Perintah AGAMA

Terkadang dalam hidup ini sesuatu yang kita anggap sepele sebenarnya cukup penting.
Sesuatu yang kita anggap kecil ternyata “bernilai” dalam mengungkapkan jati diri kita.
Dalam beragama pun begitu. Menganggap bahwa agama ataupun keimanan hanya urusan ritual ibadah kepadaNya dan oleh karenanya tidak menyentuh sendi kehidupan kita yang lain. Kita terlalu peduli dan fokus terhadap terhadap kewajiban vertikal kepadaNya sampai kadang kala lupa atau menyepelekan kewajiban horisontal kepada manusia maupun kepada alam (lingkungan).

Beberapa bulan lalu saat cuti ke Makassar, saya dan keluarga menyempatkan mampir ke Pantai Losari. Kami sengaja memilih datang pagi karena selain ingin menikmati pemandangan pantai, juga ingin menikmati bubur ayam yang murah meriah di situ.

Cukup ramai suasana pagi itu. Ada yang jogging, ada yang jualan, banyak juga yang sekedar jalan jalan seperti kami. Yang menyedihkan, pantai tersebut tetap saja kotor, tidak terawat. Sampah plastik, sampah makanan, berserakan di mana mana. Ada sekelompok keluarga yang duduk tidak jauh dari kami. Wanitanya masih mengenakan mukena, yang pria membawa sajadah. Mungkin sehabis sholat subuh bersama, mereka melanjutkan acara kumpul di pinggir pantai. Ironisnya mereka asyik memakan kacang (2 kelinci?) lalu membuang bungkus kacang di sekitar situ. Tanpa rasa bersalah tanpa sungkan sungkan. Kenapa ironis? karena mereka mungkin mampu menjaga amanah kewajiban terhadap Tuhannya tapi tidak sadar atas kewajiban terhadap lingkungannya. Kita pasti merasa bersalah ataupun berdosa jika melanggar aturan agama tapi adakah kita merasakan hal yang sama ketika membuang sampah kecil (apalagi sampah besar) sembarangan?
Tentu saja, kotornya pantai Losari bukan cuma salah keluarga tersebut tapi bukankah sebagai muslim kita diajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Jika lingkungan, daerah ataupun negara kita tidak bersih, berarti ada yang hilang dari keping keimanan kita bukan?

Contoh lain adalah berjanji. Rasulullah SAW (peace be upon him) menekankan bahwa salah satu ciri orang munafik adalah jika dia berjanji tidak ditepati. Saya yakin tidak ada diantara kita yang senang dicap munafik tapi pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, seberapa munafikkah kita? Saya kurang tahu apakah hadits tersebut hanya mencakup tentang janji2 “besar”, yang jelas, jikalau janji sudah terucap di bibir, seenteng apapun itu, haruslah ditepati. Hal ini penting untuk menghormati si penerima janji dan juga si pemberi janji itu sendiri. Tidak perlu mencari contoh “besar” seperti janji seorang pemuda yang bakal melamar gadis kesayangannya, ataupun janji seorang anak yang ingin membiayai orang tuanya berhaji. Sering kali untuk janji kecilpun kita alpa menjaganya. Kadang kita janji untuk bertemu di tempat tertentu pada jam tertentu dengan seorang teman, tapi datangnya ngaret. Kadang berjanji untuk menelpon memberi kabar, malah lupa. Seorang teman non Indonesian, ketika di Libya dulu mengatakan bahwa dia paling alergi kalau seorang muslim berjanji lalu bilang “insya Allah”. Jikalau muslim berkata insya Allah dalam janjinya, menurut dia si muslim tidak bersungguh sungguh. Gara garanya, Dia sudah terlalu sering dibohongi setiap kali berjanji dengan orang lokal di sana yang selalu "menggampangkan" kata insya Allah. Makanya dia berkesimpulan begitu. Salah siapa? Salah kita semua yang selalu berlindung dibalik kata tersebut dan menggunakannya sebagai alasan jika berjanji.

Agama kita mengajarkan pula tentang kesabaran. Begitu tinggi nilai kesabaran ini sampai sampai disebut bahwa Tuhan menyukai orang orang yang bersabar. Aplikasinya? Kabur. Setidaknya seperti yang sering saya alami di negeri tercinta. Mengendarai mobil ataupun motor perlu extra hati hati. Rambu lalu lintas ada di mana mana, Polantas juga banyak, tapi tetap saja banyak pengendara yang bergaya preman. Salip kiri kanan seenaknya, tekan klakson sana sini seolah paling benar sendiri. Tidak sabaran sama sekali. Seolah jalanan dibuat khusus untuknya. Bukan cuma angkot ataupun tukang becak, mobil pribadipun banyak bertingkah serupa.
Belum lagi kalau berbicara soal kebiasaan antri di mesin ATM atau di depan loket. Memilukan.
Orang lain selalu berpikiran bahwa teratur di jalan atau antri di loket adalah masalah budaya. Tapi sering kita lupa bahwa budaya lahir dari kebiasaan individu-individu. Sudah sewajarnya kalau masing masing kita sebagai individu memulai dari diri sendiri. Dan sebagai individu muslim, kita harus menanamkan dalam pikiran bahwa Tuhan juga senang jika misalnya kita tertib di jalan ataupun secara sadar antri di depan loket.

Di dalam mesjid saat sholat berjamaah kita selalu tahu tugas kita. Tanpa diberi peringatan, tanpa aba aba. Yang menjadi makmum secara teratur mengikuti gerakan sang imam, berjejer di belakang sambil meluruskan shaf. Tidak seorangpun makmum yang berani sujud mendahului sang imam. Ataupun membaca ayat sendiri bersamaan dengan sang imam. Yang datang belakangan secara sadar mengisi tempat yang kosong. Tidak pernah dia berdiri sendiri di tempat yang dia inginkan.
Ada ajaran sabar dan disiplin di situ. Sedihnya, ajaran ajaran itu buyar begitu kita melangkah keluar dari pintu mesjid. Ajaran itu tidak berbekas begitu kita di jalan, di pusat pertokoan ataupun di tempat umum lainnya.

Ahh..…masih terlalu banyak yang harus saya lakukan sebelum berani mengaku sebagai muslim..:-(


mittwoch, fünfzehn.elf.nullsechs

___________________________________________

3 Comments:

  • He..he...Comment pertama!

    Aduh...Saya jadi tersentil dengan posting ini. Makasih sudah mengingatkan. ;-(.
    Lain kali (ndak) janji deh...ndak ngaret lagi...:-P

    By Anonymous Anonymous, At 3:27 PM  

  • comment kedua...
    numpang mampir mas, numpang beken...:D jualanku sepi tuh yang bolak-balik ngebuka cuman yg ngarang doang...sampe hapal luar kepala isinya :B
    nanggapi soal postingan mas yang satu ini emang boleh juga :p

    By Anonymous Anonymous, At 7:12 PM  

  • iya... annazafatu minal iman... udah gak berarti lagi. kok malah di barat yah, org2 pada disiplin soal kebersihan? smentara kita.. di negara muslim/mayoritas muslim (termasuk timur tengah), penduduknya gak peduli soal kebersihan. kayanya sih menurutku, ini semua "gagal" karena cara pengajarannya salah... cara kita dididik di sekolah itu udah salah.. makanya qta sepertinya gak bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk.. mungkin bisa, tapi tidak menyadarinya :P

    termasuk saya juga kadang2 seperti itu...

    By Anonymous Anonymous, At 4:26 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home