Neuschwanstein

Dari sekian banyak yang bisa dianggap untuk menjadi landmark negara bagian Bayern (baca: Bavaria), Neuschwanstein patut untuk dinobatkan menjadi salah satu diantaranya. Konon, ide lambang Walt Disney yang berbentuk kastil itu ditiru dari bangunan bersejarah ini.

Dari Muenchen, kastil ini dapat ditempuh dengan kereta selama dua setengah jam ke daerah Füssen lalu dilanjutkan dengan bus atau taxi sekitar 10 menit menuju Hohenschwangau. Dari sini (di kaki gunung), kita boleh memilih apakah melanjutkan perjalanan dengan naik delman atau berjalan kaki menuju ke kastil yang berada di puncak gunung. Tiket untuk masuk ke dalam kastil juga harus dibeli sini.

Di dalam castil sendiri, selain melihat isinya secara keseluruhan, kita diajak mengunjungi ruang2 pribadi sang raja, . Mulai dari kamar tidur, ruang kerja, ruang makan dan ruang resmi di mana sang raja biasa menerima tamu. Peralatan dan aksesories istana dari jaman Ludwig II sebagian besar juga bisa dilihat di sini. Lukisan lukisan kesayangannya, hasil tulis tangannya, dsb. Sayangnya, pengunjung dilarang membawa segala macam bentuk kamera dan video.

Mulai dibangun sejak September 1869, sebagai gagasan dari Raja Bavaria yang berkuasa saat itu, Ludwig II (1845-1886), kastil ini diniatkan sebagai tempat tinggal sang raja yang baru, meninggalkan kastil ayahnya Maximilian II yang juga terletak di daerah Hohenschwangau. Tetapi dibalik itu, pembangunan kastil ini mempunyai latar belakang politik. Pada tahun 1866, Bavaria yang saat itu beraliansi dengan Austria takluk melawan Prussia. Sejak saat itu, Ludwig II hanya sekedar boneka yang harus menuruti kemauan pemimpin Prussia. Salah satu haknya yang dicabut adalah kekuasaan atas pasukannya jika terjadi perang. Tahun 1867, Ludiwg II mulai merencanakan untuk membangun kerajaannya sendiri di mana dia bisa menjadi “raja” yang sebenarnya.

Selain pemandangan sekitarnya yang indah, bangunannya yang megah, daya tarik kastil ini adalah misteri yang melingkupi raja Ludwig II sendiri . Sang raja wafat sebelum pembangunan kastil ini betul betul rampung, dalam “keterasingan” yang diinginkannya sendiri. Salah satu ucapannya yang terkenal, diucapkannya di depan umum tidak lama sebelum kematiannya adalah, "I want to remain an eternal mystery to myself and others.” Sampai sekarang, masih ada beberapa teori mengenai penyebab kematiannya. Ada yang menganggapnya bunuh diri, dibunuh, sementara yang lain menganggapnya mati “kecelakaan”.

Tujuh minggu setelah kematian sang raja, Kastil ini dibuka untuk umum. Setiap tahunnya, kastil ini dikunjungi sekitar 1,3 juta pengunjung. Pada musim panas, rata rata 6.000 orang berkunjung ke sini setiap hari. Pemerintah Negara bagian Bayern sendiri sudah menginvestasikan 11,2 juta euro untuk biaya renovasi dan pemeliharaan sejak tahun 1990.
Jadi, jika anda berkunjung ke Jerman, jadikan Neuschwanstein sebagai salah satu tujuan. :-)

Untuk gbr dan cerita lebih detail:
http://www.neuschwanstein.com




Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Tega

Hyena adalah jenis carnivora dari keluarga Hyaenidae yang banyak dijumpai di Africa dan termasuk hewan dilindungi. Sering didapati bergerombol ke mana mana. Dalam mencari makan, biasanya memaksa calon mangsa untuk terpisah dari kawananya, dibiarkan terkuras tenaganya, lalu kemudian diserang dan dimakan hidup hidup. Strategi dalam mencari mangsa selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jika jumlah mereka sedikit, mereka tidak akan gegabah untuk mengejar mangsa yang besar.

Hewan ini sering diasosiasikan dengan kerakusan, pengecut dan kotor. Meski demikian, sama halnya dengan serigala ataupun harimau, hyena tidak akan pernah membunuh mangsa melebihi yang mereka butuhkan, apalagi menimbun.
Begitu mereka kenyang, mereka akan bermain bersama kelompoknya kembali ataupun menghabiskan hari dengan tidur.

Di Jakarta, ibu kota negara tercinta, pada sebuah negara yang orang orangnya katanya beradab, beragama dan ramah, beberapa orang tidak sanggup membeli beras. Pemerintah dengan niat baiknya untuk mengayomi, mencoba melaksanakan operasi beras, menjual beras dengan harga terjangkau yang tentu saja hanya diperuntukkan untuk orang orang yang tidak beruntung. Tempat ditentukan, waktu ditetapkan, mereka telah antri sedari pagi demi menyambung hidup beberapa hari.

Sampai di sini, semua berjalan normal, gak ada yang salah, sampai ketahuan bahwa diantara yang antri, ada joki2 bayaran dari juragan beras yang ingin mendapat keuntungan dari perbedaan harga yang tidak seberapa buat mereka.

Kalau dibilang juragan beras, pasti punya banyak persediaan beras kan? Perutnya mungkin gak pernah "kekurangan" beras, hidupnya pun mungkin mewah, setidaknya dibanding orang orang yang antri beras karena tak mampu itu. Entah ide brilliant (baca licik) dari mana mereka dapat hingga berpikiran untuk "berpartisipasi" dalam pembagian beras itu. Mereka toh tidak akan dapat berton ton beras pembagian. Tidak akan dapat keuntungan berlimpah olehnya. Tidakkah mereka malu terhadap binatang? pada hyena yang katanya rakus dan licik itu? Atau mungkin orang orang seperti ini lebih pantas menjadi anggota family Hyaenidae dibanding Hominidae?
Daripada dilindungi, orang orang begini sebaiknya ditangkap dan dilepas di hutan Sumatera atau Kalimantan.






Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Tes Kesehatan

Lagaknya seperti penerimaan karyawan baru, alih alih hanya untuk masuk sekolah dasar (Grundschule)...:-)

Kemarin, nganterin anak ikut test kesehatan. Gak seperti di Indonesia yang lebih "mewajibkan“ anak bisa membaca sebagai syarat utama, di sini lebih diutamakan kesiapan fisik dan mentalnya sebelum memasuki sekolah dasar (mereka benar2 mengajarkan membaca di kelas 2).

Menegangkan juga sih, setidaknya buat saya. Khawatir jika tak lulus, dia harus ngendon setahun lagi di Vorschule (TK B?) atau paling tidak harus mentok di SD tertentu yang jaraknya mungkin jauh dari rumah. Salah satu syarat yang paling utama buat mereka adalah „penguasaan“ bahasa Jerman. Dianggap penting agar si anak bisa berinteraksi dengan guru dan temannya serta menangkap materi pelajaran yang disampaikan. Saya khawatir para penguji menganggap bahasa Jerman anak saya belum memadai untuk masuk SD. Meski vocabularynya sudah beragam, secara grammatik anak saya memang masih sering salah dalam berbahasa. Tipikal cara ngomong anak anak apalagi buat anak pendatang sepertinya yang kedua ortunya adalah non german.

Si anak sih nyantai saja, sambil menunggu giliran, dia asyik bermain dan menggambar bersama anak anak yang lain yang juga menunggu giliran. Begitu tiba giliran, dia jauh lebih excited lagi karena ujiannya bersifat fun. Seiring dengan berjalannya test, rasa khawatir saya menguap. Selain karena pengujinya cukup bersahabat, adegan2 testnya juga bikin geli.

Ujiannya ada macam macam. Mulai dari periksa fungsi penglihatan dan pendengaran, pengukuran tinggi dan berat badan, kesehatan kulit, fungsi tulang dan kesehatan kelamin sampai uji motorik kasar dan halusnya. Ada lompat lompat dengan bertumpu hanya pada satu kaki sejauh dua meter, berjalan lurus setapak demi setapak dengan membentangkan tangan, mengulangi beberapa kata sambil bertepuk tangan, etc.
Dalam beberapa adegan malah si anak cuma bercelana dalam sambil beraktifitas...:-)

Ujian lainnya adalah menggambar, mencari potongan gambar, uji memori dan mengenal bentuk serta bertutur ulang cerita yang diberitahu sebelumnya. Orang tua juga kebagian pertanyaan, tentang riwayat kesehatan anak, beratnya saat lahir, premature atau tidak, usia saat mulai berjalan dan berbicara, etc..etc...

Yang melegakan, dia dinyatakan lulus tanpa syarat. Means bisa mencari sekolah sesuka hati (alhamdulillah).
Perasaan baru kemaren dianterin nyokap tes untuk masuk SD ternyata itu sudah 25 tahun yang lalu. Udah tua ya?..:-)



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

TALK TALK TALK!!!

Saya salah satu penggemar tulisan tulisan beliau. Selain ringan dan mudah dicerna, ide ide yang dibawakannya terkadang berani dan melawan arus. Kapabilitas dan track recordnya menunjukkan betapa dia telah berada di puncak karir setelah bertahun tahun merintisnya dari bawah.

Saat membaca salah satu tulisannya
di sini, mata awam saya melihatnya dari sisi lain. Bahwa implementasi di lapangan, mengenai apapun itu, tidak semudah berkata kata. Tidak soal berapa banyak buku yang kita baca, berapa puluh seminar yang kita ikuti, seberapa sering kita mengikuti berbagai macam training, aplikasi sesungguhnya di lapangan bisa saja berbeda. Ada begitu banyak faktor terkait yang bisa saja tidak ada dalam teori. Seseorang bisa saja ahli mengenai subject tertentu, selalu dimintai pendapatnya tentang subject tersebut, sering memberikan ceramah dan pelatihan, tapi kalau disuruh melaksanakannya sendiri, belum tentu dan tidak ada jaminan untuk berhasil. Ide memang mahal, pengetahuan pun tidak gampang untuk dikuasai. Tapi bukankah hasil akhir yang menentukan? dan tanpa praktik yang benar, bagaimana bisa mengharapkan hasil akhir yang bagus?

Bukankah penata rambut belum tentu bisa menata rambutnya sendiri?
Apakah ada jaminan bahwa ahli konsultasi perkawinan, rumah tangganya bakal langgeng dan awet sepanjang waktu?
Apakah kehidupan seksual Dr. Boyke atau Dr. Naek Tobing selalu hangat meski sudah berpuluh tahun menikah?


Saat pertama kali kerja dulu, saya ditempatkan dibagian Account Receivables. Namanya sih keren, tapi praktiknya lebih mirip2 debt collector..:-)
Tentu saja gak pake maksa2 dan ngancam apalagi pamer otot ataupun tatto (dua2nya gak punya)karena yang ditagih bukan perorangan. Setiap hari biasanya "dibagi" dua. Pagi kerja depan komputer membukukan piutang2, siang sampai sorenya keluar nagih. Kadang juga dibalik. Setiap kali sebelum menagih, biasanya kami dibriefing kecil kecilan dulu diberi bekal. Tapi begitu bertemu langsung dengan debitor, tidak semudah itu meminta mereka menuliskan cek pembayaran. Ada yang cerita ngalor ngidul dulu, nawarin minum dan makanan kecil, ujung ujungnya minta waktu beberapa hari lagi karena katanya bisnis lagi sepi. Ada pula yang to the point bilang belum bisa bayar.Pernah malah yang punya show room, saat ditemui di kantornya, langsung mempersilahkan ke lantai dua untuk meminta persetujuan istrinya. Kalau beginikan, gak pernah ada di materi briefing!!!....:-(



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Buen fin de semana!

Menjadi Pegawai kantoran di sini kayaknya relative lebih enak dibanding di Indonesia. Maksud saya, bila dibandingkan dalam hal pemenuhan atau perlindungan hak karyawan.

Seorang karyawati yang sedang hamil misalnya, dia bisa ngambil cuti setidaknya sebulan sebelum melahirkan sampai 6 bulan setelah hari H dengan tetap menerima gaji penuh. Saat si kecil berusia 6 bulan, sang ibu bisa memutuskan untuk mengambil "Erziehungsurlaub“ (maternity leave) yang mengijinkan dia cuti dari kantor sampai maksimal 3 tahun!! Dan setelahnya masih bisa kembali bekerja di kantor yang sama dengan standar yang sama saat dia belum melahirkan. Cuma, selama Erziehungsurlaub ini, perusahaan tidak lagi berkewajiban membayar gajinya. Sebagai ganti, si ibu bisa apply ke instansi pemerintah terkait yang memberinya tunjangan yang disebut Elterngeld yang bervariasi dari 600 sampai 1800 Euro sebulan (tergantung besaran pendapatan terakhir juga).

Kalau sang ibu ngotot pengen bekerja, dia bisa berkompromi dengan perusahaannya untuk bekerja paruh waktu (biasanya 20 jam dari aturan normal 35 jam seminggu). Kalau begini, pembayaran gaji dan juga elterngeld disesuaikan.
Not bad, right?

Lucunya, meski aturan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk mendukung setiap keluarga untuk memiliki anak, semakin sedikit pasangan di sini yang berniat untuk mempunyai keturunan.
Teman saya pernah bercanda kalau aturan serupa diberlakukan di Indonesia, bisa bisa setelah Erziehungsurlaub, kemudian karyawatinya masuk kantor kembali, lagi lagi dia dalam keadaan hamil anak kedua...:-)

Kelebihan yang lain adalah jatah cuti setahun yang lebih banyak, 35 hari kerja. Bandingkan dengan beberapa instansi di Indonesia yang memberikan tidak lebih dari setengahnya. Waktu kerja juga lebih sedikit, 35 jam seminggu (kalo gak salah di Indonesia 40 jam) dan lebih flexibel. Flexibel dalam artian jika seseorang sudah bekerja selama 35 jam dari Senin sampai Kamis, maka Jumat dia boleh gak masuk kantor. Kalaupun tetap masuk, maka berarti dia dapat jatah cuti tambahan selama sehari. Secara keseluruhan, waktu kerja akan diperhitungkan setiap bulannya. Jika lebih, akan ditambahkan ke jatah cuti tahunan, jika kurang, dia harus mengganti dibulan berikutnya.

Dan kalau Jumat seperti hari ini, matahari cerah, langit biru...burung burung berkicau, hmm.....kayaknya pulang sejam lebih awal juga gak apa apa..:-)

Selamat berakhir pekan....Have a nice weekend...schönes Wochenende...buen fin de semana!!!

Photo diambil dari sini .


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

R.A.C.I.S.M.

Masalah menyamaratakan ( atau membedakan) orang, kayaknya agak susah untuk dihilangkan atau sekedar meminggirkannya sedikit dari pikiran manusia. Aromanya akan jauh lebih terasa saat kita tinggal di sebuah tempat di mana penduduknya datang dari berbagai penjuru mata angin, berbeda padepokan, lain etnik dan agama, serta dari bermacam warna mata dan ukuran jempol.

Sadar atau tidak, ada bagian kecil dari otak kita yang suka mengambil keputusan sendiri hanya dengan melihat penampakan (baca: fisik) seseorang tanpa mau menimbangnya secara aggregat. Mungkin tidak mengejek atau menghina secara langsung tapi menilai seseorang hanya berdasarkan rasnya, penampilan ataupun warna kulitnya sering kita lakukan. Kalau di indonesia sebagian dari kita sering menganggap bahwa yang bule, yang pirang itu pasti berduit , meski misalnya bulenya ke mana mana make sendal jepit dan pake jeans dekil, maka sebagian orang di sini menganggap bahwa pendatang (apakah itu ras asia, africa atau eropa timur) tidak jauh jauh dari kesan tak punya, tak mampu, tak sanggup, tak resmi, tak bisa dipercaya dan tak tak lainnya walau tidak bisa dipungkiri cukup banyak pula yang berpikiran positif dan ramah terhadap pendatang.

Suatu malam saya berjalan kaki dari stasiun kereta menuju ke rumah. Jalannya memang rada rada sepi meski relatif terang. Malam itu hanya ada dan seorang wanita yang berjalan kaki. Begitu sepinya hingga hanya langkah2 kaki kami bisa kedengaran dengan jelas. Masalahnya, ibu paruh baya yang jalan sekitar tiga tombak di depan saya terlihat gelisah. Setiap beberapa langkah, dia menengok ke belakang ke arah saya. Tas yang tadinya santai bergantung dipundak, dipindahkan ke depan, didekap erat. Berulang kali dia menoleh ke belakang hingga akhirnya berhenti dan mempersilahkan saya lewat. Mungkin bisa membaca raut muka saya yg kelihatan bingung, dia lalu berkata dengan sopan, "Maaf anak muda, saya merasa lebih nyaman kalau kamu yang berjalan di depan saya.“
"Ya udah, either ibu yang agak2 phobia atau emang tampang saya yang rada kriminil,“ jawab saya, tentu saja cuma dalam hati.

Minggu pagi itu, seperti biasanya, saya antri di sebuah toko roti yang jarak tempuhnya hanya sepeminuman teh berjalan kaki dari rumah. Setelah memesan beberapa potong roti, membayar dan menerima uang kembalian, saya menegur pelayannya yang sudah sibuk dengan pembeli yang lain:

"Maaf mbak, uang kembaliannya salah,“ dengan suara datar plus senyum menyungging. Seketika dia menghentikan kegiatannya, sambil menatap (sinis sih kagak, tapi tidak bersahabat) dan mendekati saya, dgn suara yang agak tinggi dia berkata, "Apanya yang salah? Kamu ngasih 10 Euro, roti kamu harganya 5,35 Euro, kembaliannya 4,65 Euro. Gak lihat di mesin hitung apa?“
"Saya cuma mau bilang, duit kembalian dari kamu lebih,“ timpal saya sambil mengembalikan beberapa koin recehan ke dia, tentu saja, kali ini tanpa senyum. Dia jadi malu sendiri dan untungnya masih sempat berterima kasih sebelum saya berlalu.

„Lihat-lihat dulu dong mbak, jangan asal marah aja,“ ujar saya dalam hati. Mentang mentang kulit saya gak putih, rambut saya gak pirang, raut muka yg baru bangun, rambut kucel – untung udah sikat gigi- kalo mau protes dikit, langsung dicurigai.

Mungkin ini cuma perasaan saya saja, meski kecurigaan seperti itu bukan yang pertama kali saya alami. Mbaknya mungkin lagi in the bad mood atau habis bertengkar dengan sang pacar malam sebelumnya lalu pagi pagi, di saat orang2 istirahat di rumah, dia harus bekerja menjaga toko.

Gambar diambil dari:www.commarts.com


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Anak Anak


“Fakir Miskin dan anak anak telantar dipelihara oleh Negara"


Sebagian kita pasti masih ingat berada di pasal berapa aturan tersebut dalam UUD kita yang disakralkan itu. Sama yakinnya saya bahwa (hampir) semua dari wakil rakyat dan petinggi petinggi tanah air tahu dengan pasal tersebut. Sayangnya, seperti kebanyakan aturan (atau janji atau komitmen) yang berlaku di republik tercinta, tidak lain dan tidak bukan hanyalah pemanis bibir, dongeng sebelum tidur atau sekedar aturan di atas kertas yang implementasinya lebih sering jauh panggang dari api. Tidak ada yang (mau) peduli.

Orang ini baru saja kehilangan anaknya yang “disita” oleh Jugendamt (dept. khusus yang menangani masalah anak dan remaja), bukan karena dia dan istrinya masih terlalu muda untuk menjadi orang tua (umur mereka belum 20 tahun) tapi karena mereka dianggap belum layak untuk menjadi orangtua. Sang ayah, pernah menjadi pecandu obat, pernah dipenjara karena kasus kriminial. Sang ibu pernah pula ketahuan mencicipi obat terlarang. Jugendamt mengkhawatirkan masa depan si anak yang dibesarkan oleh orangtau seperti mereka. Sampai kapan si anak akan diasuh oleh Negara? Tergantung. Biasanya si ortu diberi waktu untuk menunjukkan kelakuan baik mereka. Kalau tidak, Negara berhak mencarikan orang tua yang dianggap layak untuk si kecil.


Kasus seperti ini adalah hal yang lumrah di sini. Pernah pula muncul hal serupa di mana si anak yang masih balita diambil oleh Juegendamt karena sang suami sering menganiaya istrinya hingga suatu ketika sang istri tidak tahan dan melapor ke polisi. Belakangan juga terungkap jika sang istri -entah akibat perlakuan suami- seringkali tidak peduli lagi dan menelantarkan anaknya.

Tentu saja, Jugendamt (Negara) tidak bisa memantau tingkah laku masyarakatnya satu per satu dan yang “tertangkap” hanyalah yang muncul ke permukaan. Tapi sisi positifnya menurut saya adalah Negara sadar betapa pentingnya menyelamatkan hidup anak anak. Bukan saja yang terlantar atau miskin tapi semua anak anak yang dirasa masa depannya “terancam”.
Mereka bukan saja harapan orang tua tapi harapan bangsa di masa datang. Thus, hak asuh untuk mereka tidak ditentukan oleh hubungan darah, melainkan sejauh mana pemenuhan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Tidak cuma pangan, sandang dan pendidikan tapi sama pentingnya adalah kebutuhan kasih sayang, psikis dan mental. Mereka menganggap kalau semua itu terpenuhi untuk anak, setidaknya keinginan untuk berbuat negative (yg mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain) akan terlimitasi.
Bagaimana di Indonesia?

Photo diambil dari sini karya Yudho Wahyu


Baca selanjutnya.....
___________________________________________