Every Rose Has Its Thorn (Living in Europe).

Beberapa hari lalu, teman semasa kuliah menyampaikan unek uneknya lewat telephone, “…Eropa hanya enak untuk berlibur bukan untuk tinggal atau menetap..bla..bla...”.
Sudah lumayan lama tidak bertemu ataupun mendengar kabar tentangnya, tiba tiba saya melacak di mana rimbanya setelah dia meninggalkan pesan lewat YM!. Dari situ saya tahu bahwa sejak beberapa minggu sebelumnya dia tiba di
Geneva, Swiss untuk urusan kerjaan.
“Berapa lama kamu bakal tinggal di sana?” tanya saya. “Insya Allah sampai akhir Maret tahun depan. Mudah-mudahan saat itu udara sudah tidak dingin lagi,” harapnya. Ketika saya jelaskan bahwa biasanya hawa dingin betul betul berlalu sekitar akhir Mei, dia menyangka bahwa saya hanya menggodanya. Dia memang termasuk mahluk yang kurang suka dengan cuaca dingin dan sayangnya harus menetap di sana saat-saat cuaca lagi dingin. Cukup lama kami berbincang, menanyakan kabar masing-masing, kabar teman2 semasa kuliah dulu ataupun soal kerjaan. Setelah itu dia lebih banyak bercerita tentang culture shock ataupun homesick yang dia alami. Lingkungan, bahasa dan kebiasaan yang berbeda, living cost yang tinggi, watak orang orangnya yang relative lain ditambah iklim yang kurang bersahabat seakan melengkapi “penderitaannya”.
Sambil tertawa kecil saya berkata kepadanya, “Welcome to Europe my friend”.

Saya mengenalnya sebagai sosok yang mandiri, little bit stubborn dan berani. Bukan berani sama garong, preman ataupun berani malu, tapi berani menyeberang jalan besar, naik taksi tengah malam sendirian, etc..etc..he..he..he..
+ : "jadi dia berani apa dong?"
- : "ya...berani...maksudnya gak takut, gitu".
+ : "bukan berani yang nyangkul di sawah itu ya?"
- : yee.. itu mah bertani gob***!". #?!§$

Maksud saya, dia bukan tipe wanita cengeng. Not at all!!.
Kalau dia sedikit “berkeluh kesah” tentang keadaannya di sana, mungkin (menurut gue sih) dia gak menyangka bahwa tinggal di sini (baca:Eropa) tidak semudah yang disangka, gak seindah cerita2 yang kita dengar ataupun seperti kita lihat di film, buku atau kartu pos…:-)

Dulu kalau saya melihat salju dalam bentuk gambar ataupun di film2, rasanya gimana gitu. Putih, indah,lembut, tampak menyenangkan. Dan kenyataannya memang benar begitu. Saat winter, sejauh mata memandang hanya ada putih, indah dan sejuk di mata, lembut di tangan tapi sayangnya sangat menusuk di tulang. Dinginnya itu lho. Seminggu dua minggu mungkin masih okey tapi kalo berbulan bulan hanya ada salju dan salju, matahari tidak pernah menampakkan batang hidungnya, temperature selalu di bawah nol, neg gak sih? Belum lagi mau jalan ke mana mana susah karena tumpukannya, bibir yang pecah pecah (bukan karena panas dalam), tangan yang kaku sampai minyak gosok yang beku di kamar mandi. Sempat terbayang kalau misalnya air senipun ikutan beku begitu kita kencing, kan repot matah2in es nya…
Nah, perasaan itu yang gak bisa kita alami kalau hanya sekedar menonton film atawa melihat gambar tentang salju.

Saat saya dan keluarga boyongan ke
Muenchen hampir dua tahun yang lalu, saya juga mengalami kendala yang sama. Tidak bisa dibilang menderita tapi masa masa awal tersebut tidak mudah untuk dilalui. Saya pindah ke lingkungan kerja di mana kebanyakan kolega yg jarang mau berbahasa inggris. Setiap kali bertanya dalam bahasa inggris, maka setiap kali pula mereka menjawab dengan bahasa jerman (ngeyel kan?).Hal itu terjadi bukan cuma di kantor tapi juga di tempat umum lainnya. Dengan bekal bahasa jerman yang bisa dibilang pas pasan, (karena baru) waktu itu saya harus menghadiri berbagai macam training dan meeting. Terkadang pada saat meeting saya hanya memandangi yang hadir satu persatu tanpa tahu mau berbuat apa..:-) Sering saya hanya berkata pada diri sendiri, “ What the h*** am I doing here?”.

Mencari apartment juga perlu perjuangan. Saat itu kami diberi waktu tiga bulan untuk tinggal di apartment yang disediakan oleh kantor dan kemudian harus mencari apartment sendiri (hanya dapat housing allowance). Tidak ada gambaran bagaimana, tapi dari cerita teman-teman yg ada di sini, mencari Wohnung (apartment-bhs jerman) bukan hal yang mudah. Kenyataannya? Memang tidak mudah..:-) Mencari wohnung di sini seperti mencari jodoh. Meski anda mau, mampu bayar tapi kalau yang empunya rumah ogah, then no deal.
Orang di sini sangat selektif menyewakan tempat mereka. Meski butuh duit, mereka juga tidak gegabah mencari penyewa. Saya pernah mengunjungi “calon wohnung” yang akan saya tempati dan ketika si pemilik tahu saya akan tinggal bersama istri dan satu anak, dia serta merta menolak. Alasannya, orang asia kalau memasak suka aneh aneh bumbunya dan dia enggan “aroma” apartmentnya bakal jadi ikutan aneh.
Kami juga pernah mengunjungi sebuah Wohnung di mana pemiliknya langsung berkata tidak pada saat dia membuka pintunya. Mukanya yang tersenyum ramah berubah menjadi masam begitu melihat anak kami. Dia kurang senang dengan anak kecil krn menurutnya ribut dan suka merusak..:-(
Oh iya, data2 tentang apartment waktu itu disediakan oleh agent. Mereka mengirimkan gambar dan details tentang wohnung kepada saya dan jika ada yang diminati maka sang agent akan membuatkan janji dengan si pemilik agar kami bisa berkunjung dan melihatnya. Terkadang sang agent lupa memberi tahu si pemilik bahwa kami mempunyai anak kecil ataupun kami berasal Indonesia (baca:asia).
Ada puluhan “calon wohnung” yang kami lihat pada saat itu sampai akhirnya ketemu dan cocok dgn wohnung yang sekarang kami tempati.


Tinggal di sini (baca: Europe) juga berarti harus mandiri. Segala sesuatunya dikerjakan sendiri tanpa bisa mengharapkan orang lain. Mulai dari belanja kebutuhan sehari hari, masak, setrika, bersihin rumah, ngurus anak semuanya harus dilakukan sendiri. Hanya orang yang betul betul “berada” yang mampu membayar pembantu ataupun baby sitter krn per jamnya mereka minta upah sekitar 10 euro (kurang lebih 112 ribu rupiah)!!!.
Kadang saya mendengar cerita di mana seorang istri yang kebetulan orang Indonesia menjadi kaget sekaget kagetnya setelah diboyong oleh suaminya yang bule ke sini. Ketika menikah di Indonesia, suaminya adalah seorang expat yg punya rumah besar, pembantu dan sopir. Begitu tiba di sini, fasilitas yang ada sama sekali berbeda dan dia harus mengerjakan semuanya sendiri.

Seorang nenek yang berusia 80an tahun yang kebetulan tinggal di atas apartment saya bisa membuat kagum sekaligus miris. Kagum dengan semangat dan kemandiriannya yang tinggi. Meski sdh bungkuk dan tertatih, dia masih mampu (ataupun mungkin terpaksa) untuk belanja keperluan sendiri. Halte bus yang hanya berjarak 25 meter dari apartment kami harus dia tempuh dalam waktu lebih 5 menit. Berjalan pelan, tongkat di tangan kiri, kantong belanjaan di tangan yang satunya. Semua dilakukannya sendiri krn mungkin sudah terbiasa sejak kecil. Tidak manja dan tidak pernah meminta tolong bahkan kepada anaknya sendiri yang sangat jarang mengunjunginya.

Yang lain? Living cost yang relative tinggi termasuk biaya sewa apartment. Kalau urusan makan mungkin masih bisa diakalin dengan memasak sendiri. Tapi kalo anda seorang bujang, gak doyan ataupun gak bisa masak, siap siap aja merogoh kocek yang dalam. Untuk makan di luar sekelas McDonaldpun relative mahal. Pakaianpun idem, apalagi buat yang punya anak kecil. Sepatu, jaket, sweater ataupun kaos tangan untuk winter hanya dipake sekali musim karena winter berikutnya semuanya sudah kekecilan untuk mereka.

Mengutip lirik sebuah lagu, “Every rose has its thorn, every night has its dawn”.
Hasil berbagi cerita dengan teman2 yang tinggal di beberapa kota di Eropa, dengan segala kelebihannya, hidup di sini tetap saja butuh perjuangan extra untuk survive. Di satu sisi mungkin lebih enak dibanding tinggal di Indonesia tapi di sisi lain juga mungkin tidak lebih baik. Di manapun kaki berpijak, raga berteduh, hidup adalah perjuangan tanpa henti henti.

Muenchen, zwölften zehnten zweitausendsechs.

___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home