Zürich

Kalau disuruh melukiskan kota ini dengan satu kata, jawaban yang tepat menurut persepsi saya adalah mahal. Beberapa teman sering kali menyebutkan hal serupa jika kami berbicara tentang kota ini (dan Swiss pada umumnya). Dan memang, itu kesan yang paling awal yang saya tangkap di kota dengan kualitas hidup terbaik di dunia ini.

Kereta yang kami tumpangi mencapai Zürich Hauptbahnhof (stasiun kereta utama) saat menjelang tengah hari setelah menempuh perjalanan selama 4 jam dari Muenchen. Satu hal yang juga membuat saya terkesan adalah orang orang yang bertugas di sekitar Hauptbahnhof di sini kebanyakan berbicara multi bahasa. Mereka fasih berbahasa Perancis, Jerman, Inggris bahkan Spanyol. Ibarat pendekar, mereka bisa meredam jurus jurus yang dilancarkan oleh musuh yang berbeda beda...:-)


Baik itu di bagian penjualan tiket, tourist informasi maupun tempat penukaran uang, kendala bahasa hampir tidak kita temukan. Bahkan di toko toko penjual souvenir, restaurant dan penjaja es krim di taman tamanpun setidaknya bisa berbicara dalam bahasa international yang lain selain bahasa mereka sendiri - hil yang hampir mustahal (baca: susah) ditemukan di Munich -. Selain Jerman dan Perancis, bahasa Inggris memang merupakan bahasa yang paling sering digunakan di negeri ini meski tidak mutlak bahwa setiap orang bisa ketiganya. Di kota yang terletak lebih ke barat seperti Basel atau Geneva, bahasa Perancis yang lebih kental di sana, sementara di bagian timur lebih kental bahasa Jermannya, tepatnya bahasa Swiss yang berasal dari bahasa Jerman (Schweizer Deutsch).
Schweizer Deutsch ini membuat saya sedikit kecele. Meski mereka mengerti dengan baik bahasa Jerman yang saya gunakan, saya kerap kali kesulitan untuk mengerti jerman versi mereka sepenuhnya..:-(


Kembali ke soal mahal, aromanya sudah terasa sejak di Hauptbahnhof. Rasa senang saat saya menukar uang Euro ke Swiss Franc terasa semu.
Meski 1 Euro dihargai 1.58 Franc, pada kenyataannya harga barang dan makanan jauh lebih mahal. Tiket transportasi harian yang bisa digunakan untuk naik tram, bus ataupun kereta berharga 4.15
Euro (sekitar 7 Franc) per orang, kurang lebih sama dengan harga tiket serupa di Munich, TAPI di sini MVV menawarkan partnertageskarte seharga 9 Euro yang bisa digunakan untuk 5 orang. Dengan kata lain, jika anda berkeliling berombongan di Munich, harga tiket akan jauh lebih murah.
Harga makanannya juga idem quod. Menu sama di McDonalds yang di Munich seharga 4.60 Euro, di kota ini lebih dari 6 Euro. Makanan di restauran Asia yang di sini gak sampai 7 euro, di sana sampai 13 euro! Kebab dengan rasa dan ukuran yang sama juga berharga dua kali lipat. Cukup alasan untuk memporak porandakan limited budget yang kami miliki...:-(
Meski tidak sempat mensurvey seluruh harga makanan dan bahan pokok - kami gak punya waktu untuk ke pasar2 inpresnya untuk ngecek harga cabe keriting, kembang kol dan teman temannya -, harga makanan di Zurich memang mencengangkan. Kalau bukan karena cacing cacing diperut yang ngamuk minta disuap, rasanya berat sekali untuk merogoh kantong ataupun membuka dompet..:-)

Harga2 souvenir semacam t-shirt, tempelan kulkas, lukisan ataupun pernik pernik juga cukup membuat mata terbelalak. Tapi yang lebih terbelalak matanya lagi adalah teman kami dari Indonesia yang kebetulan ikut bersama kami (mereka bertiga datang dari Indonesia). Setiap kali keluar masuk toko, kalkulator kecil digenggam ditangan. Begitu melihat harga barang, langsung dikurskan ke rupiah. Alhasil, lebih sering pusing daripada belanjanya.
Seperti kata orang tua, tiada gading yang tak retak, setidaknya ada satu barang yang murah di kota ini dibanding di Jerman, jam tangan. Saya gak ngecek perbandingan harga jam tangan sekelas Omega, Tag Heuer, Breitling, Laurent Macroix ataupun Rolex tapi untuk sekelas Tissot, Fossil ataupun Swiss Army, harganya cukup murah dibanding di Munich.

Terlepas dari itu, Zürich (termasuk daerah suburbannya) cukup indah untuk dinikmati dan menawarkan kenyamanan buat traveler dan shopper. Lindenhof, Uetliberg, Zug, Schipfe, Hurden atau Bürkliterasse adalah sebagian dari tujuan wisata di kota ini. Belum lagi menyebut museum museum dan bangunan tua bersejarah yang ada. Di pusat kota sendiri, di sekitar Lake Zürich, pemandangannya tak kalah menarik. Paduan antara gedung gedung tua yang cantik „memagari“ pinggiran danau dengan perahu perahu kecil, senada dengan pedestrian side yang berhadapan langsung dengan etalase etalase gerai yang menggoda mata.

Kota terbesar di Switzerland ini juga merupakan kota multi ethnic. Sore itu saat berjalan di sekitar Lake Zurich, ramai terlihat orang kulit hitam, ras kuning, arabic dan berbagai sub etnis kaukasian berkelompok menikmati hari. Ada yang sekedar ngobrol sambil membuat barbeque, ada yang bermain bola sementara yang lain menikmati musik dari radio compo yang mereka bawa. Selama beberapa hari berkujung, berapa kali kami bertemu dengan orang Indonesia yang menetap di sana.

Hari terakhir sebelum kembali ke Munich, kami sempat ke Basel -sejam berkereta dari Zürich- kota tempat tinggal Roger Federer yang tidak kalah cantiknya. Selama dalam perjalanan ke Basel itu, pemandangan yang dilalui cukup menyegarkan mata. Gunung, padang rumput hijau, danau2 kecil, rumah rumah kayu mengingatkan film Heidi jaman dulu, semuanya menyenangkan hati untuk melihatnya. Betul betul negeri yang „gemah ripah loh jinawi“ dalam gambaran masa kecil saya.



Gambar kedua dan untuk info lebih jelas tentang Zürich, lihat di sini .





___________________________________________

2 Comments:

  • Kalau di zurich ada kawasan kumuh nggak?

    By Blogger Esha, At 6:49 AM  

  • kawasan kumuh? gak ada kali. Setidaknya gue gak liat. Tapi kalo dibilang orang "miskin" pasti ada sih. Cuman miskin di sana gak bisa dibandingin dengan miskin di negeri kita tercinta.

    By Anonymous Anonymous, At 8:54 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home