Cermin

Seorang teman pernah bercerita tentang kawannya yang bingung memilihkan TK buat sang anak. Pada akhirnya, si kecil harus berganti TK dalam hitungan bulan hanya karena sang ayah (kawan teman saya) merasa salah dalam memilihkan TK buat buah hatinya. Apa pasal? TK tersebut tidak mengajarkan anak didiknya membaca dan dia khawatir nanti sang anak bakal sulit untuk mendapatkan sekolah dasar.:-(
Dalam hal ini, menurut saya bukan cuma anak yang butuh pendidikan tapi sang ayah dan tenaga pendidik pun butuh therapi untuk memperbaiki pola pikir mereka yang salah.

Tragis gak sih melihat bagaimana sekolah dasar mewajibkan calon anak didiknya harus bisa membaca sebelum diterima? Bukankah sekolah itu tempat belajar? Termasuk belajar membaca. Dan yang terpenting lagi, apakah kecerdasan anak hanya dilihat dari cepat tidaknya dia bisa membaca? Tanggung jawab sebagai tempat mendidik di mana? Panggilan moral sang guru ke mana?
Saya pernah membaca di mana guru komplain hanya karena tulisan anak muridnya yang masih kelas satu SD seperti cakar ayam. Please deh! Bukankah karena hal hal seperti itu mereka dibutuhkan. Selayaknya si guru lebih banyak memberikan stimulasi yang merangsang motorik muridnya biar gak seperti cakar ayam lagi. Lagian kenapa pula anak kelas satu SD diharapkan punya tulisan rapih nan indah dibaca?

Orang tua jaman kita (sekarang) sudah sadar sepenuhnya betapa pentingnya sekolah buat masa depan anak. Thus, sebisa mungkin memilihkan sekolah terbaik buat anak tidak masalah betapapun mahalnya. Sekolah plus lah atau sekolah dengan kurikulum international lah, sekolah binaan atau sekolah unggulan, etc..etc.
Sayangnya banyak diantara para orang tua, termasuk saya, suka lupa bahwa pendidikan terbaik untuk anak dimulai dan akan selalu ada di rumah. Ortu cenderung tidak mau tahu dan hanya melihat hasil akhir. Jika sudah membayar mahal, mengikutkan les tambahan sana sini, maka hasilnya harus bagus. Jika tidak, either sekolahnya yang salah atau si anak yang dianggap kurang. Seakan akan anak adalah robot yg dibeli di toko yang bisa diupgrade sana sini jika membayar lebih.

Bagaimana seorang anak bisa berhasil jika setiap malam saat mengerjakan PR yang menemani hanyalah pembantu? Bagaimana mengharapkan sang anak belajar budi pekerti di sekolah jika bapak ibunya di rumah tidak pernah memberi contoh yang baik? Atau mengharapkan anak belajar agama di sekolah sementara suasana di rumah sangat jauh dari sifat agamis?

Ada banyak keluarga di mana kedua orang tua harus bekerja mencari nafkah menyebabkan mereka "terpaksa" menitipkan anak kepada "pihak ketiga". Apakah itu orang lain (PRTnya), kakek nenek ataupun kepada sekolah. Bisa dimaklumi meski kalau mau berpikir lebih bijak, anak haruslah selalu diprioritaskan. Yang membuat saya sering protes adalah ketika mereka berkata lantang bahwa hubungan dengan anak itu yang penting kualitas bukan kuantitas. Bagaimana jika sang anak mendatangi mereka dan berkata, "Pa, saya sekolahnya dua kali aja seminggu. Kan yang penting kualitas bukan kuantitas!". Apa mereka bakal setuju?
Apa mereka tidak tahu bahwa hubungan orang tua dengan anak itu bukan ilmu pasti? Bukan hubungan antara penjual dan pelanggannya yang meski tidak bertemu muka, transaksi bisa berjalan? Kualitas hubungan antara ortu dan anak hanya bisa membaik jika kuantitasnya tinggi. Keakraban antara anak dan ortu bakal tumbuh seiring dengan banyaknya "pertemuan". Pun sebaliknya demikian.
Jadi jika anda adalah orang tua, sudahkah anda "bercermin"?

P.S.
Bukan bermaksud lebih tahu atau menggurui tapi sekedar cermin yang bisa mengingatkan untuk menjadi ortu yang lebih baik.

gambar diambil dari: www.livingroom.org.au





___________________________________________

3 Comments:

  • wah, tulisan yang bagus mas don..

    bener apa yg di ulas diatas, bahwa ortu adalah cermin bagi anaknya.. krn anak adalah ibarat kertas putih yang polos dimana tugas ortu dan lingkunganlah yang harus mengisi kertas tsb.. tapi porsi yg terbesar tetap berada pada tangan ortu-nya masing2, dan mudah2an kita semua bisa menjadi tauladan yg baik bagi putra-putri kita, Amin.

    By Anonymous Anonymous, At 11:10 AM  

  • wajah pendidikan Indonesia yang selalu pengen instan. Saat ini saya juga menghadapi masalah yang sama.Akan tetapi, betapa sulitnya mencari Tk yang baik. Ada, tapi daya tampung terbatas. Akibatnya, pengelola biasanya memberikan persyaratan "ketat".

    Konsep TK seharusnya dikembalikan kepada sebatas perluasan cakupan kreatifitas anak, tak lebih.

    By Blogger Mashuri, At 5:05 PM  

  • Saya setuju... sekolah itu kan tempat menimba ilmu... jadi wajar sekali kalo mereka masih belum ada bekal ketika masuk SD.
    Saya justru tidak setuju dengan TK yang sudah mengajarkan anak didiknya membaca dan menulis. Menurut pakar pendidikan, masa TK itu adalah masa untuk bermain dan belajar. Tapi pengertian belajar di sini bukan dalam arti sempit... belajar membaca dan menulis... tapi lebih ke arah belajar interaksi dengan teman-teman dan gurunya...

    By Blogger Bakhrian, At 6:39 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home