Hooliganism

Sepakbola Indonesia itu notorious. Yang menonjol lebih banyak sisi negatifnya. Ketua umum di penjara dan ngotot untuk tetap memimpin. Tim nasional yang lebih sering gagal bahkan jadi bulan bulanan. Wasit yang tidak becus. Kualitas lapangan dan stadion yang rendah. Kesebelasan peserta liga yang hampir semua cuma bisa menghabiskan milyaran dana dari APBD. Itu saja? Tidak. Penontonnya pun sering anarkis dan berlaku kriminal.


Kemarin kecenderungan itu muncul lagi. Aremania mengamuk. Asisten wasit dipukul, pemain dihujani batu, gawang dibakar. Belum puas juga, stasiun kereta di Kediri juga jadi korban pelampiasan. Di detik.com saya membaca komentar seorang koordinator Aremania yang membela diri. "Kami kecewa dengan wasit," ujarnya. Seakan akan tindakan anarkis adalah kesalahan wasit sepenuhnya dan oleh karenanya reaksi negatif mereka wajar diterima.

Well, secara umum kebanyakan dari penonton kita memang mengartikan fanastisme secara sempit. Hampir semua tim punya pendukung seperti ini. Apakah itu Aremania, Jaczman, Jakmania, Bonek, bobotoh Bandung, hampir semua pernah terlibat kericuhan. Pemain dan official juga kadang idem dito. Akibatnya kalau kalah ataupun merasa (ingat "merasa" itu sangat subjektif sifatnya) diperlakukan tidak adil, jadi temperamental. Apalagi kalau fanatisme yang dimiliki dibalut dengan latar belakang masalah sosial -himpitan ekonomi atau pengangguran- ditambah dengan pikiran pendek, ibarat bahan peledak, daya rusaknya bakal lebih dahsyat.

Di Makassar, jika PSM bertanding, tidak sedikit orang yang menghindari untuk melewati jalan di sekitar stadion Mattoangin (Andi Mattalatta-red). Apalagi jika berkendaraan roda empat dan bersamaan dengan jam selesai pertandingan. Teman saya yang di Bandung juga mengungkapkan hal yang sama. Saya yakin di kota kota lain juga kurang lebih sama keadaannya.

Artinya adalah image tentang sepakbola di tanah air berada pada titik terendah. Yang merasa rugi seharusnya adalah para pemain sepakbola -sebagai mata pencaharian mereka- dan juga para pecinta olahraga ini. Saya yakin banyak orang yang gemar sepakbola sangat ingin menyaksikan langsung pertandingan tim kesayangan mereka, tapi karena image itu tadi, membuat mereka berpikir seribu kali untuk datang ke stadion.

Kembali ke soal kerusuhan tadi, kekecewaan Aremania bisa saya maklumi. Orang orang yang gila bola, kalau melihat tim kesayangan tertinggal pasti bikin gelisah dan panas dingin. Lalu kemudian gol dianulir, sekali dua kali, kalau begini sumpah serapah pasti keluar. Tapi stop sampai di situ. Kalau setelahnya lalu melempar batu, memukul apalagi merusak, itu sudah urusan lain. Itu sudah masuk ke wilayah hukum -pak Polisi- dan bukan bagian dari sepakbola.

Pecinta sepakbola di Indonesia setiap minggu disuguhi pertandingan2 liga Eropa. Gratis! Seharusnya belajarlah dari situ. Sering kita lihat keputusan wasit yang salah atau kontroversial, gol yang dianulir, handsball yang tidak terlihat, dsb. Semuanya bagian dari sepakbola.

Ingat bagaimana sakitnya penggemar Inggris saat wasit tidak melihat Maradona memasukkan bola dengan tangannya di perempat final PD 1986 di Meksiko? atau saat Italia dihadiahi penalty saat injury time melawan Australia di PD Jerman 2006 lalu, meski tayangan ulang TV menunjukkan Grosso melakukan diving? Padahal ini terjadi di ajang terpenting sepakbola. Kadar adrenalin yang terlibat, emosi yang terasa tidak sebanding dengan liga Indonesia. Tapi mereka sadar, wasit juga manusia. Becus tidaknya wasit menjalankan tugasnya, biar PSSI/FIFA yang menilai. Kalau mau tidak puas, layangkan protes ke lembaga yang membawahi para wasit. Bukan main pukul, main bakar.

Kapan ya, menonton sepakbola di stadion menjadi hiburan keluarga seperti di Eropa. Sang anak menonton tim kesayangan didampingi oleh ayah dan atau ibunya bahkan sang kakek-nenekpun ikut serta. Syukur2 kalau pemandangan di stadion tanah air diramaikan juga oleh gadis2 remaja lengkap dengan atribut tim kesayangan.

gambar: image.worldcupgermany.com

Labels:

___________________________________________

2 Comments:

  • untung ga demen bola
    huehehehe

    By Anonymous Anonymous, At 9:50 AM  

  • Komplek masalahnya...wasit yang tidak mumpuni.....aturan yang tidak ditegakkan.....kerusuhan juga terjadi di luar negeri sana....tregedi heysel ( moga gak salah tulis ) menelan korban banyak ketika final liga champions antara Liverpool dan Juve.tapi seperti yang sama-sama kita ketahui,akibat peristiwa itu UEFA memberi hukuman yang setimpal atas kejadian itu dengan melarang klub-klub Liga Inggris mengikuti kompetisi Liga Champions.Sementara di Indonesia pelanggaran yang terjadi selalu diselesaikan dengan lobby.Aturan tak kunjung tegak dengan adanya lobby-lobby.maka segala peristiwa kerusuhan selalu berulang dari satu pertandingan ke pertandingan yang lain.

    By Anonymous Anonymous, At 12:56 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home