Berbaik Sangka

Salah satu hal yang bisa kita pelajari di Munich (baca: Jerman) sini adalah berbaik sangka.
Meski sebagian orang jerman terkenal kaku dan dingin, meski sebagian kecil dari generasi mudanya masih ada yang suka rasis (neo nazisme), setidaknya sistem yang ada di sini mengajarkan kita untuk berbaik sangka.
Maksudnya bahwa (umumnya) setiap orang sudah tahu kewajibannya, tahu yang mana yang benar dan salah sehingga tidak perlu kontrol yang berlebihan.

Dan sistem yang berdasarkan asas kepercayaan ini setidaknya bisa ditemui di keseharian kita. Seperti bila seorang polisi mendapati mobil yang diparkir seenaknya, cukup menulis surat tilang lalu menyelipkannya di kaca mobil. Dia percaya bahwa empunya mobil pasti akan datang setelah itu terus melapor mengakui kesalahan serta ikhlas menerima “hukumannya”.

Hal serupa berlaku untuk sistem transportasi. Para pengguna bus, tram, underground maupun public transport lainnya diasumsikan tahu kewajibannya dengan membeli tiket sebelum memakai jasa transportasi tersebut. Tidak seperti di Amsterdam di mana petugas “hampir” selalu ada di setiap kereta ataupun di Paris yang memasang batas di setiap pintu masuk yang hanya akan terbuka jika penumpang mengnyelipkan tiketnya di mesin yang sdh tersedia, di Munich para penumpang jauh lebih “merdeka”.
Di setiap stasiun atau halte cuma disediakan mesin automatis yang menyediakan tiket. Tidak ada petugas yang berjaga jaga, tidak ada pula pintu pembatas yang “meminta” tiket. Setiap orang bebas menggunakan kereta.
Pengelola transportasi merasa hanya cukup dengan memeriksa tiket penumpang sewaktu waktu. Terkadang dalam sebulan saya mendapati dua-tiga pemeriksaan tiket tapi di bulan yang lainnya tidak diperiksa sama sekali. Mereka juga merasa bahwa pesan pesan yang mereka tempel di setiap bus, tram atau kereta sudah cukup menggugah hati penumpang untuk membeli tiket. Pesan itu umumnya menulis bahwa penumpang ilegal itu merugikan, hal yang dibenci dan bisa merusak mental generasi muda. Pesan tersebut juga mencoba menakut nakuti dengan menyebut denda yang berlipat maupun kerja sosial yang bisa saja ditambahkan sebagai hukuman.

Saya pernah mendapati penumpang yang tidak memiliki karcis. Oleh petugas yang menyamar sebagai penumpang, dia dimintai kartu identitas, duit 40 euro dan diberi selembar kertas yang harus dia bawa untuk melapor kembali di kantor terkait.
Sang penumpang gelap (kebetulan memang dia berbadan gelap) berusaha menjelaskan bahwa tiketnya tercecer tanpa dia sadari tapi si petugas tak bergeming. Para penumpang sudah diberi “kebebasan” yang berlebih dan jika sewaktu waktu diperiksa kedapatan tidak memiliki tiket, tidak ada alasan untuk itu. Kebebasan yang diberikan harus dibarengi dengan tanggung jawab. Si petugas di lain pihak merasa diberi kepercayaan untuk mencari penumpang gelap. Dia dibayar untuk itu. Dengan rasa tanggung jawab dia “menghukum” penumpang gelap, tidak menerima segala macam alasan, apalagi menerima tawaran “berdamai”.


Tadi pagi, setelah mengantarkan anak ke sekolah, di depan stasiun kereta, seperti biasa saya membeli koran untuk dibaca di perjalanan menuju kantor. Seperti biasa, saya mengambil koran di kotaknya, lalu memasukkan beberapa uang koin di tempat yang disediakan. Yang tidak seperti biasanya (selama dua tahun tidak pernah mengalami), setelah beberapa langkah, saat masih memandangi topik utama hari itu, saya di hadang oleh dua orang bule yang dandanannya lebih mirip seperti rapper. Salah seorang diantara mereka menunjukkan kartu pengenalnya dan mengatakan bahwa mereka adalah tukang kontrol koran. Saya “digiring” menuju tempat di mana saya mengambil koran tersebut. Seorang diantaranya mengambil kunci dari kantongnya, membuka kotak uang yang ada lalu menghitungnya. Setelah mendapati uang yang saya masukkan cukup, sambil berkata terima kasih, mereka membiarkan saya berlalu.

Setidaknya mereka tahu, saya (baca: orang indonesia) bisa dipercaya dan punya tanggungjawab. Mereka bisa (selalu) berbaik sangka….:-)

montag, dreizehn.elf.nullsechs

___________________________________________

4 Comments:

  • memang kayaknya pendidikan yang baik dan terjamin berbanding lurus dengan budaya ya mas =)

    By Anonymous Anonymous, At 5:08 PM  

  • testing..apa kbr?

    By Anonymous Anonymous, At 9:50 AM  

  • Stuju tuhhh. Kalo di Paris ada cara cerdik lainnya. Dengan mata kepala sendiri gue liat ada dua orang udah siap berdiri di depan pintu pembatas, dan begitu kami memvalidasi tiket dan voila pintu terbuka, serentak mereka nyelonong masuk duluan… Wupsss. Merci beau coup? Jangan harap…. Udah untung nggak kena tabrak…..

    By Anonymous Anonymous, At 10:04 AM  

  • saya juga setuju. bedanya krn di kota besar indo penduduknya rapet banget!jadi masalah sadar kayaknya lumer de! saya merasakan kesadaran seperti ini saat 5 tahun lalu ketika hidup di balikpapan! kota kecil yang makmur dgn penduduk (saat itu :p) yang tidak padat! transportasinya nyaman dan setiap jalur zebra cross kalo ga salah inget tertulis "menyeberang disini anda dijamin asuransi."

    By Anonymous Anonymous, At 8:27 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home