TAHU DIRI


Buruk rupa, cermin dibelah. Itulah mungkin yang pantas disampaikan terhadap beberapa petinggi ataupun pengambil keputusan yang terlibat dalam bidang transportasi udara kita saat European Union mengeluarkan larangan terbang di wilayah udara mereka bagi semua perusahaan penerbangan di Indonesia. Lihat daftar selengkapnya di sini

Awalnya larangan tersebut dianggap sepele karena merasa bahwa tidak satupun penerbangan Indonesia yang punya rute ke Eropa. Belakangan, setelah dampak langsung terhadap bisnis wisata mulai terasa (utamanya di Bali), barulah mulai muncul beragam komentar.

Yang menyedihkan, tidak sedikit diantara mereka yang menuding ada sesuatu dibalik larangan ini. Ada yang mengatakan karena perusahaan penerbangan kita belakangan lebih banyak memesan pesawat dari Boeing (Lion Air) dibanding Airbus. Sementara yang lain mengatakan ada maksud politik dibalik pelarangan ini.
Lebih lucu lagi, ketua ASITA -
di sini- malah mendesak pemerintah untuk memberlakukan larangan serupa.
"Apalah arti kerugian uang sekitar 4 triliun dari turis asal EU kalau bangsa sudah dihina sedemikian rupa dengan kebijakan yang tanpa kompromi," begitu salah satu ucapannya di depan wartawan di Medan.

Well, reaksi yang bodoh dari pemikiran yang sempit menurut saya. Pertama, jelas saja kita yang bakal rugi secara materil dan moril bila genderang perang betul betul ditabuh. Kita di sini mungkin bukan saya dan anda yang sedang membaca tulisan ini, apalagi sang ketua ASITA tersebut tapi bisa jadi orang orang yang terlibat langsung dalam industri pariwisata yang bakal paling merasakan dampaknya apabila "perang" tersebut betul terlaksana. Mulai dari room boy di hotel berbintang lima atau losmen, pengrajin besar dan kecil sampai penjual souvenir2. Ada berapa diantara mereka yang bakal kehilangan pekerjaan, anak istri yang kelaparan? Sementara saya dan anda apalagi sang ketua yang punya ide itu paling banter sekedar turut prihatin tapi tetap bisa tidur nyenyak.

Apakah saya membela keputusan EU? Tentu tidak. Tapi saya juga tidak merasa bahwa harga diri bangsa tercinta sedang terinjak injak oleh keputusan tersebut. Pun tidak bangga karena "berdiri sejajar" dengan Republik Demokrasi Kongo sebagai negara yang paling banyak menyumbang "airlines" dalam daftar tersebut. Saya hanya melihatnya sebagai cermin untuk berkaca. Lagipula, ini bukan pertama kali EU atau negara2 Eropa mengeluarkan black list serupa. Sedikitnya sekali setahun mereka mengeluarkan daftar tersebut yang bisa berubah-ubah. Saya ingat, saat sebuah pesawat dari Low Cost Airlines di Yunani dan jatuh di daerah Ciprus tahun lalu, tidak lama kemudian beberapa perusahaan sejenis langsung dilarang terbang di udara EU. Itupun masih banyak yang mencibir karena menurut mereka, sudah sepatutnya larangan diberlakukan lebih awal dan tidak menunggu ada pesawat yang jatuh dan menelan korban.


Kita juga tidak perlu jauh jauh meminta pendapat EU, karena banyak diantara kita yang sudah tahu bagaimana "layaknya" penerbangan dalam negeri kita. Apalagi sejak bermunculannya perusahaan2 penerbangan swasta dengan tawaran2 harga yang gila gilaan. Mungkin hal itu tidak menjadi masalah jika saja aturan pengawasan dan orang2 yang terlibat dari department terkait betul betul capable dan bisa dipercaya. Masalahnya -saya yakin- sebagian besar dari kita orang Indonesia sendiri cukup skeptis dengan pelaksanaan tersebut.


The Guardian sendiri menulis bahwa tingkat keselamatan penerbangan di negara tercinta sebagai one of the worst in the world.
Betul tidaknya, tentu saja masih bisa diperdebatkan. Tapi tidak perlu berburuk sangka ataupun mencak mencak seperti kebakaran jenggot. Apalagi mengajak "perang". Belum terlalu jauh ke belakang - masih di tahun ini- kita dikagetkan dengan peristiwa Adam Air dan diikuti dengan peristiwa yang menimpa Garuda (Naudzubillaahiminzalik). Belum lagi kalau hanya sekedar menyebut pesawat2 yang tergelincir di landasan pacu saat mendarat yang acapkali menjadi berita di koran. Mungkin hanya dasar ini, EU mengambil keputusan tentang keamanan pesawat di negeri kita dan saya pikir juga mereka tidak perlu bukti yang lain lagi.

Kalau saja kita mau berkaca sedikit jika orang lain mengatakan sesuatu yang buruk, tentu kita akan lebih cepat maju. Akan lebih bijak dan berguna jika otak digunakan untuk berpikir memperbaiki kekurangan yang ada dibanding berpikir mencari alasan alasan yang berlebihan.
Kita setidaknya bisa bertanya kenapa Garuda airlines dan adik2nya yang dilarang memasuki zone Eropa? Kenapa perusahaan serupa dari negara tetangga yang notabene serumpun macam Malaysian Airlines, Thai Air, Silk Air atau saudara agak jauh -yang konon lebih miskin dari kita- Sri Lankan Airlines tidak termasuk dalam daftar?.
Kalau sudah tahu jawabannya dan segera memperbaiki diri, bukan mustahil kita bakal segera dikeluarkan dari black list yang ada. Tapi kalau sibuk mencari alasan dan pembenaran, apalagi mengajak perang dengan alasan harga diri, kapan majunya ya?


Baca selanjutnya.....
___________________________________________