R.A.C.I.S.M.

Masalah menyamaratakan ( atau membedakan) orang, kayaknya agak susah untuk dihilangkan atau sekedar meminggirkannya sedikit dari pikiran manusia. Aromanya akan jauh lebih terasa saat kita tinggal di sebuah tempat di mana penduduknya datang dari berbagai penjuru mata angin, berbeda padepokan, lain etnik dan agama, serta dari bermacam warna mata dan ukuran jempol.

Sadar atau tidak, ada bagian kecil dari otak kita yang suka mengambil keputusan sendiri hanya dengan melihat penampakan (baca: fisik) seseorang tanpa mau menimbangnya secara aggregat. Mungkin tidak mengejek atau menghina secara langsung tapi menilai seseorang hanya berdasarkan rasnya, penampilan ataupun warna kulitnya sering kita lakukan. Kalau di indonesia sebagian dari kita sering menganggap bahwa yang bule, yang pirang itu pasti berduit , meski misalnya bulenya ke mana mana make sendal jepit dan pake jeans dekil, maka sebagian orang di sini menganggap bahwa pendatang (apakah itu ras asia, africa atau eropa timur) tidak jauh jauh dari kesan tak punya, tak mampu, tak sanggup, tak resmi, tak bisa dipercaya dan tak tak lainnya walau tidak bisa dipungkiri cukup banyak pula yang berpikiran positif dan ramah terhadap pendatang.

Suatu malam saya berjalan kaki dari stasiun kereta menuju ke rumah. Jalannya memang rada rada sepi meski relatif terang. Malam itu hanya ada dan seorang wanita yang berjalan kaki. Begitu sepinya hingga hanya langkah2 kaki kami bisa kedengaran dengan jelas. Masalahnya, ibu paruh baya yang jalan sekitar tiga tombak di depan saya terlihat gelisah. Setiap beberapa langkah, dia menengok ke belakang ke arah saya. Tas yang tadinya santai bergantung dipundak, dipindahkan ke depan, didekap erat. Berulang kali dia menoleh ke belakang hingga akhirnya berhenti dan mempersilahkan saya lewat. Mungkin bisa membaca raut muka saya yg kelihatan bingung, dia lalu berkata dengan sopan, "Maaf anak muda, saya merasa lebih nyaman kalau kamu yang berjalan di depan saya.“
"Ya udah, either ibu yang agak2 phobia atau emang tampang saya yang rada kriminil,“ jawab saya, tentu saja cuma dalam hati.

Minggu pagi itu, seperti biasanya, saya antri di sebuah toko roti yang jarak tempuhnya hanya sepeminuman teh berjalan kaki dari rumah. Setelah memesan beberapa potong roti, membayar dan menerima uang kembalian, saya menegur pelayannya yang sudah sibuk dengan pembeli yang lain:

"Maaf mbak, uang kembaliannya salah,“ dengan suara datar plus senyum menyungging. Seketika dia menghentikan kegiatannya, sambil menatap (sinis sih kagak, tapi tidak bersahabat) dan mendekati saya, dgn suara yang agak tinggi dia berkata, "Apanya yang salah? Kamu ngasih 10 Euro, roti kamu harganya 5,35 Euro, kembaliannya 4,65 Euro. Gak lihat di mesin hitung apa?“
"Saya cuma mau bilang, duit kembalian dari kamu lebih,“ timpal saya sambil mengembalikan beberapa koin recehan ke dia, tentu saja, kali ini tanpa senyum. Dia jadi malu sendiri dan untungnya masih sempat berterima kasih sebelum saya berlalu.

„Lihat-lihat dulu dong mbak, jangan asal marah aja,“ ujar saya dalam hati. Mentang mentang kulit saya gak putih, rambut saya gak pirang, raut muka yg baru bangun, rambut kucel – untung udah sikat gigi- kalo mau protes dikit, langsung dicurigai.

Mungkin ini cuma perasaan saya saja, meski kecurigaan seperti itu bukan yang pertama kali saya alami. Mbaknya mungkin lagi in the bad mood atau habis bertengkar dengan sang pacar malam sebelumnya lalu pagi pagi, di saat orang2 istirahat di rumah, dia harus bekerja menjaga toko.

Gambar diambil dari:www.commarts.com

___________________________________________

12 Comments:

  • Jaraknya tiga tombak atau jauhnya sepeminuman teh...halah! kayak dengerin Brama kumbaraaa.
    Susah emang bang! punya tampang pasaran murah, gak eksklusip kayak gitu :p

    By Anonymous Anonymous, At 8:36 AM  

  • makane mass..pake krem pemutih biar agak ganteng!Jalan masih panjang jangan menyesal dululah..ayo cepet bertindakk.

    By Anonymous Anonymous, At 1:16 PM  

  • Wah..mas é lali adus!! koyo mbe´ pantesan..pantesan..
    Gak usah adoh-adoh nang jerman, ngarep omah ae yen gak adus yo pasti ngerasano rasis la..mas!Piye toh..

    By Anonymous Anonymous, At 1:21 PM  

  • Masss!! kayaknya kudu diruwat..(apanya?)kremnya..haha

    By Anonymous Anonymous, At 2:19 PM  

  • Maaf anak muda...yang komentar diatas itu kok seperti nama nama yang tak asing ditelinga saya toh?

    By Anonymous Anonymous, At 6:32 PM  

  • Kalo ada duit, penampakan seperti apapun (baca:fisik) dijamin bukan lagi disamaratakan tapi dijunjungkan. gitu ya. liat orangnya apa duitnya?.

    By Blogger EnDah Rezeki, At 2:04 AM  

  • huhu...generalisir, stereotyp...banyak yang hinggap di pikiran kita...umumnya kalo mau melakukan identifikasi awal...tp lama2 kalo dah akrab sedikit demi sedikit itu bakal hilang...bahkan tambah baekji...

    salam kenal...

    By Anonymous Anonymous, At 9:32 AM  

  • hahaha.. untung sudah mandi ya, mas :)

    semoga ini bukan hanya didasari rasisme. semoga ini hanya didasari oleh si ceuceu kasir roti yang semalam ngga dapat jatah dari cowoknya! hahahaha!

    By Blogger dody, At 2:31 PM  

  • si ibu pede amat yaa...
    coba mas, next time kalo ada yg minta mas jalan duluan, setelah jalan kira2 3 depa didepannya, langsung balik badan secara tiba2 dan mengejutkan sambil blg "baa...!" pasti tu ibu lgs kaget ato terbirit2. Ah tp jgn ditiru, takut tu ibu meninggal.

    By Blogger Rey, At 9:23 AM  

  • Don, blog ente berat bukanya...ga usah masang lagu lagu gitu loh.. ketemu lagi kita neh di dunia.net

    By Blogger Irwin @Internet, At 9:27 AM  

  • irwin: selama ini sih buka dari sini gak ada masalah. Anwy, lagunya sdh saya hapus.
    Have nice weeken fren!

    By Blogger Donnie, At 1:04 PM  

  • iya ya...masih banyak jg orang yg perpandangan spt itu... saya sendiri juga sering mengalaminya :P
    salam kenal mas Donnie ;)

    By Anonymous Anonymous, At 2:00 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home