Sepakbola Wanita

Josef Wagner, kolumnis senior harian Bild pada hari Jumat, 28 September 2007 lalu sempat menuliskan sebuah "surat" kepada pemain2 sepakbola putri Jerman yang sedang berlaga di piala dunia wanita di Shanghai. Wagner mengutip, "Saya -sayangnya- termasuk ke dalam golongan laki laki bodoh yang saat menonton sepakbola wanita, lebih memperhatikan dua "bola" yang lain dari setiap pemain. Saya pun harus malu karena berharap setiap pencetak gol membuka bajunya saat mengungkapkan kegembiraannya atau para pemain saling bertukar pakaian di penghujung pertandingan. Di lain pihak saya mempunyai dilema. Saya bukan tipe lelaki yang senang melihat perempuan terkapar di lapangan menahan sakit, walaupun yang berbuat adalah perempuan juga. Saya lebih suka melihat wanita merawat bunga mawar atau wanita beraroma parfum dan mengenakan lipstick. Pun saya lebih senang mendengar wanita menyuruh laki laki membawakan tas yang terlalu berat untuknya."

Saya mengangguk setuju membacanya, dalam artian saya skeptis membayangkan wanita bisa bermain bola dengan baik. Di benak saya, sepakbola hanya bisa dimainkan dengan baik oleh kaum adam karena olahraga ini butuh tenaga, kecepatan dan stamina yang tidak sedikit. Tehnik menendang dan menyundul bola pun tidak gampang dipelajari bahkan oleh lelaki sekalipun.

Ketika saya memutuskan untuk menonton pertandingan final piala dunia wanita hari ini antara Jerman dan Brazil, itu lebih sekedar untuk mengisi waktu. Meskipun harus saya akui, berita berita media cetak dan TV di Jerman yang mengulas pertandingan final tersebut, menarik perhatian saya. Laga ini, oleh media di sini, dibanding2kan dengan final piala dunia putra 2002 saat Jerman takluk 0-2 dari Brazil." Kalau laki laki kita kalah, maka wanita2 kita harus membalaskan dendam bangsa," begitu kurang lebih semangat yang diletupkan oleh media.Tak kurang, Franz Beckenbauer, sosok yang sudah seperti dewa dalam sepakbola Jerman, ikut menyumbangkan tips tips menghadapi Brazil.

Saya langsung sadar bahwa saya salah begitu melihat ulasan pertandingan sebelum pertandingan final tersebut dimulai. Adalah seorang Martha, goal getter bernomor punggung 10 dari Brazil yang mengundang decak kagum. Kiprahnya sejak awal turnamen, lengkap dengan gol golnya ditampilkan. Menontonya mendrible bola, mengecoh satu dua pemain lawan dengan gaya sambanya mengingatkan kepada Ronaldinho.

Pertandingan final yang katanya disiarkan langsung ke puluhan negara, dengan stadion yang penuh disesaki pendukung tersebut berlangsung seru dan menarik. Teknik2nya tidak kalah. Cara dribble, umpan satu dua antar pemain, umpan jauh yang terukur ataupun umpan umpan silang dari sisi lapangan tidak beda dengan pemain kelas dunia lelaki.

Swear, saya langsung membayangkan jikalau salah satu dari tim ini menghadapi timnas PSSI asuhan Ivan Kolev..:-) Saya tidak akan berani bertaruh bahwa kita akan menang dengan mudah. Kalaupun timnas kita yang kalah, saya juga tidak terlalu heran. Selain bagus dalam teknik, fisik mereka juga meyakinkan. Midfielder Jerman, Kerstin Gare$frekes, punya postur 180 cm/65 kg, atau kapten Brazil , Aline, punya postur dengan ukuran 180 cm/72kg. Sosoknya mengingatkan saya dengan Aldair, bek Brazil thn 90an yang bermain di AS Roma..:-). Bandingkan misalnya dengan striker kita Bambang Pamungkas yang berukuran 170cm/65kg.

Mereka betul betul bertanding seperti laki laki. 2x45 menit tanpa rasa lelah, sliding tackle yang cenderung kasar, benturan benturan saat duel di udara, ataupun scrimage2 di depan gawang yang menegangkan, ada semua. Menonton skill mereka menguasai bola membuat saya bertanya, kapan pemain PSSI bisa mempermainkan bola sebaik perempuan2 ini.

Kedua kesebelasan ini mewakili karakter tim putranya. Putri2 Brazil sangat kental dengan skill skill individunya. Selain Martha (pemain terbaik dunia 2006), ada pemain nomor punggung 7, Daniela, dengan skill di atas rata2. Berlari menyisir lapangan sambil membawa bola melewati pemain pemain lawan bukan hal yang sulit untuk mereka. Pada pertengahan babak pertama, sebuah bola rebound di luar kotak penalti Jerman, langsung disambut dengan sepakan volley first time olehnya yang sayangnya hanya membentur tiang gawang. Melakukan tendangan volley yang terarah, hanya bisa dilakukan oleh pemain dengan teknik tinggi. Sangat jarang, kalau tidak bisa dibilang tidak pernah, pemain2 Ligina kita melakukan tendangan volley terarah. Di babak kedua, lagi lagi si nomor 7 ini membuat pendukung Jerman panas dingin saat tendangan bebasnya melengkung melewati pagar hidup pemain2 Jerman, namun bisa diselamatkan penjaga gawang.

Di sisi lain, putri putri Jerman juga bermain seperti karakter rekan rekan pria mereka di DFB Mannschaft. Kompak (untuk menutupi kelebihan individu Brazil), bermain menjaga zona marking. lugas dan tidak kenal menyerah. Brigite Prinz, pemain putri terbaik dunia 3x berturut turut, didukung pemain bernomor punggung 10, berkali kali merepotkan pertahan Brazil lewat serangan balik mereka.

Pada akhirnya, Jerman berhasil membalaskan dendamnya, lunas dengan skor yang sama 2-0. Pertandingan berlangsung dalam tempo tinggi, tidak membosankan karena begitu banyak peluang2 tercipta. Emosi pertandingan lebih tinggi saat Brazil, favorit di turnamen ini, ketinggalan di awal babak kedua. Serangan bertubi tubi yang dibangun selalu mentok di tangan penjaga gawang Jerman, termasuk satu hadiah penalti yang dieksekusi oleh Martha, berhasil dihalau oleh sang kiper. Di akhir pertandingan, tim Jerman yang berpesta, pemain2 Brazil yang lesu dan menangis. Sebagai penonton, saya hanya bisa mengangkat topi untuk mereka. Satu hal yang pasti, saya akan mulai meluangkan waktu untuk menonton sepakbola putri jika yang bermain adalah tim seperti Brazil atau Jerman ini.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

119

Statement yang menyatakan bahwa setelah kejadian serangan sebelas September di Amrik sana, makin banyak orang yang tertarik untuk mempelajari Islam atau bahkan memeluk agama Islan, mungkin ada benarnya. Seperti yang sering saya dengar, KATANYA, kejadian tersebut membuat orang orang jadi curious dan bertanya sendiri apa betul Islam itu begitu, lalu kemudian mereka mencari tahu serta mempelajarinya.

Sebagai muslim, tentu saja saya senang jika pernyataan tersebut betul dan nyata karena terus terang apa yang saya lihat dan dengar kok jauh kayu dari apinya. Apa iya sih orang non muslim -misalnya- langsung baca tafsir Quran begitu lihat berita di koran atau TV tentang bom bunuh diri? Orang muslim sendiri banyak yang gak nyentuh Quran, kenapa lalu "berharap" orang lain mempelajarinya hanya karena berdasarkan ulasan di media massa yang sangat memojokkan Islam?
Bahwa ada segelintir orang yang jadi penasaran dan jadi mendalami Islam setelahnya, mungkin betul. Tapi saya pribadi juga yakin bahwa yang membenci dan mencaci maki Islam dan pemeluknya jauh bejibun jibun lebih banyak. Yang mengidentikkan Islam dengan darah, bom bunuh diri, barbar dan anti damai, tidak terhitung jumlahnya.


Minggu lalu seantero Jerman dikagetkan dengan penemuan 730 kg bahan peledak di sebuah tempat di Sauerland. Tiga orang (dua orang Jerman muslim dan seorang Turki) yang berada di tempat tersebut ikut dibekuk dan dijadikan tersangka utama. Konon, ketiganya berniat melakukan peledakan di tempat umum atau tempat penting yang berhubungan dengan Amerika. Harian dengan oplah terbesar di Jerman, BILD, menuliskan berita tersebut sebagai headline plus ulasan ulasannya yang sampai menyita 3-4 halaman. Meski agak kaget juga dengan berita tersebut, terus terang saya rada malas membacanya.Bukan apa, yang ada lagi lagi menjelekkan Islam.

Keesokan harinya, BILD masih menurunkan headline yang sehubungan dengan peristiwa tersebut namun kali ini sudah agak lebih seronok. Terbitan hari Jumat, 7 September 2007 tersebut memajang photo Fritz G, pemimpin dari kelompok yang tertangkap sehari sebelumnya. Di sebelah photonya tertulis "Der Muenchner Islamist". Judul headlinenya "So wurde aus Fritz ein Terror Bomber" (maksudnya: bagaimana seorang Fritz menjadi seorang pembom). Di bawah judul yang besar itu dituliskan "Dia memiliki nama Jerman, berasal dari lingkungan yang baik (ayahnya seorang insinyur, ibunya dokter), Fritz G, 28 tahun, pemimpin tersangka utama teror bomber!! Dia memanggil dirinya Abdullah, menyembah Allah, dilatih menjadi teroris di Pakistan.
Bagaimana dia bisa menjadi Islam fanatik?

Membaca tulisan di atas bisa mendatangkan persepsi berbeda beda buat orang yang membacanya. Tapi saya kok jadi tersinggung ya? Apa yang salah dengan Islam? Seolah olah dia yang awalnya pure Jerman masih oke2 saja lalu kemudian menjadi rusak karena mengenal/berpindah ke Islam dan menyembah Allah?


Bayangkan bagaimana efeknya buat pembaca non muslim yang direcokin headline seperti itu!Kemungkinan terbesar adalah mereka begitu saja percaya bahwa ajaran Islam itu memang merusak, seperti darah kotor atau parasit yang harus dienyahkan. Berharap ada yang tergelitik lalu mencari sendiri kebenarannya dalam Al Quran? Boro boro. Wong kalau ditanya kapan terakhir kali mereka membaca Alkitab sendiri atau kapan terakhir kali ke gereja, mereka bisa lupa saking tidak pedulinya. Dengan agama sendiri saja alergi, kenapa mereka harus meluangkan waktu dan tenaga mencari informasi tentang Islam hanya karena membaca berita demikian.

Masih di harian yang sama di halaman lain, ada pertanyaan, "kenapa kebanyakan tersangka pelaku teror bom di Jerman selama ini berasal dari Ulm (sebuah kota kecil di Bayern)?" Jawabnya panjang lebar tapi kalimat pertamanya cukup mengganggu saya, "...karena di Ulm ada pusat informasi Islam (Islamische Informationszentrum)."...:-((

Bukti lain bahwa agama kita sudah kadung dianggap negative, diungkapkan (masih di harian yang sama) oleh Nils von Bergner, 36 thn, pengacara yang baru menjadi mualaf dua tahun lalu. Pria Hamburg ini mengungkapkan kenapa dia menjadi muslim, " Saya tidak puas dengan agama saya sebelumnya. Saya selalu menganggap bahwa Tuhan telah merahmati saya begitu banyak tapi saya tidak (bisa) membayar setimpal." Seorang teman kemudian memberikannya Al Quran pada suatu kesempatan yang kemudian dia baca, tertarik dan beralih agama. Semua teman dan keluarganya kaget, utamanya istrinya yang atheis. "Saya shock, saya butuh waktu lama untuk membiasakan diri dengan kebiasaan barunya. Dia sudah bangun berdoa (sholat) ketika saya masih enak enak tidur. Dan dia melakukannya 5 kali sehari!!!". Toh lama lama sang istri bisa beradaptasi. Yang masih mengganggu selama ini, akunya, pertanyaan2 dari teman2nya. "apakah kamu harus memakai jilbab nantinya?" "apakah suamimu itu tukang tidur (maksudnya karena kebanyakan sholat jadi gak mikirin kerjanya)?. Malah ada yang bertanya, "kamu tidak sedang menyembunyikan bom di balik bajumu bukan?"...






Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Un Mes


Tanpa harus mengutak utik rumus pak Einstein (baca:Ain-stain), waktu itu memang relative. Sebulan lebih berlibur ke Indonesia sekedar melepas kangen dengan keluarga serta menengok rumah yang lebih sering kosong melompong, terasa begitu cepat berlalu. Jatah waktu 4 minggu lebih, yang pada awalnya (selalu begitu) bakal terasa cukup untuk menengok tanah air beserta isinya, tahu tahu segera habis bagai menguap.

Lalu ngapain saja selama itu? Banyak. Yang jelas, kesempatan untuk cium tangan dan berpelukan dengan ortu dan mertua tak terlewatkan. Bercerita atau sekedar mendengarkan bagaimana mereka melalui “masa tua” hari demi hari. Kami sering mendengar lagu yang sama setiap kali menelpon mereka dari sini, tapi mendengarnya langsung dari mulut mereka, face to face sambil meneguk teh hangat berteman pisang goreng terasa jauh berbeda. Apalagi kalau memperhatikan bagaimana uban beliau2 sudah bertambah, guratan guratan di wajah mereka yang semakin jelas, sesuatu yang tidak bisa ditemukan jika kami berbicara lewat telepon selama ini.

Pengalaman lain adalah menyaksikan perlombaan 17an di dekat rumah. Tidak banyak yang berubah dibanding masa kecil dahulu, masih ada acara makan kerupuk, lomba joget, sepakbola untuk anak anak, etc. Buat saya yg sudah agak lama tidak merasakan "gempitanya", terasa lain.

Di Jakarta ataupun di Makassar terasa semakin sesak, di jalan apalagi. Sekedar untuk menyeberang susahnya minta ampun. Meski itu di zebra cross dengan membawa anak kecil, jarang terlihat keinginan pengendara untuk mengalah. Seakan akan berhenti dalam hitungan detik buat mereka terasa begitu menyakitkan.

Yang juga menyedihkan adalah siaran tv di tanah air. Sudah sering saya mendengar keluhan tentangnya tapi tetap saja geleng kepala saat menyaksikan langsung. Sudah tidak mendidik sama sekali. Saya tidak tahu apakah pemerintah atau pihak berwenang tidak peduli atau tidak tahu betapa acara2 TV bisa merusak moral bangsa?. Berita kriminalnya gak tanggung2 sadis dan tidak memikirkan dampak buat pemirsa. Sudah begitu hampir semua saluran punya acara serupa. Kata2 penggrebekan, didor oleh petugas, bandar narkoba, amuk massa sudah sangat enteng ditelinga. Bahkan suatu siang saat duduk bersama anak saya, dari TV dibacakan berita, "Seorang ibu berusia bla bla bla di bla bla bla tega memaku kepala anaknya sendiri...."

Tidak kalah mencengangkan adalah sinetron2 kebanyakan. Bintang2nya sangat jelas masih muda, belasan tahun, tapi dipaksa tua. Yang cowok berdasi, naik mobil mewah, jadi pimpinan di kantor. Gak sadar, peran mereka tidak hanya meracuni pemirsa tapi juga diri sendiri. Kehidupan yang ditawarkan kontras dengan pemandangan antrian minyak tanah yang panjang...:-(


Baca selanjutnya.....
___________________________________________