Kulit Tetangga

Seorang teman lama dari Indonesia beberapa hari lalu menuliskan emailnya:

“….di sana udah winter ya? Udah mulai turun salju? Asyik dong. Di sini, cuaca juga tidak menentu. Kalau hujan, banjir. Tapi kalo gak hujan, gerah, panas. Bikin bawaan pengen marah terus”.

Teman lokal di sini berkomentar saat kami ngobrol tentang cuaca di Jakarta :

“…30 derajat? Enak sekali. Tidak perlu menggigil kedinginan, tidak kotor, tidak perlu bangun lebih pagi untuk menyingkirkan salju yang menutupi mobilmu. Kayaknya saya harus pindah ke negaramu,” ujarnya bercanda. “Tapi udara dingin terkadang membuatku malas dan mempengaruhi mood. Kalau bisa berharap, sekali sekali dalam setahun tidak turun salju sama sekali,” lanjutnya, kali ini dengan mimik serius.

Sementara di pihak lain, adik teman saya di Indonesia malah sangat berharap salju tetap turun bulan Maret nanti saat dia berencana berlibur ke Eropa. Dia tidak bergeming ketika berusaha diyakinkan bahwa berlibur ke sini saat musim dingin lebih banyak gak enaknya buat orang dari negara tropis seperti kita.

Manusia memang cenderung mencari apa yang tidak dimilikinya. Menganggap yang dimiliki orang lain lebih baik daripada miliknya sendiri. Bukannya bersyukur malah mencari kekurangan apa yang dianugerahkan kepadanya. Bukan hanya dalam lingkup "rumput tetangga" yang katanya kelihatan lebih hijau itu tapi juga dalam lingkup yang lebih umum.

Selain soal cuaca, yang sering "dipermasalahkan" adalah masalah warna kulit. Di saat sebagian orang kita ingin memiliki kulit yang putih, mereka di sini malah berharap kulit mereka bisa berubah cokelat (gelap). The darker the better buat mereka sementara buat sebagian kita berlaku istilah the darker the minder. Maksudnya kulit yang terlalu gelap sering dianggap aib yang bisa menimbulkan sifat minder.

Saat summer tiba, kalau janjian piknik di taman, paling gampang mencari orang Indonesia. Tinggal cari pohon yang teduh, pasti tidak jauh dari situ. Kalau orang lokal di sini berpindah pindah tempat mengikut sinar matahari, maka kita juga berpindah pindah tempat menghindari sinar matahari.

Saat winter, di mana matahari jarang muncul, mereka akan berbondong2 menyambangi
sonnenstudio (tanning salon), ngendon kayak robot di dalam tanning bed demi menjaga warna kulit. Soal creme pemutih, jangan harap bisa mendapatkannya karena yang banyak tersedia hanyalah creme penyoklat.

Saat di Libya dulu, salah satu teman kami yang berasal dari Lithuania suka terheran heran. Alasannya, meski cuma satu dua jam bermain di pantai, kulit saya akan hitam sampai dua minggu ke depannya. Sementara dia? setelah seharian berjemur, dibolak balik seperti ikan asin, kulitnya hanya berubah merah (bukan hitam) seperti terbakar dan akan kembali ke warna putih pucat hanya dalam dua hari. Sejak saat itu, setiap kali bercermin saya bisa tersenyum dan bersyukur karena tidak perlu menjadi ikan asin sepertinya untuk mendapatkan kulit yang gelap..:-)


___________________________________________

5 Comments:

  • gak bisa comment tulisannya dah mewakili apa yang ada di hati saya

    By Blogger Unknown, At 3:58 AM  

  • Mgkn saya termasuk gol. minoritas yg gak pernah terbersit pengen putih dan selalu beharap coklat abadi, jadi paling seneng panas2an :).

    Hmmm... kalo balik ke Jkt titip tanning cream-nya 1 dong... :D

    By Blogger Rey, At 7:25 AM  

  • mas...salah bukannya mencoklat forever tanpa batas toh?hehehhe

    By Anonymous Anonymous, At 9:36 AM  

  • landy: mewakili yg mana? putih apa cokelat?..:-)

    mbak rey: taningcremenya gak janji ya..he..he.

    memey:bukannya senang co cokelat?

    By Anonymous Anonymous, At 9:54 PM  

  • memang bener, biasanya manusia selalu mencari apa yang tidak dimiliki, selalu mencari kekurangan...
    bagus mas, mudah2an kita bisa selalu mensyukuri apa yang telah diberi... :)

    By Anonymous Anonymous, At 10:50 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home