What is in a Name...

"What's in a name? That which we call a rose.
By any other word would smell as sweet."

--From Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)

Saat William Shakespeare menuliskan naskah di atas dalam cerita tragedi Romeo dan Juliet, menurut saya, dia tidak sedang bermaksud menafikan pentingnya nama dalam arti keseluruhan. Juliet Capulet yang kebetulan mencintai seorang lelaki dari keluarga Montague yang merupakan musuh bebuyutan keluarganya menganggap bahwa ada (cinta) yang lebih penting daripada nama. Bahwa dia mencintai Romeo sebagai seorang lelaki dan bukan sebagai anak keturunan klan Montague.

Dalam kehidupan sehari hari sekarang ini, hampir 400 tahun setelah kematian Shakespeare, masih saja ada orang yang menganggap nama lebih penting daripada diri sendiri. Bukan nama panggilan ataupun nama sejak lahir melainkan yang ada di depan ataupun di belakang nama (baca:gelar).

"...tapi nama itu penting, " sela Parjo saat menikmati pisang goreng dan secangkir kopi di sebuah warung pinggir jalan. "Apalagi di jaman sekarang ini. Nama bisa berarti fasilitas, kemudahan ataupun duit," lanjutnya.
"Memang penting. Tapi bukankah kualitas ataupun tingkah laku yang empunya nama yang lebih penting, Jo?" ujar Pandul.

"Contohnya, sekarang ini begitu banyak orang yang menunaikan ibadah haji dengan maksud tertentu. Begitu kembali ke tanah air, buru buru buat kartu nama baru, papan nama baru dengan tambahan huruf H di depan namanya. Padahal mabrur tidaknya ibadah haji terlihat dari perbuatan dan sikapnya dengan sesama manusia," jelas Pandul panjang lebar.
"Lalu minta dipanggil pak Haji atau bang Haji ya Ndul?" tambah Parjo.
Pandul tersenyum mengiyakan.

"Mahal amat atuh biaya huruf H nya. Mending juga duitnya buat modal Bibi jualan. Lebih bermanfaat dan lebih mulia," tiba tiba bi Omeng yang punya warung ikut ikutan nimbrung.
"Ah bibi kayak nggak tau aja. Bantuin Bibi mah gak mendatangkan manfaat buat dia. Lain halnya kalau dia naik haji, masuk koran atau tipi. Imagenya di masyarakat bisa naek. Besok besok mencalonkan diri jadi wakil rakyat, orang orang bisa simpati hanya gara gara huruf H di depan namanya itu, meski kita gak ngerti kelakuannya di belakang," kata Parjo.
"Kalau itu mah gampang diatur. Dia kan bisa juga ngundang wartawan inpotenmen waktu bantuannya diserahkan ke Bibi," elak bi Omeng.
"Infotainment Bi, bukan inpotenmen. Memangnya impoten?" potong Parjo.
"Itulah, Bibi kagak ngerti nyebutnya. Yang penting Bibi juga masuk tipi sekaligus dapat bantuan buat modal dagangan," ujarnya tersipu sambil mengangkat pisang goreng yang telah matang dari wajan penggorengan di depannya.

"Ngomong-ngomong soal nama, bukan cuman gelar haji tapi gelar pendidikan formal juga jadi koleksi mereka. Sekolahnya di mana gak jelas, bergelar sarjana sampai master tapi kelakuan kayak anak SD," kata Pandul lagi.
"Saya juga pernah baca, katanya hanya di Indonesia orang lulus master sampai masuk koran. Ucapan selamat dari sana sini. Di luar negeri gak pernah begitu, " tambah Parjo.
"Lho emangnya nak Parjo sudah pernah ke luar negeri?" tanya Bi Omeng heran.
"Gak Bi, itu yang saya pernah baca," ujarnya tersenyum sambil menyeruput kopinya.
"Mungkin karena di luar negeri, hal itu sudah dianggap biasa," kata Pandul.
"Mungkin juga orang di sana lebih peduli kenyataan dibanding yang di atas kertas. Tidak seperti kita yang selalu silau dengan yang tertera di kartu nama dibanding praktiknya," tambah Parjo lagi.
"Saya mah boro boro nyekolahin anak sampai dapat gelar mister begitu, tamatin anak sampai SMA aja susahnya minta ampun," ujar Bi Omeng.
"Gelar master Bi, bukan mister, " koreksi Parjo. Dia kemudian berdiri dan menyerahkan beberapa lembar uang seribuan kepada Bi Omeng. "Udah ah, mau narik dulu. Kalau taksinya kelamaan nganggur, anak istri makan apa di rumah," kata Parjo sambil pamit.
"Saya juga Bi, mau ke sebelah dulu," Pandul sumringah sambil menunjuk ke arah bengkelnya. "Kayaknya ada orang yang pengen ditambal ban motornya."
Sebelum berlalu, Pandul berkata, " Udah, Bibi banyak berdoa aja, supaya ada orang yang "khilaf". Uang untuk berangkat haji disumbangkan ke Bibi. Bisa buat nambah modal juga buat nyelesaiin sekolah anak. Satu lagi, bibi bisa masuk tipi."

span >18.12.06

___________________________________________

4 Comments:

  • saya setuju sama pandul dan bi omeng =), good post mas =)

    By Anonymous Anonymous, At 4:12 AM  

  • Justru sekarang terjadi penurunan pandangan dalam kualitas gelar.Jaman dahulu seorang yang bergelar insinyur berarti orang tersebut pintar dan hebat.Dan pada kenyataanya memang demikian,karena pada waktu itu sekolah jarang sehingga kesempatan masuk sekolah insinyur tadi sangat terbatas dan mereka yang terpilih adalah merupakan orang2 pilihan....Jaman sekarang sekolah semakin mudah ditambah pragmatisme pengelola sekolah dalam mengeruk uang membuat kualitas lulusan tidak terjaga,seperti saya misalnya....

    By Blogger Esha, At 9:11 AM  

  • Wah, posting komen pertama gagal... ini yg kedua. Tadi apa ya isinya..? Oya, sy juga suka bingung sama orang yang mempermasahkan gelarnya (karena salah tulis ataupun tidak tercantum misalnya). Pendapat Esha ada benernya juga (masalah semakin mudahnya sekolah dengan pragmatisme pengelola sekolah sehingga kulitas lulusan tidak terjaga). Jadi gelar itu ga menjamin orangnya hebat sesuai gelarnya.

    Buat Esha, jangan merendah gitu ah...

    By Blogger Leny Puspadewi, At 12:48 PM  

  • Karena jaman sekarang pendidikan telah berubah menjadi ajang bisnis, ya wajar saja kalo kualitas lulusannya tidak terjaga dan gampang sewot kalau gelar mereka tidak disebut. :-) (khan biaya tuk dapet tuh gelar mahal abizzzz ).

    Jadi inget ada tetangga yg balikin undangan pernikahanku dulu karena gelar mereka tidak disebut.
    (Akhirnya kami menulis ulang undangan buat beliau....).
    *begitulah potret masyarakat kita ...kocak abizzz

    By Blogger Ifoeng, At 2:54 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home