Pengemis dan Photo Model

Setiap hari para pengguna transportasi umum dapat melihat mereka. Duduk di lantai, kadang ditemani seorang anak kecil, satu tangan menengadah ke atas. Namun ketika kamera di sekitar stasiun menangkap mereka lalu kemudian datang sebuah pengumuman, „Mengemis dan tinggal di stasiun kereta bawah tanah, dilarang!!, mereka harus bergegas pergi. Tulisan berikut ini menunjukkan sisi lain bagaimana para pengemis berpikir dan hidup. Belum pernah ada sebelumnya photo photo dari seorang pengemis wanita di tempat tinggalnya sendiri. Blaulicht und Graulicht menuliskannya untuk anda. (Kehidupan) pengemis2 itu terkadang di luar yang kita bayangkan.

(Wina, Oktober 2005) Pria yang bercambang itu berdiri di dekat stasiun kereta bawah tanah "Friedensbrücke“. Dia memegang sebotol bir di tangannya. Usianya sekitar 40 tahun, tinggi 170an cm. Di perutnya menggantung sebuah tas pinggang, di mana dia menyimpan uang dan hp nya. Dia sudah berdiri satu jam di sana. Seperti sedang menunggu seseorang. Kenyataannya, dia adalah seorang "penjaga" dan dia tidak sendiri. Persis di ujung anak tangga di bawahnya, di staisun yang sama, duduk seorang wanita yang berusia 20an tahun. Sambil bersimpuh di atas kedua kakinya, memasang muka yang sedih, tangannya menengadah meminta iba dari orang yang lalu lalang.

Lelaki bercambang itu bertugas untuk memberi tanda. Dia tahu bahwa mengemis itu dilarang. Yang dia awasi adalah para petugas security kereta yang berseragam ungu ataupun polisi Vienna yang berseragam hijau. Jika salah satu dari mereka ada yang datang, lelaki bercambang cukup memberi signal agar si wanita pengemis di bawah bisa segera bergegas dari situ. Keduanya bekerja sama. Keduanya adalah pasangan yang hidup bersama. Hari itu Sabtu, siang hari, di Vienna.

Lelaki bercambang tersebut lancar berbahasa Jerman. Berasal dari Afrika Utara, tepatnya Aljazair. Dia mengaku muslim tapi tingkah lakunya sudah kebarat baratan. Penampilannya lebih mirip sebagai businessman . Awalnya dia ragu untuk berbicara banyak. Tapi semakin lama bicaranya semakin lancar mengalir. "Kami orang orang yang berasal dari Afrika Utara di Vienna saling kenal. Orang Mesir, Tunisia ataupun Aljazair, semuanya sudah seperti keluarga besar,“ katanya. "Kami sering mengadakan pertemuan bersama, sekitar 3000 orang yang tinggal di kota ini dan kami berbicara dalam bahasa Arab, Perancis atau Inggris“. Dia memberitahu bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa bekerja dan mendapat penghasilan layak. Itulah sebabnya dia tidak keberatan jika ada di antara mereka yang mengajak istri/pasangan hidupnya untuk ikut mengemis mencari tambahan penghasilan.

Di tengah tengah percakapan, ketika ditanya siapa perempuan yang mengemis yang menjadi pasangannya, apakah pacar atau istri atau cuman sekedar teman, pria itu tersenyum menjawab, "semuanya". "Apakah dia kaki tangan Anda?" "Kaki tangan? Tentu bukan, " jawabnya tak senang. "Yang jelas mengemis lebih baik daripada mencuri, " tekannya

Umurnya 21 tahun. Hanya bisa berbicara bahasa Slovakia dan tidak mengerti bahasa Jerman. Dia nampak ramah. Mengaku mempunyai seoran anak yang ditinggal di Slovakia dan memilih mengadu nasib di Vienna, kota yang berpenduduk 1,6 juta jiwa, di mana dia tinggal bersama lelaki dari Aljazair yang menyuruhnya untuk mengemis demi kehidupan yang lebih baik.

Tampaknya hari sabtu itu mereka kurang beruntung. Setengah jam kemudian si wanita naik menemui pria bercambang tersebut. Menyerahkan beberapa keping uang logam. Jam menunjukkan pukul 13.30. "Kita pindah saja ke Kettenbrückenkasse," ujarnya kepada si wanita sambil menyebut salah satu nama stasiun kereta bawah tanah yang lain.

Beberapa hari kemudian, telepon (saya) berbunyi, "Bisakah kita bicara tentang photo photo lagi?" Tentu saja. "Bisakah kita bertemu?" Kenapa tidak. "Anda naik subway nomor 6, turun di Längenfeldgasse, keluar menuju arah belakang kereta. Datang tepat jam 1 siang. Saya tunggu di sana," lalu telpon ditutup.

Saat bertemu sebelumnya, si pria bercambang itu mengungkapkan jika ia ingin mengorbitkan "istrinya" sebagai photo model. Menurut informasi yang dia dapatkan, OKM (Austrian Contact Magazin) bersedia membayar 200 sampai 400 Euro untuk setiap sesi photo. Hari itu, dia menelepon menawarkan sesi photo (kpd saya) di tempat tinggalnya.

Längenfeldgasse, hari Minggu, hampir jam satu siang. Si Pria sudah menunggu di ujung jalan. Saya membawa Nikon kesayangan seharga 3.000 euro. "Mari ke tempat saya," ujarnya. Kami lalu menyeberangi jalan, memasuki sebuah gedung apartment. Di bawahnya terparkir rapi beberapa buah sepeda, di sampingnya berjejer kotak jualan koran. Gedung tersebut tidak mempunya lift. Lantai satu, lantai dua, lantai ketiga. "Berapa lantai lagi?". Dia tidak menjawab. Setelah sampai ke lantai lima, dia belok. Di belakang pintu kayu, masih ada beberapa apartment berupa kamar (semacam studio). Kamar2 tersebut memiliki satu dapur yang digunakan bersama yang terletak di gang. Si Pria tinggal di salah satu kamar tersebut (di tengah) bersama "istrinya" yang berasal dari Slovakia itu.

Tempat mereka sedikit mengejutkan. Dalam artian, jauh dari apa yang sering kita baca di "Augustin" (majalah untuk tunawisma). Kelihatan berbeda. Kami memasuki sebuah ruangan yang terang. Berlantaikan parket, ada karpet kecil, di bagian tengah terdapat tempat tidur double size. Dindingnya berwarna cerah, jendela di mana cahaya matahari bisa tembus ke dalam. Ada TV yang menayangkan CNN, DVD player dan tape recorder. Bahkan beberapa orang Austria sendiri bakal senang jika dapat tinggal di tempat semacam ini. Jika anda mengharapkan tempat tinggal standar untuk seorang pengemis, anda salah.

Sebelum sesi photo dimulai, sang pria mengingatkan sesuatu. (saya) kemudian menyerahkan 50 Euro kepadanya sebagai honor. "Ini cuma harga perkenalan. Berikutnya anda harus membayar 150 atau 200 euro," katanya mengingatkan. "Cuma 25 kutip," ujarnya lagi.

Dan pembicaraan pun berpindah mengenai tempat tinggal mereka. "Sewanya 400 euro sebulan". Ketika topik pembicaraan mengarah ke kegiatan mengemis, "(hal itu) tidak wajar," "tidak (ada komentar) sama sekali," ujarnya. Dia kemudian menekankan bahwa, "Mengemis lebih baik daripada mencuri". "Tapi bukankah lebih baik lagi jika bekerja?"

Si gadis Slovakia terdiam sejak tadi. Hanya memandangi kami berbicara. "Itu betul," kata si pria lagi. "Tapi bagaimana?" jawabnya balik bertanya." Sebagi seorang pencari suaka, saya menerima 350 euro sebulan dan saya tidak boleh mencari kerjaan karenanya. Dia (sambil melihat ke arah si wanita) hanya hidup dari bantuan social pemerintah, 300 euro. Jika dia bekerja, dia diupah 500 euro sebulan sementara kalau mengemis, dia bisa mengumpulkan 600-700 sebulan".

Dia mengaku kenal beberapa pengemis yang mencari tambahan dengan menjadi photo model begini. Kadang sang tamu cuma ingin memotret, kadang ingin yang lain. Yang jelas mereka paling murah membayar 150 euro. Ketika acara pemotretan dilakukan, sang pria hanya duduk mengamati. Terkadang dia memerintahkan si wanita melakukan pose tertentu. Tidak ada gurat penyesalan atau keberatan sedikitpun, meskipun sang "istri" sedang dipotret dalam keadaan telanjang.

"Kami berbagi semuanya," lanjutnya. "Termasuk 50 euro hasil pemotretan ini".
Lalu kenapa seorang wanita, 21 tahun, mau tinggal bersama lelaki berumur 40an tahun, yang hanya menyuruhnya untuk mengemis sekaligus "menjual" dirinya?
Yang jelas keduanya hidup saling bergantung. Si wanita terdampar di negeri orang, bahasa dan lingkungan berbeda, butuh figur lelaki sementara sang pria selain karena urusan biologis juga karena si wanita bernilai komersil.

Setelah sesi pemotretan selesai, alat2 dibereskan, kami lalu pamit sambil berjanji untuk tetap saling menghubungi.

Diambil dari "der Bettler und Nacktfotos (Pengemis dan photo2 telanjang) yang ditulis oleh Marcus J. Oswald di
www.gerichtlive.twoday.net

Tulisan asli beserta photo2, di http://gerichtlive.twoday.net/stories/1050871





___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home