Hijau


Jakarta sudah habis
Warna tanahnya merah kecokelat cokelatan
Mirip dengan darah…mirip dengan air mata


Sudah lebih 15 tahun sejak Iwan Fals menuliskan syair tersebut dalam lagunya. Terdengar apatis dan skeptis tapi setidaknya sekarang saya bisa mengangguk setuju dengan lirik tersebut. Dan terkadang saya malah berpikir bahwa kata Jakarta di atas –ironisnya- bisa diganti dengan Indonesia.

Buat orang Jerman (dan juga orang Eropa pada umumnya), hari di mana matahari bersinar cerah, saat udara terasa nyaman, berkunjung ke taman adalah hal yang tidak boleh dilewatkan (selain ke danau atau pantai). Sekedar membaca di bawah terik sang surya, bermain bersama teman, berkumpul bersama keluarga/pasangan ataupun mengeluarkan keringat dengan bersepeda, roller blade atau jogging di jalan setapak yang selalu ada di setiap taman. Di sini, apa saja bisa dilakukan sekedar melepas penat dan kejenuhan terhadap aktifitas sehari hari. Pun untuk anak anak adalah sarana bermain yang baik. Hiburan tersendiri yang menurut saya sudah sangat langka di negeri kita.

Jangankan di Jakarta, di daerah daerah yang mestinya masih “ mendesa” pun semakin lama semakin sulit menemukan ruang terbuka hijau yang bisa dinikmati bersama. Terlindas roda pembangunan kata orang. Memang, sebagian buat kita beranggapan bahwa pembangunan kota itu identik dengan gedung tinggi atau pusat perbelanjaan yang megah. Tidak masalah meski lahan hijau dihilangkan karenanya. Hal ini diperparah (dimanfaatkan?) oleh petinggi petinggi birokrasi kita yang tidak lebih mulia daripada lintah darat. Apa saja yang bisa dijual, dijadiin proyek, ditawarkan kepada developer developer yang tak punya hati. Yang penting imbalan cocok, semua diatur dan dilegalkan menurut aturan di bawah payung hukum buatan mereka.

Setiap kali pulang ke Indonesia mengunjungi keluarga, kami selalu dibuat berdecak kagum. Di kota saya di Makassar, setahun saja tidak berkunjung ke sana, ada banyak bangunan2 beton menggantikan ruang terbuka hijau. Di Depok di mana mertua saya tinggal, tidak kalah kencang laju “pembangunannya”. Bisa terlihat jelas hanya dengan menyebut perkembangan di sekitar Margonda dalam 2-3 tahun terakhir.
Dari teras rumah mertua saya, kami biasa menikmati bukit dengan pohon pohon hijau yang menyejukkan dari kejauhan. Tapi itu tinggal kenangan. Bukit itu disulap jadi perumahan. Sim salabim!. Luar biasa! Luar biasa dangkal pikiran mereka. Luar biasa rakus yang membangun dan yang memberi izin.

Cukup fair sebenarnya untuk membandingkan negeri kita dengan negara di Eropa dalam masalah hijau menghijau ini karena seperti lagu pengantar sebelum tidur di masa kecil, negeri ini sungguh subur. Konon orang Belanda juga mengakui bahwa di tanah republik ini hanya batu yang tidak tumbuh kalau ditanam. Sayangnya jejak jejak itu sudah hampir tak berbekas sekarang.

Bandingkan dengan hampir di setiap kota besar di Eropa, ada begitu banyak taman yang kecil dan besar, mudah ditemui di setiap sudut kota. Merekapun menawarkan taman sebagai bagian dari tujuan wisata buat pengunjung yang datang. Mereka tahu taman atau ruang terbuka hijau memang salah tempat pelesiran alternative yang diminati.

Vondelpark di Amsterdam misalnya, sudah menjadi bagian dari ciri khas kota. Taman yang sudah ada sejak 1864 ini terbentang sebesar 45 hektar dan dikunjungi oleh 10 juta orang per tahun!! Di Paris, dari sekian banyak taman yang ada, salah satu yang menjadi kebanggaan le Parisien adalah Le Bois de Boulogne. Taman yang juga mempunyai danau buatan di tengahnya ini sudah eksis sejak 717 M dan mempunyai luas 8,459 km2. Lalu di London ada Hyde Park, Villa Borghese di Rome, etc..etc.

Di Munich sendiri, tidaklah sulit menemukan ruang terbuka hijau, tempat untuk sekedar rileks ataupun untuk bermain anak anak. Dari yang ukuran kecil sampai yang terbesar mudah ditemui. Diantaranya yang terkenal dan selalu menjadi tempat tujuan wisata lokal dan manca Negara adalah Olympiapark dan English Garden. Kedua taman tersebut sudah menjadi trademark ibu kota Bavaria ini.

Lalu, kapan kota kota di negeri kita bakal dikenal orang dengan keindahan tamannya?

Jakarta sudah tidak bersahabat
Musim kemarau api…
Musim penghujan banjir…

gambar diambil dari: www.muenchen.de



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Cermin

Seorang teman pernah bercerita tentang kawannya yang bingung memilihkan TK buat sang anak. Pada akhirnya, si kecil harus berganti TK dalam hitungan bulan hanya karena sang ayah (kawan teman saya) merasa salah dalam memilihkan TK buat buah hatinya. Apa pasal? TK tersebut tidak mengajarkan anak didiknya membaca dan dia khawatir nanti sang anak bakal sulit untuk mendapatkan sekolah dasar.:-(
Dalam hal ini, menurut saya bukan cuma anak yang butuh pendidikan tapi sang ayah dan tenaga pendidik pun butuh therapi untuk memperbaiki pola pikir mereka yang salah.

Tragis gak sih melihat bagaimana sekolah dasar mewajibkan calon anak didiknya harus bisa membaca sebelum diterima? Bukankah sekolah itu tempat belajar? Termasuk belajar membaca. Dan yang terpenting lagi, apakah kecerdasan anak hanya dilihat dari cepat tidaknya dia bisa membaca? Tanggung jawab sebagai tempat mendidik di mana? Panggilan moral sang guru ke mana?
Saya pernah membaca di mana guru komplain hanya karena tulisan anak muridnya yang masih kelas satu SD seperti cakar ayam. Please deh! Bukankah karena hal hal seperti itu mereka dibutuhkan. Selayaknya si guru lebih banyak memberikan stimulasi yang merangsang motorik muridnya biar gak seperti cakar ayam lagi. Lagian kenapa pula anak kelas satu SD diharapkan punya tulisan rapih nan indah dibaca?

Orang tua jaman kita (sekarang) sudah sadar sepenuhnya betapa pentingnya sekolah buat masa depan anak. Thus, sebisa mungkin memilihkan sekolah terbaik buat anak tidak masalah betapapun mahalnya. Sekolah plus lah atau sekolah dengan kurikulum international lah, sekolah binaan atau sekolah unggulan, etc..etc.
Sayangnya banyak diantara para orang tua, termasuk saya, suka lupa bahwa pendidikan terbaik untuk anak dimulai dan akan selalu ada di rumah. Ortu cenderung tidak mau tahu dan hanya melihat hasil akhir. Jika sudah membayar mahal, mengikutkan les tambahan sana sini, maka hasilnya harus bagus. Jika tidak, either sekolahnya yang salah atau si anak yang dianggap kurang. Seakan akan anak adalah robot yg dibeli di toko yang bisa diupgrade sana sini jika membayar lebih.

Bagaimana seorang anak bisa berhasil jika setiap malam saat mengerjakan PR yang menemani hanyalah pembantu? Bagaimana mengharapkan sang anak belajar budi pekerti di sekolah jika bapak ibunya di rumah tidak pernah memberi contoh yang baik? Atau mengharapkan anak belajar agama di sekolah sementara suasana di rumah sangat jauh dari sifat agamis?

Ada banyak keluarga di mana kedua orang tua harus bekerja mencari nafkah menyebabkan mereka "terpaksa" menitipkan anak kepada "pihak ketiga". Apakah itu orang lain (PRTnya), kakek nenek ataupun kepada sekolah. Bisa dimaklumi meski kalau mau berpikir lebih bijak, anak haruslah selalu diprioritaskan. Yang membuat saya sering protes adalah ketika mereka berkata lantang bahwa hubungan dengan anak itu yang penting kualitas bukan kuantitas. Bagaimana jika sang anak mendatangi mereka dan berkata, "Pa, saya sekolahnya dua kali aja seminggu. Kan yang penting kualitas bukan kuantitas!". Apa mereka bakal setuju?
Apa mereka tidak tahu bahwa hubungan orang tua dengan anak itu bukan ilmu pasti? Bukan hubungan antara penjual dan pelanggannya yang meski tidak bertemu muka, transaksi bisa berjalan? Kualitas hubungan antara ortu dan anak hanya bisa membaik jika kuantitasnya tinggi. Keakraban antara anak dan ortu bakal tumbuh seiring dengan banyaknya "pertemuan". Pun sebaliknya demikian.
Jadi jika anda adalah orang tua, sudahkah anda "bercermin"?

P.S.
Bukan bermaksud lebih tahu atau menggurui tapi sekedar cermin yang bisa mengingatkan untuk menjadi ortu yang lebih baik.

gambar diambil dari: www.livingroom.org.au






Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Zürich

Kalau disuruh melukiskan kota ini dengan satu kata, jawaban yang tepat menurut persepsi saya adalah mahal. Beberapa teman sering kali menyebutkan hal serupa jika kami berbicara tentang kota ini (dan Swiss pada umumnya). Dan memang, itu kesan yang paling awal yang saya tangkap di kota dengan kualitas hidup terbaik di dunia ini.

Kereta yang kami tumpangi mencapai Zürich Hauptbahnhof (stasiun kereta utama) saat menjelang tengah hari setelah menempuh perjalanan selama 4 jam dari Muenchen. Satu hal yang juga membuat saya terkesan adalah orang orang yang bertugas di sekitar Hauptbahnhof di sini kebanyakan berbicara multi bahasa. Mereka fasih berbahasa Perancis, Jerman, Inggris bahkan Spanyol. Ibarat pendekar, mereka bisa meredam jurus jurus yang dilancarkan oleh musuh yang berbeda beda...:-)


Baik itu di bagian penjualan tiket, tourist informasi maupun tempat penukaran uang, kendala bahasa hampir tidak kita temukan. Bahkan di toko toko penjual souvenir, restaurant dan penjaja es krim di taman tamanpun setidaknya bisa berbicara dalam bahasa international yang lain selain bahasa mereka sendiri - hil yang hampir mustahal (baca: susah) ditemukan di Munich -. Selain Jerman dan Perancis, bahasa Inggris memang merupakan bahasa yang paling sering digunakan di negeri ini meski tidak mutlak bahwa setiap orang bisa ketiganya. Di kota yang terletak lebih ke barat seperti Basel atau Geneva, bahasa Perancis yang lebih kental di sana, sementara di bagian timur lebih kental bahasa Jermannya, tepatnya bahasa Swiss yang berasal dari bahasa Jerman (Schweizer Deutsch).
Schweizer Deutsch ini membuat saya sedikit kecele. Meski mereka mengerti dengan baik bahasa Jerman yang saya gunakan, saya kerap kali kesulitan untuk mengerti jerman versi mereka sepenuhnya..:-(


Kembali ke soal mahal, aromanya sudah terasa sejak di Hauptbahnhof. Rasa senang saat saya menukar uang Euro ke Swiss Franc terasa semu.
Meski 1 Euro dihargai 1.58 Franc, pada kenyataannya harga barang dan makanan jauh lebih mahal. Tiket transportasi harian yang bisa digunakan untuk naik tram, bus ataupun kereta berharga 4.15
Euro (sekitar 7 Franc) per orang, kurang lebih sama dengan harga tiket serupa di Munich, TAPI di sini MVV menawarkan partnertageskarte seharga 9 Euro yang bisa digunakan untuk 5 orang. Dengan kata lain, jika anda berkeliling berombongan di Munich, harga tiket akan jauh lebih murah.
Harga makanannya juga idem quod. Menu sama di McDonalds yang di Munich seharga 4.60 Euro, di kota ini lebih dari 6 Euro. Makanan di restauran Asia yang di sini gak sampai 7 euro, di sana sampai 13 euro! Kebab dengan rasa dan ukuran yang sama juga berharga dua kali lipat. Cukup alasan untuk memporak porandakan limited budget yang kami miliki...:-(
Meski tidak sempat mensurvey seluruh harga makanan dan bahan pokok - kami gak punya waktu untuk ke pasar2 inpresnya untuk ngecek harga cabe keriting, kembang kol dan teman temannya -, harga makanan di Zurich memang mencengangkan. Kalau bukan karena cacing cacing diperut yang ngamuk minta disuap, rasanya berat sekali untuk merogoh kantong ataupun membuka dompet..:-)

Harga2 souvenir semacam t-shirt, tempelan kulkas, lukisan ataupun pernik pernik juga cukup membuat mata terbelalak. Tapi yang lebih terbelalak matanya lagi adalah teman kami dari Indonesia yang kebetulan ikut bersama kami (mereka bertiga datang dari Indonesia). Setiap kali keluar masuk toko, kalkulator kecil digenggam ditangan. Begitu melihat harga barang, langsung dikurskan ke rupiah. Alhasil, lebih sering pusing daripada belanjanya.
Seperti kata orang tua, tiada gading yang tak retak, setidaknya ada satu barang yang murah di kota ini dibanding di Jerman, jam tangan. Saya gak ngecek perbandingan harga jam tangan sekelas Omega, Tag Heuer, Breitling, Laurent Macroix ataupun Rolex tapi untuk sekelas Tissot, Fossil ataupun Swiss Army, harganya cukup murah dibanding di Munich.

Terlepas dari itu, Zürich (termasuk daerah suburbannya) cukup indah untuk dinikmati dan menawarkan kenyamanan buat traveler dan shopper. Lindenhof, Uetliberg, Zug, Schipfe, Hurden atau Bürkliterasse adalah sebagian dari tujuan wisata di kota ini. Belum lagi menyebut museum museum dan bangunan tua bersejarah yang ada. Di pusat kota sendiri, di sekitar Lake Zürich, pemandangannya tak kalah menarik. Paduan antara gedung gedung tua yang cantik „memagari“ pinggiran danau dengan perahu perahu kecil, senada dengan pedestrian side yang berhadapan langsung dengan etalase etalase gerai yang menggoda mata.

Kota terbesar di Switzerland ini juga merupakan kota multi ethnic. Sore itu saat berjalan di sekitar Lake Zurich, ramai terlihat orang kulit hitam, ras kuning, arabic dan berbagai sub etnis kaukasian berkelompok menikmati hari. Ada yang sekedar ngobrol sambil membuat barbeque, ada yang bermain bola sementara yang lain menikmati musik dari radio compo yang mereka bawa. Selama beberapa hari berkujung, berapa kali kami bertemu dengan orang Indonesia yang menetap di sana.

Hari terakhir sebelum kembali ke Munich, kami sempat ke Basel -sejam berkereta dari Zürich- kota tempat tinggal Roger Federer yang tidak kalah cantiknya. Selama dalam perjalanan ke Basel itu, pemandangan yang dilalui cukup menyegarkan mata. Gunung, padang rumput hijau, danau2 kecil, rumah rumah kayu mengingatkan film Heidi jaman dulu, semuanya menyenangkan hati untuk melihatnya. Betul betul negeri yang „gemah ripah loh jinawi“ dalam gambaran masa kecil saya.



Gambar kedua dan untuk info lebih jelas tentang Zürich, lihat di sini .






Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Bersin

Manusia mana yang tidak pernah bersin? Laki laki, perempuan, tua – muda bahkan bayi sekalipun pernah mengalaminya. Secara ilmiah, bersin ini diartikan sebagai “ledakan” udara melalui mulut dan hidung. Kecepatannya bisa mencapai 250 km per jam dan sekali bersin bisa menularkan ribuan bibit penyakit. Satu hal yang menarik, bersin diartikan dan “diperlakukan” berbeda beda oleh berbagai bangsa di dunia ini.

Jaman dahulu, orang Jepang menganggap bahwa jika seseorang bersin dua kali berturut turut, berarti ada yang sedang membicarakannya di tempat lain sementara sebagian orang India serta di China percaya bahwa jika anda bersin itu berarti seseorang sedang memikirkan diri anda. Di Sabah pernah ada “kepercayaan” bahwa bersin saat melayat ke rumah orang yang meninggal akan menyebabkan rumah duka akan “berpindah” ke rumahnya, dalam artian akan ada orang serumahnya yang meninggal. Lain lagi di Hungaria, bersin dianggap sebagai konfirmasi dari Tuhan tentang kebenaran ucapan seseorang jika dia tiba tiba bersin setelah mengucapkan sesuatu.

Di Indonesia yang kebanyakan penduduknya adalah muslim, biasanya kita merespon dengan ucapan Yarhamukallah (semoga Allah swt melimpahkan berkahNya untukmu) bila melihat orang bersin sementara yang non muslim berkata (semoga) Tuhan memberkati.
Di Jerman respon untuk orang yang bersin adalah Gesundheit (kesehatan (untukmu)) sama dengan di Belanda yang mengucapkan, Gezondheid dan di beberapa daerah Skandinavia yang berkata “Prosit”. Konon kebiasaan ini muncul saat Eropa dilanda berbagai macam wabah penyakit berabad abad lalu. Saat itu, bersin dianggap sebagai awal dari suatu penyakit yang bisa menyebabkan kematian (seperti Scarlet Fever), jadi ucapan Gesundheit atau Prosit adalah doa agar orang yang bersin tetap sehat dan agar yang mengucapkannya pun tidak tertular.
Di Polandia, orang umum berkata “Sto lat” yang berarti seratus tahun dalam artian semoga yang bersin diberi umur panjang, persis sama dengan beberapa daerah di China yang menyebut “bai sui”. Orang orang di Turki juga mendoakan untuk berumur panjang bagi orang yang bersin dengan mengucapkan “çok yaşa” yang dijawab dengan “hep beraber” (semoga kita semua akan berumur panjang). Di Spanyol, mereka biasa mengucapkan “Jesus” jika mendengar orang bersin yang dibalas dengan ucapan “Gracias”!

@dari berbagai sumber.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________