TUHAN menyayangiku.....

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(QS 8:28)


Suara alarm membuyarkan lelap tidurku. Dengan menahan kantuk, saya berusaha berdiri mencari sumber bunyi. Jam 05.20 pagi hari, waktu imsak tersisa 20 menit lagi dan itu artinya sudah harus betul2 bangun untuk bersantap sahur karena alarmnya berasal dari hp saya.
Untuk menyiasati agar tidak alpa ataupun ketiduran, saya selalu memasang tiga “wecker” selama ramadhan ini. Yang pertama berasal dari jam wecker, kemudian dari hp istri dan ketiga dari hp saya sendiri. Uniknya (atau malasnya) ketiganya disetel hanya berselang 10 menit. Yup, buat saya tidur sepuluh menit lebih lama sangat berarti. Ibaratnya lomba lari, dua wecker pertama bagaikan signal aba2 atau siap2 untuk bangun sedangkan alarm ketiga adalah tanda bahwa saya sudah harus “berlari”.

Makan sahur selalu berat buat saya. Berat karena makan sambil terkantuk kantuk. Dulu semasa kecil, orang tua terkadang harus mengajak ngobrol untuk menghilangkan rasa kantuk kami. Menceritakan keutamaan sahur dan betapa kami harus bersyukur karena sebagian orang bahkan tidak punya sesuatu untuk disantap bersahur. Tidak seperti kita yang menahan lapar dan dahaga hanya sampai matahari terbenam, sebagian saudara kita harus tetap menahan lapar tanpa batas waktu. Kita yang hanya diwajibkan puasa sebulan dalam setahun, hari-hari mereka selalu akrab dengan lapar itu sendiri, sepanjang tahun. Ada yang menyebut mereka miskin, ada pula yang mencap sebagai kurang beruntung.

Sejak dulu setiap kali berdoa sesudah sholat (yang lebih banyak bolongnya itu) saya selalu memohon kepadaNya antara lain agar jika dewasa nanti (maksudnya sdh bisa nonton film dewasa tanpa ada yang larang larang) diberi rejeki, kesempatan untuk berhaji DAN keliling melihat dunia (kata “dan” sengaja pake huruf besar krn haji/keliling dunia selalu satu paket dalam doa saya). Waktu itu saya tidak punya gambaran bilamana dan bagaimana saya bisa mewujudkannya tapi saya tetap yakin dan selalu menyebut keinginan tersebut dalam doa. Kadang saya membayangkan diri sebagai seorang pelaut, lengkap dengan seragam putih dan topinya, memegang kemudi kapal menyeberangi samudera, sambil tentunya mampir di kota kota besar di setiap belahan bumi. Di lain waktu, saya membayangkan diri sedang duduk manis, memakai kaca mata ray ban di cockpit pesawat commercial dalam sebuah penerbangan international.

Bagaikan lompat dari satu scene ke scene yang lain dalam sebuah film, dengan embel tulisan “20 tahun kemudian”, dalam adegan berikutnya saya sudah mendapati diri (thanks a lot my Lord) duduk di subway dalam perjalanan ke kantor. Yup, bukan cuman sekedar jalan jalan, saya bahkan bisa menetap di negeri orang bersama anak istri. Meski kehidupan kami di sini tidak bisa dibilang mewah, hal itu jelas tidak mengurangi rasa syukur.Terkadang, kami juga bisa mengunjungi kota2 lainnya walau dengan budget yang terbatas.

Tuhan yang Maha Mendengar telah mengabulkan doaku untuk berkunjung ke belahan bumi yang lain. Tuhan memang sayang padaku. Tapi kadang terlintas di benak, bagaimana dengan mahlukNya yang lain? MahlukNya (baca: manusia) yang harus bekerja banting tulang demi makan sehari. MahlukNya yang memikul buah-buahan, berjalan di bawah terik matahari, berteriak menjajakan dagangannya. Atau mahlukNya yang hanya bisa menangis memandangi anaknya terbaring sakit, tidak bisa berbuat apa apa karena tidak punya uang untuk ke dokter. Tidak sayangkah Tuhan kepada mereka?
Bagi sebagian yang skeptis mungkin berujar, “ itu karena mereka malas dan tidak mau bekerja keras”.
Betul, kerja keras adalah kuncinya. Tapi siapa yang meragukan kerja keras seorang petani yang tetap saja mencangkul meski panas terik menerpa ataupun penjual bakso yang rela mendorong gerobaknya berkilo meter dalam sehari demi mencari pembeli.
“Itu karena mereka lebih mengandalkan otot daripada otak mereka,” ujar lain.
Tidak salah. “Menjual” otak akan lebih dihargai daripada “menjual” otot. Tapi bisakah kita memilih dilahirkan di lingkungan yang mana? Dengan orang tua yang sanggup mencukupi kebutuhan kita, menyekolahkan kita setinggi mungkin? Bukan orang tua yang “hanya” mampu memberi makan sekali sehari.


Adalah sifat dasar manusia untuk menyenangi segala sesuatu yang indah, enak dan mampu memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya. Jika saya, anda, tetangga ataupun orang orang yang kita kenal senang dengan uang, pangkat, jabatan, rumah dan mobil mewah, itu karena kita adalah manusia dan kita masih normal. Kalau kita berusaha segala cara sekuat tenaga daya dan upaya, langsung tidak langsung, halus maupun kasar, untuk mewujudkan keinginan tersebut itu juga karena kita manusia yang masih normal. Yang tidak normal dan tidak manusiawi adalah mendapatkannya dengan cara yang salah (baca:haram), dengan menyakiti orang, menyikut sana sini ataupun berbohong apalagi membohongi rakyat banyak.

Sejak kecil kita juga terkadang dididik dengan pola pikir yang terkesan materialistis. Selain dibekali pendidikan agama, kita misalnya di “brainwashed” untuk sekolah tinggi, untuk apa? untuk jadi anak yang pintar supaya kelak bisa jadi orang berguna, hidup senang, dihormati orang, rumah bagus, dll. Karena sudah begitu terpatri dan tertanam dalam instrument alam pikiran kita, pada akhirnya dalam strata kehidupan bermasyarakatpun timbul istilah orang yang pintar, beruntung, kurang beruntung, hebat, kaya, miskin, rakyat biasa, ningrat, etc.
Lebih parah lagi harkat dan martabat seseorang dinilai dari harta, jabatan ataupun kekayaan ataupun keturunan. Seseorang dianggap mulia dan terpandang, dihargai, dihormati atau disegani, hanya karena materi, apa yang dia miliki.

Bahwa apa yang kita miliki dan raih selama ini wajib kita syukuri memang benar. Rejeki, kesehatan, kedudukan, rumah tangga yang harmonis, anak anak yang lucu adalah karunia yang tak ternilai dariNya.
Yang sering terlupakan, kita selalu menganggapnya sebagai keberuntungan, selalu merasa disayang Tuhan. Di sisi lain, begitu sedang ditimpa masalah, musibah ataupun kejadian kejadian yang tidak di inginkan, langsung disimpulkan bahwa Tuhan sedang menguji, Tuhan tidak sayang pada kita (malah ada yang seakan menyalahkanNya).
Tak heran kalau sholat kita lebih khusyu, doa kita jauh lebih panjang ketika merasa mendapat cobaan.

Keberuntungan yang hakiki, nikmat sebenarnya, rahmat sesungguhnya hanya ada di akhirat, pada kehidupan setelah dunia ini. Rejeki yang berlimpah di dunia bisa menjadi malapetaka jika membuat kita kikir dan tamak, takabur ataupun tak mau berbagi kepada fakir miskin. Apa lagi jika cara mendapatkannya dengan cara yang tidak benar.
Anak yang lucu dan pintar, bisa membuat kita celaka jika kita lalai beribadah karenanya, tidak mendidik mereka dengan benar ataupun sombong membanggakannya.
Sebaliknya, setiap kesusahan yang datang bisa jadi merupakan rahmat ataupun keberuntungan buat kita jika hal itu membuat kita lebih sabar, lebih dekat kepadaNya.
Sekali lagi, kita harus bersyukur jika tidur di atas kasur yang empuk di dalam kamar yang ber AC, tapi jangan pernah merasa lebih beruntung dibanding tetangga yang tidur di atas dipan dalam kamar berdinding tripleks. Boleh jadi Tuhan lebih sayang kepada sang tetangga karena ibadahnya yang lebih ikhlas. Kasur empuk ataupun dipan hanyalah instrument yang tidak ada artinya di hadapanNya.

Tanpa mengesampingkan segala usaha dan kerja keras yang kita lakukan, apakah bisa bekerja, duduk berdasi di depan komputer, duduk di belakang kemudi sebuah bis kota, mengajar di depan murid murid, berpakaian seragam cokelat mengatur lalu lintas, atau pekerjaan lainnya, semuanya adalah ketentuan dariNya. Bila kita hanya mampu mengendarai roda dua, naik turun mobil mewah, berjalan kaki ataupun naik kendaraan umum, itu juga merupakan sunnahNya. Selayaknya yang berdasi (eksekutif) tidak merasa lebih beruntung daripada si sopir bus apalagi merasa sombong karenanya.
Semuanya cuma lakon yang harus kita jalani. Tugas kita untuk menghayati dan menjalani lakon kita masing-masing, berbuat baik sesuai peran kita di depan kameraNya.
Tuhan menilai dari kebaikan kita bukan dari pangkat, jabatan, keturunan ataupun warna kulit.
Karena Tuhan menyayangiku, anda dan semua mahlukNya.


Wallahualam bis ash sawab


Muenchen, sechsten zehnten zweitausendsechs.

___________________________________________

1 Comments:

  • sebenarnya, harta kekayaan dan segala kenikmatan itu juga cobaan dari Nya, mampukah kita tetap selalu ingat dan bersyukur padaNya?

    By Anonymous Anonymous, At 4:46 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home