Kertas Putih Itu

Photonya sempat menghiasi beberapa surat kabar lokal di sini. Terlentang tanpa baju, muka meringis menahan perih, iga-iga yang terpampang jelas berbungkus kulit nyaris tanpa daging. Tulang2nya kecil, kurus dengan perut yang “menonjol”. Tatap matanya kosong, untuk bergerakpun tubuhnya tak mampu.





Bukan.....bukan potret tentang anak yang kelaparan di Afrika melainkan potret seorang anak bernama Lukas yang berasal dari Sachsen, Jerman. Orang tuanya tidak pernah pedulii dan merawatnya dengan baik. Ketika pertama kali ditemukan oleh Polisi di rumah mereka, Lukas hampir mati kelaparan, usianya saat itu 19 bulan, dengan berat yang cuman 5 kilo, sangat jauh dari berat normal.
Sekarang, setelah tiga tahun berlalu, meski sang ortu diadili, dicabut hak asuhnya, si kecil Lukas tetap saja menyimpan trauma yang mendalam. Bicaranya hanya sepatah kata, sering menggigit sendiri tangannya ataupun berusaha memakan apa yang dilihatnya.

Di Bremen, Kevin (2 tahun) mengalami nasib yang lebih parah. Ketika polisi datang menjemputnya untuk disimpan di panti anak2, Kevin tidak ditemukan. Ayahnya yang diduga mengidap kelainan sejak kematian sang istri setahun sebelumnnya tidak mau buka mulut. Setelah lama menggeledah, polisi akhirnya menemukan si kecil Kevin di dalam lemari pendingin, diantara tumpukan daging, tidak bernyawa.

Sejatinya, anak adalah masa depan, tempat segala asa bertumpu. Anak adalah dambaan setiap insan, buah cinta kasih bersama. Setiap pasangan menanti kehadirannya. Melihat mereka seperti melihat lorong waktu, wajah kita di masa datang, wakil kita suatu saat nanti.
Agama mengingatkannya sebagai karunia sekaligus cobaan. Yang lain menyebut sebagai “malaikat” kecil yang suci dari dosa.

Mengikuti tumbuh kembangnya centi demi centi, mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya ataupun melihat kali pertama dia bisa berdiri adalah pengalaman yang tak terlukiskan. Bahkan sekedar melihat sepatunya yang kecil yang lebih mirip gantungan kunci menurut saya sudah mampu membuat wajah ini tersenyum.

Dunianya selalu ceria, penuh warna, tak pernah berburuk sangka. Pikirannya egosentris dan hanya selalu ingin melakukan apa yang menyenangkan dirinya. Dia tidak pernah sadar bahwa dibalik omelan yang diterima tersimpan keinginan untuk melihatnya lebih baik.
Dia juga bagaikan kertas putih bersih yang siap menerima setiap coretan orang tua dan lingkungannya. Kanvas yang tidak berdaya menerima setiap goresan warna dari orang sekelilingnya. Apa yang diajarkan kepadanya, itulah yang dilakukan. Apa yang ditanamkan kepadanya, menjadi dasar pemikirannya kelak.

Adalah tugas orang tua untuk mengajarkan kebaikan kepada mereka. Memberi contoh bukan hanya dengan kata kata tapi dengan perbuatan. Mengarahkan jalan mereka bukan memaksakan kehendak yang menurut kita terbaik tapi kenyataannya mengeksploitasi mereka. Orang tua punya sedikit hak tapi bukan berarti legalisasi untuk bersikap feodal apalagi diktator terhadapa mereka. Meski anak adalah kanvas yang pasif tapi bukan berarti tidak perlu mendengar keinginan mereka.


Yang harus kita ingat bahwa kewajiban orang tua adalah kewajiban sebuah generasi terhadap generasi penerusnya. Kita tidak hanya wajib peduli atas darah daging sendiri tetapi juga anak2 kecil yang ada di sekitar kita, karena kita punya tanggung jawab moral dan sosial sebagai generasi yang lebih tua. Bantu mereka dengan segala kemampuan. Bisa dengan materi, nasihat, berbagi cerita, menjadi teman bermain ataupun sekedar memberi dekapan hangat yang bisa membuat mereka merasa nyaman. Jika ada anak yang terpuruk di lingkungan kita, tidak sekolah hanya karena orang tuanya kurang mampu, maka kita punya dosa sosial karenanya.

Lukas dan Kevin di atas adalah “produk” dari sebuah keluarga yang terhimpit secara ekonomi yang akhirnya merembet menjadi masalah kejiwaan ataupun sosial. Alasan klasik tapi sayangnya betul. Kita tidak pernah tahu ada berapa "Kevin2" baru setiap hari tapi yang jelas kemiskinan telah mengoyak hidup sebagian dari kita.
Dan kemiskinan telah menjelma menjadi menjadi mesin pembunuh buat sebagian anak yang dampaknya lebih memilukan dibandingkan perang sekalipun. Mungkin tidak membunuh secara fisik, tapi kemiskinan telah mematikan mimpi-mimpi, mengoyak masa depan ataupun kehidupan anak itu sendiri.
Seperti pesan seorang sahabat dalam mailnya, “ Jika kita tak mampu memadamkan api kemiskinan, setidaknya kita tidak membuatnya lebih besar”.

Lakukan sesuatu apa yang anda bisa, jangan biarkan kertas putih itu terbakar menjadi abu.


Pic taken from BILD.

___________________________________________

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home