Bahasaku Bahasamu

Kata orang orang, bahasa menunjukkan bangsa. Tapi saya sering bingung bagaimana menafsirkannya. Apakah jika dikatakan bahwa bahasa Indonesia termasuk bahasa yang sederhana menunjukkan bahwa kita juga termasuk bangsa yang paling sederhana? Sederhana dalam hidup, berpikir atau ber tingkah laku?

Setidaknya bahasa bisa menunjukkan sejarah masa lalu bangsa itu sendiri. Karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan yang terbentuk dari hasil interaksi sesama manusia dalam perjalanan waktu yang panjang. Kosa kata bahasa kita yang banyak diambil dari bahasa Sansekerta, bahasa Arab ataupun Belanda menjelaskan dengan sendiri betapa wilayah dan kakek moyang kita dulu banyak berinteraksi, kalau tidak mau dibilang “didominasi” oleh orang orang pengguna bahasa asing tersebut.

Dalam skala lebih kecil, bahasa menunjukkan seseorang. Bukan saja bahasa dalam artian tutur kata dan cara bicara tapi juga dalam penguasaan bahasa lain selain bahasa ibu. Di dunia yang katanya sudah mengglobal ini., bahasa asing sudah terintegrasi menjadi bagian dari kualitas seseorang. Tak heran, di sekeliling kita, begitu banyak yang sering berbicara ataupun menulis, sengaja ataupun tidak sengaja, mencampurnya dengan bahasa asing. Entah untuk sekedar tampil keren atau memang otaknya sudah tidak mampu memilah jenis kata yang terucap.


Yang berlebihan, seringnya instansi atau perusahaan mewajibkan setiap calon karyawan untuk bisa berbahasa inggris meski kerjaan ataupun bisnis mereka sendiri tak membutuhkan hal itu. Seorang kenalan pernah “terkecoh” oleh sebuah iklan berbahasa Inggris yang mencari tenaga akuntansi sekaligus menguasai bahasa Inggris. Usut punya usut, ternyata itu adalah lowongan kerja dari sebuah toko emas yang notabene pelanggannya orang local semua. Kalau begitu, bahasa Inggris buat apa?
Dulu juga saya pernah melamar kerjaan dengan syarat yang sama. Semua ujian dan wawancara berlangsung dalam bahasa Inggris. Setelah diterima, saya diberitahu bahwa mereka punya beberapa expatriates dari Korea . Lucunya, expat yang ada di kantor kurang bisa berbahasa Inggris. Setiap kali ditanya, lebih banyak menjawab Yes dan No doang…:-)

Berbicara tentang bahasa asing, beberapa rekan kerja di sini membuat saya iri. Ada beberapa rekan yang berasal dari Tunisia, menguasai bahasa Arab dan Perancis karena kedua bahasa itu yang menjadi bahasa nasional mereka. Di sekolah dia juga belajar bahasa Inggris dan setelah tamat melanjutkan kuliahnya di Jerman. Total jenderal dia bisa berbicara dalam keempat bahasa tersebut sama baiknya.

Ada pula rekan yang ayahnya berasal dari Armenia, ibunya berdarah Yunani, dia dan saudara2nya lahir dan besar di Jerman. Dia tumbuh di daerah perbatasan dengan Perancis di mana bahasa Perancis jamak dipakai sebagai bahasa sehari hari. Belajar bahasa Inggris di sekolah. Menurutnya, dia tidak bisa lagi mengenali yang mana yang merupakan bahasa asing untuknya. Bahasa Armenia, Yunani, Perancis, Jerman ataupun Inggris sama saja buatnya.

Seorang pelayan di sebuah restoran cepat saji di sini juga membuat saya senyum. Meskipun menemukan pramusaji yang berbahasa Inggris adalah hal langka, tapi malam itu saya melihat dia dengan lancarnya “menukar” otaknya untuk berbicara Inggris dan Jerman dengan pelanggan yang ada. Ketika dia berbicara dalam bahasa Perancis dengan rekannya, saya jadi senyum karena berpikir dengan 3 bahasa itu dia mungkin tidak akan terdampar sebagai pramusaji jika saja dia di berada di Indonesia.

Kalau mau jujur, mereka itu sedikit diuntungkan oleh keadaan. Oleh letak geografis ataupun kondisi lingkungan (termasuk soal keturunan) mereka. Banyak diantara kita yang juga mengerti 3-4 bahasa. Mulai dari bahasa daerah, bahasa Indonesia dan setidaknya satu bahasa asing. Sayangnya, bahasa daerah ataupun bahasa Indonesia hanya dipakai dalam lingkup tertentu. Tidak seperti misalnya bahasa Perancis dan bahasa Arab buat orang Tunisia ataupun bahasa Spanyol buat sebagian besar orang Amerika Latin. Ibaratnya sebuah software, bahasa daerah dan Indonesia sudah menyita space di otak kita tapi kurang compatible dengan kebanyakan perangkat yang ada. Sementara software yang ada di kepala mereka lebih banyak diterima dan lebih flexible.

Meski begitu, kita harus tetap bangga dengan bahasa kita, mengajarkannya kepada siapa saja yang mau. Saya tidak habis pikir mendapati beberapa saudara kita yang telah lama menetap di luar ataupun yang menikah dengan orang asing, dengan senangnya berkata bahwa anak anak mereka tidak bisa ataupun kurang fasih berbahasa Indonesia. Tanpa sadar mereka telah mencabut bagian dari akar budaya yang sebenarnya menjadi hak asasi sang anak.Lalu bahasa asing? Tentu saja tetap perlu. Jangan sampai kejadian beberapa tahun lalu saat Menteri Pendidikan kita diwawancarai secara live di CNN terjadi pada kita. Waktu itu beliau lebih banyak ber ah ih ohnya daripada menjawab pertanyaan. Entah gugup entah tidak mengerti pertanyaan yang diajukan, setidaknya rasa kecewa sebagai orang Indonesi hanya bisa saya pendam. Semoga saja orang orang lain yang menonton saat itu lebih berpikir tentang “bahasa menunjukkan seseorang” dibanding “bahasa menunjukkan bangsa”.

24.12.06


___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home