Hobby

Kita semua tentu punya yang namanya hobby atau kesenangan. Menurut kamus yang saya baca hobby adalah sebuah aktifitas atau ketertarikan akan sesuatu selain pekerjaan utama seseorang dan dilakukan untuk kesenangan.
Ada yang dari kita hobbynya menyanyi, olah raga, ngutak atik mobil, traveling, surfing di internet, etc. Ada yang ditekuni dari kecil sampai dewasa, ada yang baru “nemu” pas gede akhirnya jadi keterusan, ada yang tadinya cuman buat kesenangan tapi malah menghasilkan duit dan sebagainya.
Meski untuk kesenangan, seyogyanya hobby yang kita tekuni tidak menganggu atau merugikan orang lain. Sayangnya, diantara sekian macam hobby, banyak juga diantara kita punya hobby yang negative, yang kadang mengganggu orang lain. Mulai dari hobby nyontek waktu di sekolah, minta rokok, mabuk mabukan, buka bukaan (yang ini merugikan orang lain gak ya), sampai memelihara istri muda.. :-)


Masih tentang hobby, menurut survey yang dilaksanakan di Inggris dan Jerman oleh sebuah lembaga independent, ketika ditanya tentang hobby yang paling mereka gemari, sekitar 72% dari 1.000 responden yg semuanya gadis remaja menjawab “Hobbie Williams”…
Dulu waktu masih TK, hampir setiap kali ketika disuruh menyanyi, saya pasti milih lagu favorit saya waktu itu, “Hobbi Saya Bundar”..(maksa deh)..:-D
Yang lain? Hobby yang enak diminum? “hobby kapal api”, hobby yang muat orang banyak? “hobby hotel”, hobby yang takut ketinggian? “acrohobbia”…dan lain lain.

Saya sendiri juga punya beberapa macam hobby. Mulai dari ngisi sudoku, nonton (asal jgn diajak nonton wayang), tennis, Formula 1 (balap mobil, bukan susu bayi), sepakbola sampai yang terbaru melototin blog orang lain (mikir apa yang bisa dicopy dari template nya.:-) )
Tapi kalau disuruh milih satu yang paling “digilai”, saya akan milih sepakbola. Adalah hal yang lumrah buat anak laki laki di Indonesia menggandrungi sepakbola, tapi kecintaan saya sepakbola bisa dibilang mendarah daging sejak kecil. Saking gandrungnya, cita cita saya pada saat itu adalah menjadi pemain sepakbola professional. Semasa SD saya punya klub dengan teman-teman sebaya yang bernama “Mandala”. Mau tahu artinya? Matian-matian dalam lapangan..:-)
Meski waktu itu tayangan sepakbola di TV tidak “berlimpah” seperti sekarang, saya bisa hafal nama pemain2 top waktu itu. Mulai dari pemain lokal Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman, Herry Kiswanto, Ricky Jacob sampai pemain asing seperti Paolo Rossi, Platini, Zbigniew Boniek, Ian Rush, Preben Elkjaer, Rummenigge, Maradona (apalagi), dll.


Selain bermain, tentu saja saya senang untuk menonton langsung pertandingan di stadion. Sejak kecil saya akrab dengan stadion Mattoangin di Makassar krn sering diajak kakak saya untuk menonton Makassar Utama (jaman Galatama) ataupun PSM Makassar bertanding. Tak terkira betapa senangnya setiap kali berada di dalam stadion. Belakangan setelah merasakan nonton sepakbola di Eropa, begitu terasalah kekurangan kita.

Allianz Arena, stadion kebanggaan kota Munich, yang dibangun dengan biaya 340 juta Euro merupakan stadion sepakbola paling modern saat ini. Dengan fasilitas restaurant, fan shops dan shopping center yang wah, penonton dibuat betah untuk berada di sini. Kualitas rumputnya yang memakan biaya sekitar 100 ribu Euro setiap kali ganti menambah indah pemandangan. Meskipun tidak segemerlap serie A, Premiere League ataupun La Liga, Bundesliga tetap nikmat ditonton dengan fasilitas begini.
BUKAN! bukan itu yang ingin saya bandingkan dengan kondisi kita di tanah air tapi hal hal kecil yang masih bisa kita lakukan untuk kemajuan sepakbola kita.

Di Mattoangin (saya belum pernah nonton bola di Indonesia selain di sana tapi yakin kondisi di stadion lain kurang lebih sama), kita harus datang lebih awal untuk memastikan tempat duduk yang strategis. Yup, meski tiket ditangan, penonton harus rebutan tempat lagi krn tidak ada nomor tempat duduk. Makanya, jika anda kebelet buang air kecil di tengah2 pertandingan (anda datang sendiri), siap siap saja untuk kehilangan tempat begitu kembali lagi. Kebersihan (kekotoran?) toiletnya tidak perlu saya uraikan…Tidak heran seusai pertandingan, pemandangan orang buang air kecil di dinding stadion begitu jamak. Kebayang kan kalo 10% dari jumlah penonton yang 25.000 orang kencing di sekitar stadion?
Sambil menunggu pertandingan di mulai, kita disuguhi musik (paling sering musik dangdut) dari sound system yang memekakan telinga. Terkadang penonton juga bisa menyaksikan panitia menghalau ayam-ayam yang masuk ke lapangan ataupun jemuran yang lupa diangkat milik penjaga stadion yang tinggal di situ.
Di antara penonton banyak yang mengaku cinta ataupun fanatik terhadap klub kesayangan tapi enggan membeli tiket. Ujung-ujungnya, meski penonton sering membludak sampai ke pinggir lapangan, panitia tetap merugi.Macam-macam cara mereka untuk menonton. Ada yang memanjat dengan tali tambang, bambu, ada juga yang kebetulan kenal dengan petugas yang jaga dan boleh masuk dengan percuma (berani sumpah saya selalu beli tiket). Hampir mustahil untuk menemukan pendukung tim tamu. Kalaupun ada, mereka tidak akan berani menunjukkan jati diri. Penonton wanita? Bagaikan oase di padang pasir. Selain ngeri dan tidak aman, mungkin mereka pikir pemain2 yang ditonton juga kurang keren kali ya.!
Kemenangan menjadi hal yang tidak bisa ditawar tawar buat penonton tanpa peduli bagaimana kualitas tim yang didukung. Kemenangan adalah harga diri meski ditempuh dengan cara yang salah. Kemenangan menjadi lebih penting daripada sepakbola itu sendiri.
Segala cara dilakukan, meneror pemain lawan pun jadi hal yang wajar. Dari yang halus seperti ejekan kata2 kasar sampai melempar batu ataupun botol plastic yang diisi air urine. Setiap pemain tuan rumah melakukan tackling kasar dan menyebabkan lawan terkapar ataupun ditandu ke luar lapangan akan mendapat pujian, tepuk tangan dari penonton.
Pendukung tidak mau tahu dan tdk mau mengerti bagaimanapun caranya timnya harus menang. Begitu kalah, siap siap lah menyelamatkan diri. Bukan cuman wasit ataupun pemain lawan yang harus dilindungi oleh petugas keamanan, pemain tuan rumahpun harus dijaga. Saya pernah melihat “hujan batu” yang menyerbu pemain pemain PSM ketika suatu kali mereka kalah. Tidak tanggung tanggung, batu bata yang utuhpun ikut melayang.
Saya nggak tau apakah sekarang kondisinya masih begitu karena sudah lumayan lama saya tidak nonton bola lagi di Mattoangin.


Sebaliknya, menonton sepakbola di Eropa betul betul berbeda. Kecintaan pada tim kesayangan tidak perlu diragukan tapi mereka masih mengerti sportifitas. Mereka relative sadar sepakbola lebih penting daripada kemenangan itu sendiri. Di Allianz Arena misalnya, sambil menunggu pertandingan, banyak yang bisa kita lakukan di dalam stadion. Mengunjungi fan shop, sekedar minum di café, menikmati photo2 memory yang merekam moment2 penting dalam sejarah FCB ataupun ngobrol dengan teman sambil menikmati musik dgn sound system yang yahud di tempat duduk penonton. Pendukung tim tamu bisa wara wiri lengkap dengan atribut kesebelasan kesayangan mereka tanpa rasa takut. Meski minoritas, mereka terkadang jauh lebih ribut dibanding pendukung tuan rumah sendiri. Mereka bebas bernyanyi, menabuh gendang atau berdansa sesama mereka. Penonton wanita sama banyaknya dengan pria. Di pintu gerbang, mereka melalui jalur khusus dan diperiksa oleh petugas keamanan yang juga wanita.
Menemukan kakek2 ataupun nenek2 juga bukan hal yang sulit. Meski jalan tertatih tatih, mereka tetap rela datang ke stadion.
Begitupun buat pendukung yang cacat. Mereka punya area sendiri sehingga bisa menonton langsung dari kursi roda mereka.
Tentu saja, mereka juga sedih kalau tim mereka kalah. Apalagi dalam pertandingan penting. Macam macam cara mereka mengungkapkan kesedihan. Ada yang menangis sesenggukan hingga pacarnya harus menghibur, ada yang ngomel ngomel, ada juga yang menunjukkan jari tengah sambil memanggil nama pelatih atau pemain tertentu. That’s it.
Fans sadar bahwa klub adalah kebanggaan, jati diri mereka. Kalau mereka berbuat onar, klub mereka yang dihukum, mereka sendiri yang rugi dan malu. Sebaliknya klub juga sadar bahwa tanpa fans setia, mereka tidak akan survive. Pemasukan dari penjualan tiket, kaos, accessories ataupun merchandise klub lainnya sangat besar. Klub bagaikan perusahaan dengan para fans sebagai customer utama yang harus didengar dan dilayani.

Terlalu rumit memang untuk mengharapkan penonton dan semua unsur yang terkait untuk bersikap seperti mereka di sini tapi marilah kita memulai dari diri sendiri. Untuk hal yang sederhana sajalah seperti kalau nonton, belilah tiket, dukunglah tim anda dengan sportifitas tinggi. Terima kekalahan tanpa menunjuk siapa yang salah, tidak berbuat onar.

Kalau ada pertanyaan klise, kenapa tidak bisa mencari 11 pemain handal (22 orang lah dengan cadangannya) dari 240 juta penduduk Indonesia yang bisa mewakili kita di piala dunia? Maka saya berani menjawab “tidak akan bisa selama penonton kita bersikap anarki, tidak akan bisa selama jadwal kompetisi selalu berubah ubah, selama pengurus masih mikirin diri sendiri.” Kalo begitu, mencari 22 orang dari satu milyar pendudukpun tidak akan dapat.

___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home