Magdalena

Usianya 72 tahun. Hampir seluruh rambutnya sudah memutih. Kerutan-kerutan di wajahnya seperti melukiskan perjalanan hidupnya selama ini. Hari itu, saya mendapatinya duduk di salah satu sudut Hauptbahnhof (central station). Di sampingnya ada tumpukan majalah yang berdampingan dengan sebuah tas perempuan yang lusuh berwarna hijau. Kedua tangannya memegang majalah yang sengaja disimpan di depan dadanya agar orang yang lalu lalang tahu bahwa dia sedang berjualan.

"Gruss Gott (salam)", sapa saya ketika berada tepat di depannya. "ich wollte ein bitte (saya mau satu)!" ujar saya lagi. "Satu setengah euro," jawabnya sambil menyodorkan majalah. "Saya lagi sakit sekarang. Gigi saya tanggal semua," lanjutnya memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa saya tanya."Kenapa bisa?". "Beberapa tahun yang lalu saya membuatnya di Bosnia dengan harga yang murah. Sekarang mereka tanggal semua. Di sini biayanya 1.200 Euro dan saya tidak punya uang untuk itu," jelasnya. Dan ceritanyapun mengalir seakan dia sedang berhadapan dengan kawan lama yang kembali bertemu. Bahasa jermannya yg bercampur aksen eropa timur ditambah dengan kondisinya yang tanpa gigi membuat saya harus memasang telinga baik baik untuk menangkap apa yang sedang dia bicarakan. Dia sudah bertahun tahun tinggal di Muenchen bersama suami, meninggalkan desanya di Bosnia demi untuk kehidupan yang lebih baik. Putra tunggal mereka hidup terpisah di Berlin dan bekerja di sebuah rumah sakit. "Hidup di sini butuh perjuangan ekstra tapi setidaknya kita selalu punya harapan. Yang terpenting adalah mau bekerja keras," ujarnya tanpa bermaksud menggurui.

"...und was machst du denn hier im München, jungen Mann?" (kamu sendiri lagi ngapain di Muenchen, anak muda?) seakan tersadar telah mendominasi percakapan, dia bertanya balik kepadaku. "Bekerja," jawab saya singkat. "Kamu harus selalu bersyukur," ujarnya sambil memegang tangan saya. "Saya tidak pernah mengeluh meski hidup saya susah. Begitulah hidup, kita harus selalu bersyukur apapun yang kita hadapi," ujarnya.


Di sekitar Hauptbahnhof, sangat mudah untuk mendapati orang2 seperti Magdalena. Sebagian dari mereka adalah tuna wisma dan tinggal di sebuat tempat yang disediakan pemerintah. Sebagian lain tinggal di tempat mereka sendiri seperti ibu Magdalena tadi. Karena biaya hidup yang tinggi sementara tunjangan social dari pemerintah tidak mencukupi, mereka (orang2 yang sdh melewati usia produktif) mencari tambahan uang dari berjual majalah tadi. Setiap satu majalah yang terjual, mereka akan mendapatkan 1 euro, sisanya diberikan kepada lembaga sosial yang mencetak majalah tersebut.


"Harus selalu bersyukur", kata2 ibu tua itu masih saja terngiang ditelinga sampai beberapa saat setelah saya meninggalkannya. Hal yang mudah terucap tapi begitu sulit dilakukan terlebih buat orang yang berada di posisinya. Dari kejauhan saya melihat dua orang remaja berdiri di depannya. "Mungkin sedang mendengar nasihat yang sama," ujarku dalam hati.


Muenchen, 22.10.2006




___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home