yang enak diminum? “hobby kapal api”, hobby yang muat orang banyak? “hobby hotel”, hobby yang takut ketinggian? “acrohobbia”…dan lain lain.

Saya sendiri juga punya beberapa macam hobby. Mulai dari ngisi sudoku, nonton (asal jgn diajak nonton wayang), tennis, Formula 1 (balap mobil, bukan susu bayi), sepakbola sampai yang terbaru melototin blog orang lain (mikir apa yang bisa dicopy dari template nya.:-) )
Tapi kalau disuruh milih satu yang paling “digilai”, saya akan milih sepakbola. Adalah hal yang lumrah buat anak laki laki di Indonesia menggandrungi sepakbola, tapi kecintaan saya sepakbola bisa dibilang mendarah daging sejak kecil. Saking gandrungnya, cita cita saya pada saat itu adalah menjadi pemain sepakbola professional. Semasa SD saya punya klub dengan teman-teman sebaya yang bernama “Mandala”. Mau tahu artinya? Matian-matian dalam lapangan..:-)
Meski waktu itu tayangan sepakbola di TV tidak “berlimpah” seperti sekarang, saya bisa hafal nama pemain2 top waktu itu. Mulai dari pemain lokal Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman, Herry Kiswanto, Ricky Jacob sampai pemain asing seperti Paolo Rossi, Platini, Zbigniew Boniek, Ian Rush, Preben Elkjaer, Rummenigge, Maradona (apalagi), dll.


Selain bermain, tentu saja saya senang untuk menonton langsung pertandingan di stadion. Sejak kecil saya akrab dengan stadion Mattoangin di Makassar krn sering diajak kakak saya untuk menonton Makassar Utama (jaman Galatama) ataupun PSM Makassar bertanding. Tak terkira betapa senangnya setiap kali berada di dalam stadion. Belakangan setelah merasakan nonton sepakbola di Eropa, begitu terasalah kekurangan kita.

Allianz Arena, stadion kebanggaan kota Munich, yang dibangun dengan biaya 340 juta Euro merupakan stadion sepakbola paling modern saat ini. Dengan fasilitas restaurant, fan shops dan shopping center yang wah, penonton dibuat betah untuk berada di sini. Kualitas rumputnya yang memakan biaya sekitar 100 ribu Euro setiap kali ganti menambah indah pemandangan. Meskipun tidak segemerlap serie A, Premiere League ataupun La Liga, Bundesliga tetap nikmat ditonton dengan fasilitas begini.
BUKAN! bukan itu yang ingin saya bandingkan dengan kondisi kita di tanah air tapi hal hal kecil yang masih bisa kita lakukan untuk kemajuan sepakbola kita.

Di Mattoangin (saya belum pernah nonton bola di Indonesia selain di sana tapi yakin kondisi di stadion lain kurang lebih sama), kita harus datang lebih awal untuk memastikan tempat duduk yang strategis. Yup, meski tiket ditangan, penonton harus rebutan tempat lagi krn tidak ada nomor tempat duduk. Makanya, jika anda kebelet buang air kecil di tengah2 pertandingan (anda datang sendiri), siap siap saja untuk kehilangan tempat begitu kembali lagi. Kebersihan (kekotoran?) toiletnya tidak perlu saya uraikan…Tidak heran seusai pertandingan, pemandangan orang buang air kecil di dinding stadion begitu jamak. Kebayang kan kalo 10% dari jumlah penonton yang 25.000 orang kencing di sekitar stadion?
Sambil menunggu pertandingan di mulai, kita disuguhi musik (paling sering musik dangdut) dari sound system yang memekakan telinga. Terkadang penonton juga bisa menyaksikan panitia menghalau ayam-ayam yang masuk ke lapangan ataupun jemuran yang lupa diangkat milik penjaga stadion yang tinggal di situ.
Di antara penonton banyak yang mengaku cinta ataupun fanatik terhadap klub kesayangan tapi enggan membeli tiket. Ujung-ujungnya, meski penonton sering membludak sampai ke pinggir lapangan, panitia tetap merugi.Macam-macam cara mereka untuk menonton. Ada yang memanjat dengan tali tambang, bambu, ada juga yang kebetulan kenal dengan petugas yang jaga dan boleh masuk dengan percuma (berani sumpah saya selalu beli tiket). Hampir mustahil untuk menemukan pendukung tim tamu. Kalaupun ada, mereka tidak akan berani menunjukkan jati diri. Penonton wanita? Bagaikan oase di padang pasir. Selain ngeri dan tidak aman, mungkin mereka pikir pemain2 yang ditonton juga kurang keren kali ya.!
Kemenangan menjadi hal yang tidak bisa ditawar tawar buat penonton tanpa peduli bagaimana kualitas tim yang didukung. Kemenangan adalah harga diri meski ditempuh dengan cara yang salah. Kemenangan menjadi lebih penting daripada sepakbola itu sendiri.
Segala cara dilakukan, meneror pemain lawan pun jadi hal yang wajar. Dari yang halus seperti ejekan kata2 kasar sampai melempar batu ataupun botol plastic yang diisi air urine. Setiap pemain tuan rumah melakukan tackling kasar dan menyebabkan lawan terkapar ataupun ditandu ke luar lapangan akan mendapat pujian, tepuk tangan dari penonton.
Pendukung tidak mau tahu dan tdk mau mengerti bagaimanapun caranya timnya harus menang. Begitu kalah, siap siap lah menyelamatkan diri. Bukan cuman wasit ataupun pemain lawan yang harus dilindungi oleh petugas keamanan, pemain tuan rumahpun harus dijaga. Saya pernah melihat “hujan batu” yang menyerbu pemain pemain PSM ketika suatu kali mereka kalah. Tidak tanggung tanggung, batu bata yang utuhpun ikut melayang.
Saya nggak tau apakah sekarang kondisinya masih begitu karena sudah lumayan lama saya tidak nonton bola lagi di Mattoangin.


Sebaliknya, menonton sepakbola di Eropa betul betul berbeda. Kecintaan pada tim kesayangan tidak perlu diragukan tapi mereka masih mengerti sportifitas. Mereka relative sadar sepakbola lebih penting daripada kemenangan itu sendiri. Di Allianz Arena misalnya, sambil menunggu pertandingan, banyak yang bisa kita lakukan di dalam stadion. Mengunjungi fan shop, sekedar minum di café, menikmati photo2 memory yang merekam moment2 penting dalam sejarah FCB ataupun ngobrol dengan teman sambil menikmati musik dgn sound system yang yahud di tempat duduk penonton. Pendukung tim tamu bisa wara wiri lengkap dengan atribut kesebelasan kesayangan mereka tanpa rasa takut. Meski minoritas, mereka terkadang jauh lebih ribut dibanding pendukung tuan rumah sendiri. Mereka bebas bernyanyi, menabuh gendang atau berdansa sesama mereka. Penonton wanita sama banyaknya dengan pria. Di pintu gerbang, mereka melalui jalur khusus dan diperiksa oleh petugas keamanan yang juga wanita.
Menemukan kakek2 ataupun nenek2 juga bukan hal yang sulit. Meski jalan tertatih tatih, mereka tetap rela datang ke stadion.
Begitupun buat pendukung yang cacat. Mereka punya area sendiri sehingga bisa menonton langsung dari kursi roda mereka.
Tentu saja, mereka juga sedih kalau tim mereka kalah. Apalagi dalam pertandingan penting. Macam macam cara mereka mengungkapkan kesedihan. Ada yang menangis sesenggukan hingga pacarnya harus menghibur, ada yang ngomel ngomel, ada juga yang menunjukkan jari tengah sambil memanggil nama pelatih atau pemain tertentu. That’s it.
Fans sadar bahwa klub adalah kebanggaan, jati diri mereka. Kalau mereka berbuat onar, klub mereka yang dihukum, mereka sendiri yang rugi dan malu. Sebaliknya klub juga sadar bahwa tanpa fans setia, mereka tidak akan survive. Pemasukan dari penjualan tiket, kaos, accessories ataupun merchandise klub lainnya sangat besar. Klub bagaikan perusahaan dengan para fans sebagai customer utama yang harus didengar dan dilayani.

Terlalu rumit memang untuk mengharapkan penonton dan semua unsur yang terkait untuk bersikap seperti mereka di sini tapi marilah kita memulai dari diri sendiri. Untuk hal yang sederhana sajalah seperti kalau nonton, belilah tiket, dukunglah tim anda dengan sportifitas tinggi. Terima kekalahan tanpa menunjuk siapa yang salah, tidak berbuat onar.

Kalau ada pertanyaan klise, kenapa tidak bisa mencari 11 pemain handal (22 orang lah dengan cadangannya) dari 240 juta penduduk Indonesia yang bisa mewakili kita di piala dunia? Maka saya berani menjawab “tidak akan bisa selama penonton kita bersikap anarki, tidak akan bisa selama jadwal kompetisi selalu berubah ubah, selama pengurus masih mikirin diri sendiri.” Kalo begitu, mencari 22 orang dari satu milyar pendudukpun tidak akan dapat.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________