Moral Moralan

Seorang wanita yang baru saja turun berenang di sebuah danau didatangi oleh seorang petugas.

Apakah anda tahu kalau di sini dilarang mandi atau berenang?”
“Tapi, bapak kan sejak tadi melihat saya. Kenapa tidak diberitahu sebelum saya melucuti pakaian tadi?”
“Mam, yang dilarang itu cuma mandi mandi di danau. Kalau melucuti pakaian, gak dilarang.”


Anda mungkin sudah pernah membaca atau mendengar anekdot serupa, tapi kejadian yang hampir sama pernah menimpa saya saat cuti ke kota asal tahun lalu.

Suatu siang saat bepergian bersama keluarga, di sebuah perempatan saya bermaksud untuk belok ke kiri. Beberapa puluh meter sebelumnya saya sudah melambatkan laju kendaraan sambil memberi sign lampu untuk berbelok. Dari jauh saya melihat petugas berseragam memperhatikan. Saya yakin petugas tersebut juga melihat kendaraan dan sign yang saya beri karena antara tidak kendaraan lain yang ada di depan saya waktu itu. Pun saat kami melalui sang petugas, tidak ada reaksi atau tanda apapun darinya. Tapi, begitu kendaraan saya berbelok 90 derajat, tiba tiba saja suara peluit nyaring terdengar. Begitu sadar bahwa saya yang dimaksud, saya menepi. Petugas mendekat, menyapa sopan lalu menyuruh saya turun untuk menyelesaikan persoalan di sebuah warung tidak jauh dari situ.

Ternyata jalan yang setahu saya dulunya bisa dilalui kendaraan dengan dua arah sekarang berubah menjadi satu arah saja.
Tentu saja pertanyaan saya waktu itu adalah kenapa saat tau saya ingin berbelok arah, sang petugas diam saja?


Jawaban dari mereka? (Ternyata petugas tsb tidak sendiri krn ada beberapa temannya lagi di dalam warung)…bla..bla..bla…sambil mengemukakan berbagai macam argumentasi yang tidak menjawab pertanyaan saya.
Salah satu dari mereka sempat bertanya;


Apakah adik tidak melihat rambu tanda satu arahnya?
“ Bagaimana mau lihat pak, rambunya tertutup ranting pohon begitu.”
“ Tapi dulu tidak begitu. Lagian aturan satu arah ini sudah 3 bulan di masyarakatkan. Seharusnya semua orang sudah tahu.”


Saat itu saya tidak mau ngotot2an dengan mereka. Bukan karena merasa bersalah karena sebetulnya petugas itu bisa mencegah saya untuk tidak melanggar. Entah kenapa saya iba melihat betapa mereka yang seharusnya jadi ujung tombak penegakan hukum malah menggunakan hukum untuk mencari duit tambahan. Iba melihat mereka yang bisa jadi punya anak istri di rumah yang butuh makan, butuh sekolah, butuh pakaian dan oleh karenanya mau melakukan apa saja demi keluarga.

Kejadian itu - dan banyak kejadian yang mungkin pernah anda alami- hanya bukti kecil bahwa penyakit hati (moral) bangsa kita sudah menjalar ke seluruh denyut nadi kehidupan masyarakat. Lalu apa solusinya? Saya juga bingung. Mungkin anda lebih punya ide. Saya hanya bisa prihatin. Ada yang bilang, penghasilan mereka yang terlalu minim yang jadi pemicu. Lainnya berpendapat bahwa mereka hanya “terbawa arus “ oleh lingkungan di mana materi lebih sakti daripada hukum itu sendiri.
Bukankah hukum ada untuk mengontrol manusia yang bermoral ngeyel. Meski untuk berdaya, hukum juga butuh manusia bermoral sebagai ujung tombak. Jika hukum berada di sekeliling moral moral yang sebagian besar adalah kotor, hukum akan jadi impotent dan sekedar teori di atas buku.

Kalau sudah berbicara moral, masalah sederhana bisa menjadi pelik. Setiap orang akan datang dengan argument dan opini yang berbeda beda dengan filter yang beragam. Jika ada perempuan yang melacurkan diri demi makan anaknya, boleh jadi banyak yang menyalahkan tapi tidak tertutup kemungkinan ada yang bisa mengerti bahkan membenarkan perbuatannya. Sama halnya dengan petugas yang “menjebak” saya seperti cerita di atas. Mereka mungkin tahu bahwa yang mereka lakukan itu salah tapi bisa jadi mereka bakal mengeluarkan 1001 macam alas an ketika ditanya kenapa tetap melakukannya. Filter terbaik dari semuanya menurut saya adalah selalu ingat bahwa suatu hari nanti kita akan datang menghadapNya mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama hidup. Hari itu, tidak akan ada alas an untuk setiap kejahatan, kecurangan ataupun dosa yang kita perbuat. Intinya, ingat mati, ingat Tuhan, ingat hari perhitungan. Kalau masih saja tidak takut, berarti mereka gak percaya sama Tuhan atau moral mereka memang betul betul payah…:-((




Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Free Implants

Pertama kali membacanya sekilas di BILD hari ini, saya sudah geleng2 kepala. Iseng iseng kemudian mencarinya di Google, ternyata web ini betul betul eksis. Gila! Idenya datang dari mana ya?

Web ini ditujukan buat perempuan dan laki laki. Untuk perempuan yang merasa (maaf) buah dadanya kecil, pengen operasi tapi gak punya duit, lalu kemudian memohon kebaikan laki laki untuk berderma alias membantu. Tentu saja para wanita itu sadar, tidak akan ada lelaki yang betul betul ikhlas membantu yang satu itu dan sebagai timbal baliknya mereka menjanjikan sesuatu.

Gak perlu saya uraikan lebih lanjut, baca aja sendiri link di atas. Kali aja ada yang berbaik hati ingin membantu gadis2 tak mampu seperti mereka....:-)

Dunia emang sudah tua ya!?!


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Rabun Hood

Apa persamaan antara Robin Hood (RH) dan penjahat2 kerah putih (koruptor) di tanah air? Sama sama pencuri. Perbedaannya? Sudah jelas. RH masih memilah milih siapa yang akan menjadi korbannya sementara kriminil birokrasi senang sekali main hantam kromo. Kata teman saya, ibarat nelayan, mereka ini nelayan “sejati”. Ikan besar, ikan kecil semua dijaring tanpa mikir akibatnya. Instead of Robin Hood, tikus tikus berwujud manusia ini lebih layak disebut Rabun Hood. Maksudnya, mata dan hatinya rabun untuk melihat dan merasakan penderitaan orang lain.

Hampir sebulan yang lalu teman teman saya datang mengunjungi kami. Mereka sebelumnya tour ke Austria sebagai hadiah dari kantor lalu kemudian melanjutkan perjalanan a la backpacker ke beberapa kota besar di Eropa dengan biaya sendiri. Ngakunya sih emang backpacker, tapi kalau melihat gaya mereka berbelanja sana sini, bisa bikin saya dan istri terkagum kagum sambil geleng kepala.
Selain belanja untuk diri sendiri dan keluarga, mereka juga belanja atas dasar pesanan kolega mereka di Indonesia. Salah satu diantara mereka bertiga ada yang membeli tas perempuan merek Louis Vitton pesanan rekanan di tanah air.

Lalu apa hubungannya dengan legenda sang pangeran dari Sherwood Forest? Singkat cerita, saatnya buat mereka untuk kembali ke tanah air. Masalah muncul ketika tiba di tempat kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta dan tertangkap mata oleh petugas bea cukai. Mereka itu bertiga. Dua diantaranya adalah orang Indonesia yang kebetulan bermata sipit dan berkulit putih (saya tidak mau menyebut mereka warga keturunan) dan satunya adalah keturunan (keturunan jawa). Diperiksalah mereka, dan kedapatanlah mereka membawa beberapa buah jam tangan sebagai buah tangan untuk keluarga - yang harga sebijinya gak seberapa - plus tas merek LV ini. Gak tanggung tanggung mereka dimintai untuk membayar “pajak” sebesar tujuh juta rupiah. Dan pada akhirnya, setelah pasang muka memelas dan hasil merayu yang panjang, mereka bertiga lolos dengan membayar satu setengah juta rupiah. Tentu saja uang tersebut tidak masuk ke kas negara.

Seperti perhiasan, orang Indonesia yang bermata sipit dan para TKW sangat “eye catching” buat petugas di bandara. Entah dalam wujud apa -secara fisik - mereka tampak di mata petugas, yang jelas penumpang penumpang bermata sipit dan atau tampang tampang lugu berjilbab khas TKW, dianggap sapi yang sah sah saja untuk diperas. Dianggap punya duit berlebih jadi tidak keberatan untuk berbagi.

Untuk memeras warga “Indonesian Chinese” mungkin masih bisa dimengerti – meski tidak bisa dibenarkan – karena mereka yang ke luar negeri kebanyakan berasal dari golongan makmur. Tapi kalau para TKW diperas? Orang yang bertahun tahun berpisah dengan keluarga, kerja kasar di negeri orang, tidak jarang mendapat siksaan psikis dan fisik di sana, begitu tiba di tanah air malah dihisap darahnya oleh saudara sebangsa sendiri.

Kami suka miris sendiri melihat perlakuan terhadap mereka. Di bentak, disuruh berkumpul di tempat terpisah, digiring seperti domba di padang rumput, tidak boleh ada satupun yang keluar dari kelompoknya, dipaksa menukar duit di tempat tertentu dengan rate tertentu, membayar sesuatu yang tidak jelas dan segala perlakuan lain terhadap mereka yang sering kita baca atau tonton.


Mereka kerja ke luar negeri karena mereka susah di negeri sendiri, negara tidak bisa mampu mengurus mereka apalagi menyediakan kehidupan yang layak. Mereka tidak menyusahkan, tidak pernah minta berlebihan, tidak menjadi borok di masyarakat dan malah keringat mereka mendatangkan uang buat negara. Lalu kenapa mereka harus keluar lewat pintu yang berbeda dengan penumpang lainnya? Kenapa keluarga mereka tidak bisa langsung menjemput? Kenapa mereka diperlakukan seperti manusia buangan?

Dan buat petugas petugas itu, tidak bisakah mereka – setidaknya – memilah milih mangsa seperti Robin Hood?





Baca selanjutnya.....
___________________________________________