FedEx 2

Kekalahan itu datang juga. Setelah kekalahan atas Marat Safin pada semi final epic di Aussie Open 2005, ini kali pertama buat Roger Federer gagal melaju ke final sebuah grand slam. Sang nomor 1 harus takluk straight set dari Djokovic hari ini. Ini kekalahan straight setnya yang pertama sejak menyerah dari Gustavo Kuerten di French Open 2003.
Berakhirnya era Federer? Itu pertanyaan yang paling banyak muncul setelah kegagalan ini. Terlalu premature untuk menjawab iya, tapi setidaknya ini warning buat sang Fedex bahwa singgasana yang telah dikuasai sejak 208 minggu terakhir berada dalam bahaya.

"Saya sudah seperti monster selama ini jadi (jika) kalah, akan menjadi berita besar. Buat saya, semi final bukanlah pencapaian yang buruk," ucap Roger dalam jumpa pers yang ditayangkan Eurosport. Yang menarik adalah komentar ibu Novak Djokovic di restaurant yang disediakan oleh panitia untuk pemain dan keluarganya. Seperti yang dikutip ole tennis.com, sang ibu berucap," Dia (Federer) telah mendominasi selama bertahun tahun. Kita saatnya untuk anak saya".

Kemenangan Djokovic dan tampilnya Tsonga di final jelas membawa harapan baru di dunia tenis setelah selama ini hanya didominasi oleh Roger dan Rafael Nadal. Selama beberapa musim terakhir, hanya Nadal yang bisa mengimbangi sang maestro dalam pengumpulan trophy. Dengan kemenangan Novak kali ini, perhatian tidak akan hanya melulu kepada Federer dan Nadal di turnamen2 berikutnya.
Kenapa tidak? Kalau persaingan mereka mengembalikan kita kepada era persaingan Connors-Borg-McEnroe atau Lendl-Wilander-Becker, tentu saja menghibur kita semua.
Jika Novak berhasil menuntaskan perjuangannya di final nanti untuk mengangkat trophy grand slama perdananya, dia akan akan betul betul menjadi perhatian di masa datang. Jika Tsonga yang menang, kita bisa berharap persaingan ke depan tidak hanya dominasi ketiga pemain peringkat teratas tersebut.

Bagaimana reaksi Roger setelah ini akan menarik untuk disimak. Salah satu kelebihan seorang juara adalah bagaimana dia bereaksi atas kekalahannya. Kita tunggu saja bersama sama.

Labels:


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Hooliganism

Sepakbola Indonesia itu notorious. Yang menonjol lebih banyak sisi negatifnya. Ketua umum di penjara dan ngotot untuk tetap memimpin. Tim nasional yang lebih sering gagal bahkan jadi bulan bulanan. Wasit yang tidak becus. Kualitas lapangan dan stadion yang rendah. Kesebelasan peserta liga yang hampir semua cuma bisa menghabiskan milyaran dana dari APBD. Itu saja? Tidak. Penontonnya pun sering anarkis dan berlaku kriminal.


Kemarin kecenderungan itu muncul lagi. Aremania mengamuk. Asisten wasit dipukul, pemain dihujani batu, gawang dibakar. Belum puas juga, stasiun kereta di Kediri juga jadi korban pelampiasan. Di detik.com saya membaca komentar seorang koordinator Aremania yang membela diri. "Kami kecewa dengan wasit," ujarnya. Seakan akan tindakan anarkis adalah kesalahan wasit sepenuhnya dan oleh karenanya reaksi negatif mereka wajar diterima.

Well, secara umum kebanyakan dari penonton kita memang mengartikan fanastisme secara sempit. Hampir semua tim punya pendukung seperti ini. Apakah itu Aremania, Jaczman, Jakmania, Bonek, bobotoh Bandung, hampir semua pernah terlibat kericuhan. Pemain dan official juga kadang idem dito. Akibatnya kalau kalah ataupun merasa (ingat "merasa" itu sangat subjektif sifatnya) diperlakukan tidak adil, jadi temperamental. Apalagi kalau fanatisme yang dimiliki dibalut dengan latar belakang masalah sosial -himpitan ekonomi atau pengangguran- ditambah dengan pikiran pendek, ibarat bahan peledak, daya rusaknya bakal lebih dahsyat.

Di Makassar, jika PSM bertanding, tidak sedikit orang yang menghindari untuk melewati jalan di sekitar stadion Mattoangin (Andi Mattalatta-red). Apalagi jika berkendaraan roda empat dan bersamaan dengan jam selesai pertandingan. Teman saya yang di Bandung juga mengungkapkan hal yang sama. Saya yakin di kota kota lain juga kurang lebih sama keadaannya.

Artinya adalah image tentang sepakbola di tanah air berada pada titik terendah. Yang merasa rugi seharusnya adalah para pemain sepakbola -sebagai mata pencaharian mereka- dan juga para pecinta olahraga ini. Saya yakin banyak orang yang gemar sepakbola sangat ingin menyaksikan langsung pertandingan tim kesayangan mereka, tapi karena image itu tadi, membuat mereka berpikir seribu kali untuk datang ke stadion.

Kembali ke soal kerusuhan tadi, kekecewaan Aremania bisa saya maklumi. Orang orang yang gila bola, kalau melihat tim kesayangan tertinggal pasti bikin gelisah dan panas dingin. Lalu kemudian gol dianulir, sekali dua kali, kalau begini sumpah serapah pasti keluar. Tapi stop sampai di situ. Kalau setelahnya lalu melempar batu, memukul apalagi merusak, itu sudah urusan lain. Itu sudah masuk ke wilayah hukum -pak Polisi- dan bukan bagian dari sepakbola.

Pecinta sepakbola di Indonesia setiap minggu disuguhi pertandingan2 liga Eropa. Gratis! Seharusnya belajarlah dari situ. Sering kita lihat keputusan wasit yang salah atau kontroversial, gol yang dianulir, handsball yang tidak terlihat, dsb. Semuanya bagian dari sepakbola.

Ingat bagaimana sakitnya penggemar Inggris saat wasit tidak melihat Maradona memasukkan bola dengan tangannya di perempat final PD 1986 di Meksiko? atau saat Italia dihadiahi penalty saat injury time melawan Australia di PD Jerman 2006 lalu, meski tayangan ulang TV menunjukkan Grosso melakukan diving? Padahal ini terjadi di ajang terpenting sepakbola. Kadar adrenalin yang terlibat, emosi yang terasa tidak sebanding dengan liga Indonesia. Tapi mereka sadar, wasit juga manusia. Becus tidaknya wasit menjalankan tugasnya, biar PSSI/FIFA yang menilai. Kalau mau tidak puas, layangkan protes ke lembaga yang membawahi para wasit. Bukan main pukul, main bakar.

Kapan ya, menonton sepakbola di stadion menjadi hiburan keluarga seperti di Eropa. Sang anak menonton tim kesayangan didampingi oleh ayah dan atau ibunya bahkan sang kakek-nenekpun ikut serta. Syukur2 kalau pemandangan di stadion tanah air diramaikan juga oleh gadis2 remaja lengkap dengan atribut tim kesayangan.

gambar: image.worldcupgermany.com

Labels:


Baca selanjutnya.....
___________________________________________