Un Mes


Tanpa harus mengutak utik rumus pak Einstein (baca:Ain-stain), waktu itu memang relative. Sebulan lebih berlibur ke Indonesia sekedar melepas kangen dengan keluarga serta menengok rumah yang lebih sering kosong melompong, terasa begitu cepat berlalu. Jatah waktu 4 minggu lebih, yang pada awalnya (selalu begitu) bakal terasa cukup untuk menengok tanah air beserta isinya, tahu tahu segera habis bagai menguap.

Lalu ngapain saja selama itu? Banyak. Yang jelas, kesempatan untuk cium tangan dan berpelukan dengan ortu dan mertua tak terlewatkan. Bercerita atau sekedar mendengarkan bagaimana mereka melalui “masa tua” hari demi hari. Kami sering mendengar lagu yang sama setiap kali menelpon mereka dari sini, tapi mendengarnya langsung dari mulut mereka, face to face sambil meneguk teh hangat berteman pisang goreng terasa jauh berbeda. Apalagi kalau memperhatikan bagaimana uban beliau2 sudah bertambah, guratan guratan di wajah mereka yang semakin jelas, sesuatu yang tidak bisa ditemukan jika kami berbicara lewat telepon selama ini.

Pengalaman lain adalah menyaksikan perlombaan 17an di dekat rumah. Tidak banyak yang berubah dibanding masa kecil dahulu, masih ada acara makan kerupuk, lomba joget, sepakbola untuk anak anak, etc. Buat saya yg sudah agak lama tidak merasakan "gempitanya", terasa lain.

Di Jakarta ataupun di Makassar terasa semakin sesak, di jalan apalagi. Sekedar untuk menyeberang susahnya minta ampun. Meski itu di zebra cross dengan membawa anak kecil, jarang terlihat keinginan pengendara untuk mengalah. Seakan akan berhenti dalam hitungan detik buat mereka terasa begitu menyakitkan.

Yang juga menyedihkan adalah siaran tv di tanah air. Sudah sering saya mendengar keluhan tentangnya tapi tetap saja geleng kepala saat menyaksikan langsung. Sudah tidak mendidik sama sekali. Saya tidak tahu apakah pemerintah atau pihak berwenang tidak peduli atau tidak tahu betapa acara2 TV bisa merusak moral bangsa?. Berita kriminalnya gak tanggung2 sadis dan tidak memikirkan dampak buat pemirsa. Sudah begitu hampir semua saluran punya acara serupa. Kata2 penggrebekan, didor oleh petugas, bandar narkoba, amuk massa sudah sangat enteng ditelinga. Bahkan suatu siang saat duduk bersama anak saya, dari TV dibacakan berita, "Seorang ibu berusia bla bla bla di bla bla bla tega memaku kepala anaknya sendiri...."

Tidak kalah mencengangkan adalah sinetron2 kebanyakan. Bintang2nya sangat jelas masih muda, belasan tahun, tapi dipaksa tua. Yang cowok berdasi, naik mobil mewah, jadi pimpinan di kantor. Gak sadar, peran mereka tidak hanya meracuni pemirsa tapi juga diri sendiri. Kehidupan yang ditawarkan kontras dengan pemandangan antrian minyak tanah yang panjang...:-(

___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home