Kulit Tetangga

Seorang teman lama dari Indonesia beberapa hari lalu menuliskan emailnya:

“….di sana udah winter ya? Udah mulai turun salju? Asyik dong. Di sini, cuaca juga tidak menentu. Kalau hujan, banjir. Tapi kalo gak hujan, gerah, panas. Bikin bawaan pengen marah terus”.

Teman lokal di sini berkomentar saat kami ngobrol tentang cuaca di Jakarta :

“…30 derajat? Enak sekali. Tidak perlu menggigil kedinginan, tidak kotor, tidak perlu bangun lebih pagi untuk menyingkirkan salju yang menutupi mobilmu. Kayaknya saya harus pindah ke negaramu,” ujarnya bercanda. “Tapi udara dingin terkadang membuatku malas dan mempengaruhi mood. Kalau bisa berharap, sekali sekali dalam setahun tidak turun salju sama sekali,” lanjutnya, kali ini dengan mimik serius.

Sementara di pihak lain, adik teman saya di Indonesia malah sangat berharap salju tetap turun bulan Maret nanti saat dia berencana berlibur ke Eropa. Dia tidak bergeming ketika berusaha diyakinkan bahwa berlibur ke sini saat musim dingin lebih banyak gak enaknya buat orang dari negara tropis seperti kita.

Manusia memang cenderung mencari apa yang tidak dimilikinya. Menganggap yang dimiliki orang lain lebih baik daripada miliknya sendiri. Bukannya bersyukur malah mencari kekurangan apa yang dianugerahkan kepadanya. Bukan hanya dalam lingkup "rumput tetangga" yang katanya kelihatan lebih hijau itu tapi juga dalam lingkup yang lebih umum.

Selain soal cuaca, yang sering "dipermasalahkan" adalah masalah warna kulit. Di saat sebagian orang kita ingin memiliki kulit yang putih, mereka di sini malah berharap kulit mereka bisa berubah cokelat (gelap). The darker the better buat mereka sementara buat sebagian kita berlaku istilah the darker the minder. Maksudnya kulit yang terlalu gelap sering dianggap aib yang bisa menimbulkan sifat minder.

Saat summer tiba, kalau janjian piknik di taman, paling gampang mencari orang Indonesia. Tinggal cari pohon yang teduh, pasti tidak jauh dari situ. Kalau orang lokal di sini berpindah pindah tempat mengikut sinar matahari, maka kita juga berpindah pindah tempat menghindari sinar matahari.

Saat winter, di mana matahari jarang muncul, mereka akan berbondong2 menyambangi
sonnenstudio (tanning salon), ngendon kayak robot di dalam tanning bed demi menjaga warna kulit. Soal creme pemutih, jangan harap bisa mendapatkannya karena yang banyak tersedia hanyalah creme penyoklat.

Saat di Libya dulu, salah satu teman kami yang berasal dari Lithuania suka terheran heran. Alasannya, meski cuma satu dua jam bermain di pantai, kulit saya akan hitam sampai dua minggu ke depannya. Sementara dia? setelah seharian berjemur, dibolak balik seperti ikan asin, kulitnya hanya berubah merah (bukan hitam) seperti terbakar dan akan kembali ke warna putih pucat hanya dalam dua hari. Sejak saat itu, setiap kali bercermin saya bisa tersenyum dan bersyukur karena tidak perlu menjadi ikan asin sepertinya untuk mendapatkan kulit yang gelap..:-)



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Tanah Air Beta

Seringkali orang orang Indonesia yang menetap di luar negeri -negara maju- menganggap tinggal di negara kita tidak ada baiknya. Mereka membandingkan “kualitas” hidup yang relative lebih baik dibandingkan di Indonesia. Biasanya mereka menyorot tentang pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi, keadaan kota yang teratur, bersih, hijau dengan kualitas udara yang baik, public service dari pemerintah yang jelas dan mudah – bandingkan dengan ngurus ktp di Indonesia-, sampai sistem transportasi yang lengkap. Tentu saja saya tidak punya alibi untuk menyangkal hal tersebut. Tanpa mengurangi rasa cinta saya pada tanah air, dalam hal itu kita memang jauh tertinggal. Saya malah terkadang terlalu pesimis dan berpikir bahwa untuk hal tertentu, meski menunggu seratus tahun pun kita tidak akan berada di level seperti mereka sekarang.

Tetapi – setidaknya menurut saya- ada hal positif yang kita miliki di Indonesia yang tidak mereka miliki di sini:

1. Rasa kekeluargaan
Di masyarakat kita, hubungan antara anak -begitu mereka dewasa dan mandiri- dengan orang tua ataupun sesama saudara jauh lebih kental dibanding kebanyakan orang bule di sini. Mereka sudah terlalu individualistis sehingga hubungan ortu dan anak tidak lebih dekat dibanding hubungan dengan teman. Hubungan anak-ortu atau dengan saudara kandung tersekat oleh dinding kebebasan sebagai individu. Orang tua dititipkan di panti jompo atau anak yang menengok ortunya sekali setahun adalah hal yang biasa. Mau ortu lagi susah atau sedang dirundung masalah, sang anak tidak perlu merasa durhaka jika tidak menengok. Pun anak (yg sdh dewasa) jika terbaring di rumah sakit dan sampai sembuh tidak ditengok, tidak akan uring uringan pada ortu. Yang juga menyedihkan, seorang kakek/nenek yang rindu ingin melihat cucunya harus membuat janji untuk berkunjung jauh hari sebelumnya.


2. Kehidupan beragama
Orang sini banyak yang mengaku menganut agama tertentu tapi pada kenyataannya adalah atheis. Mungkin pikiran mereka sudah terlalu logis dan hanya percaya segala pada sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika. Buat mereka ini, agama dan kitab suci adalah cerita usang orang orang dulu. Tuhan hampir tidak pernah terpikirkan. Rumah ibadah lebih banyak kosongnya. Kalaupun ada, hanya dipenuhi oleh orang2 tua atau malah turis yang mengunjungi rumah ibadah karena bernilai bersejarah yang berusia ratusan tahun.
Sebaliknya, meski banyak masyarakat kita yang menganggap agama hanya sekedar identitas di ktp, setidaknya kita masih bisa merasakan “aroma” Tuhan di Indonesia. Ibaratnya, suasana sekitar kita mendukung. Jika mesjid telah mengumandangkan suara azan, selalu ada saja yang mampir meninggalkan dunianya sejenak untuk memenuhi panggilan Tuhan. Saat di Jayapura dan di Dili pun saya bisa merasakan betapa umat kristiani antusias mengunjungi gereja untuk beribadah. Bali apalagi, nuansa Hindu dengan segala ritualnya seakan tidak ada hentinya.

3. Pornografi
Saya tidak tahu batasan pornografi di sini bagaimana tapi buat orang tua yang masih kolot seperti saya, adalah tantangan terbesar melindungi anak dari produk2 pornografi. Gambar perempuan telanjang misalnya, sangat sulit dihindarkan dari anak karena setiap hari muncul di koran, TV, majalah ataupun iklan yang dipampang di stasiun atau halte bus. Belum lagi saat musim panas, jika berkunjung ke danau atau taman, pemandangan perempuan telanjang/topless ada di mana mana. Bahkan nenek-nenek yang bodynya melar ke mana mana dengan kulit keriput juga ikutan telanjang. Jawaban apa coba yang harus diberikan kepada anak yang bertanya, “…papa kok omanya gak pake baju?”.
Suatu ketika, di dalam U bahn – underground- saat pulang kantor, penumpang berjubel, sepasang ABG cuek saja beradegan hot disaksikan orang sekitarnya. Reaksinya? Cuek, gak ada peduli, meski si lelaki memasukkan jarinya ke sela sela paha pasangannya, meski si perempuan mendesah sambil merem melek. Kalau yang begini menjadi tontonan anak kita sejak kecil, lama lama mereka menganggapnya normal dan biasa.
Saya tahu di Indonesia, pornografi dan teman temannya sudah tidak setabu jaman bapak kita dulu, tingkah laku kita juga tidak sealim yang kebanyakan orang kira tapi setidaknya serangan pornografi tidak (belum) segencar di sini.

Jadi setidaknya masih ada aspek di mana tinggal di Indonesia lebih baik dibanding tinggal di luar. Tul gak?


photo diambil dari: www.seltech.co.id



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Hunting


Bukan soal berburu rusa ataupun binatang lainnya karena saya adalah pencinta sesama –sesama mahluk Tuhan maksudnya-, apalagi berburu penjahat. Yang ini tidak membutuhkan keahlian khusus tapi membutuhkan sedikit keberuntungan.

Pagi itu, meski udara dingin menusuk, meski hari masih gelap, saya berangkat dari rumah lebih awal. Tujuannya bukan ke kantor melainkan menuju ke Vorverkaufstelle (tempat penjualan tiket olahraga dan musik). Hari itu adalah hari resmi penjualan tiket champions league antara FC Bayern (FCB) melawan Real Madrid yang bakal berlangsung awal Maret nanti. Hal yang lumrah di sini untuk menjual tiket jauh hari sebelum hari H. Malahan untuk beberapa pertunjukan konser musik – seperti konser Robbie Williams atau Anna Netrebko- tiket telah terjual setahun sebelumnya (dan ludes hanya dalam hitungan jam)!!!


Sebenarnya saya tidak terlalu berharap banyak untuk mendapatkan tiket hari itu. Saya sudah berhitung untuk mecarinya di „black market“ meski untuk itu terpaksa membayar 3-4 kali lipat. Bagaimana lagi, kesempatan menyaksikan Real Madrid bertanding tidak tiap tahun datangnya. Di sini juga ada yang namanya „black market“ meski dalam skala lebih kecil. Untuk pertandingan olahraga ataupun konser musik yang banyak peminatnya, setiap orang biasanya dibatasi untuk membeli tiket (maksimal 2-5
lembar) dengan menunjukkan kartu identitas diri. Jadi, orang yang misalnya cuma butuh 1 tiket, bakal menjual tiket sisa yang dimilikinya. Itulah sebabnya di black market pun orang tetap saja berebutan meski harganya berlipat lipat karena jumlahnya terbatas.

Saat tiba di Vorverkaufstelle Ostbahnhof, antrian sudah mulai mengular, belok sana sini. „Busyet, orang orang ini gak tidur apa?“ pikir saya dalam hati. Kegagalan mendapatkan tiket resmi seperti tahun sebelumnya langsung terbayang. Saat itu, untuk mendapatkan tiket pertandingan AC Milan yang datang bertandang ke Muenchen di ajang kompetisi yang sama, saya juga ikutan antri di tempat ini. Setelah dua jam berdiri berdesakan, kedinginan, sambil menahan kemih, saya gagal total. Dari ratusan orang yang antri, hanya lima orang yang pulang membawa tiket. Itu karena tempat tersebut hanya kebagian beberapa lembar tiket. Setahu saya, ada dua Vorverkaufstelle yang menjadi penjual resmi tiket FCB di Muenchen. Satu di Ostbahnhof, satunya lagi di Neuperlach Zentrum. Cuma, mereka biasanya hanya kebagian beberapa puluh lembar tiket karena sebagian besar tiket dijual (langsung atau lewat internet)di markas FC Bayern yang memberi prioritas anggota resmi fans club.
Untuk ke markas FCB langsung, saya tidak senekat itu, karena itu berarti harus menginap di sana lengkap dengan kantong tidur bersama ribuan orang lainnya!!!

Setelah antri beberapa saat, saya memutuskan untuk ke Vorverkaufstelle di Neuperlach Zentrum. Pertimbangannya, kali aja di sana antriannya lebih pendek karena terletak agak di luar kota. Ternyata tidak meleset. Saya adalah orang ke sebelas yang datang. "Kalau ada 50 lembar tiket yang terjual, bakal dapat tapi kalo cuma 10 lembar yang tersedia...," ujar saya dalam hati mencoba berhitung segala kemungkinan.

"Kita menunggu di sini berharap keberuntungan," ujar bapak di depan saya yang semua rambutnya telah memutih. Dia seakan bisa membaca pikiran saya. "Bila nanti ada 10, 50 ataupun cuma 2 lembar tiket, yang penting kita sudah mencoba," lanjutnya lagi. Semua yang menunggu lantas mengiyakan.
"Saya ke markas FCB semalam dan pemandangannya luar biasa. Ribuan orang antri bukannya berdiri memanjang tapi sambil tiduran," tambah seorang anak muda.


Tanpa sadar, antrian semakin lama semakin memanjang. Tidak tahu mau berbuat apa, koran pagi juga sudah terbaca semuanya, saya lantas memperhatikan yang lain satu per satu.Yang paling depan, sebaya dengan saya, sengaja membawa kursi lipat, melanjutkan tidurnya sambil bersandar di dinding. Tepat di belakang saya, seorang ibu muda yang juga membawa serta putrinya lengkap dengan kereta bayi. "Betul betul diniatin," pikir saya. Yang antri pagi itu beragam. Ada yang baru bangun dengan rambut masih awut2an, Ada yang rapi dengan rambut klimis. Ada yang berjas dan berdasi, ada yang bercelana jeans belel dengan tempelan sana sini. Ada anak belasan tahun ada juga perempuan separuh baya yang lebih pantas disebut oma. Menurut saya, cinta yang luar biasa terhadap klub kesayangan ditunjang dengan fasilitas stadion yang relatif baik dan aman, membuat oma2/opa2 tersebut tetap rajin menonton sepakbola live di stadion.

Sekitar 2 jam antri, akhirnya Vorverkaufstellenya buka juga. Wanita yang bertugas di situ mengumumkan bahwa setiap orang hanya boleh membeli dua lembar tiket dan harus menunjukkan kartu identitas diri. Ketika mengetahui bahwa mereka menjual 60 lembar tiket, lega hati ini. "Tidak sia sia kaki ini pegal pegal," gumamku sambil tersenyum.

Photo diambil dari www.fcbayern.de


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

DSDS

Orang jerman -tanpa bermaksud menggeneralisir- konon dikenal suka berterus terang. Kalau tidak senang dengan sesuatu, mereka akan bilang tidak senang tanpa harus berbasi basi atau berpura pura, pun tanpa takut merasa menyakiti.

Deutschland sucht den Superstar atau disingkat DSDS (sejenis American Idol versi Jerman) untuk tahun 2007 mulai memasuki babak penyisihan sejak minggu ini. Ada dua hal yang menarik buat saya dari acara ini. Pertama, tingkah laku sebagian peserta yang sengaja ikut casting hanya untuk sekedar numpang lewat dan nongol di tivi atau sekedar menarik perhatian. Seperti ketika seorang peserta laki laki yang sambil menyanyi, memeloroti pakaiannya hingga tinggal celana dalam (model G string bo!). Ada peserta yang sekedar ingin berphoto dengan para juri ataupun seorang wanita yang bukannya menyanyi malah memamerkan –maaf- buah dadanya di hadapan juri.

Daya tarik lainnya adalah komentar2 dari juri (2 pria, 1 wanita) yang terkadang terlalu berlebihan. Adalah seorang Dieter Bohlen, mantan pentolan Modern Talking, merupakan salah satu dari 3 juri yang paling sering berkomentar terlalu “polos dan apa adanya”, bahkan untuk ukuran orang Jerman.
Kemarin malam, saat menyaksikan acara ini di TV, saya hanya bisa senyum miris dan terkadang geleng kepala mendengarkan komentar si Bohlen ini.

Ada seorang wanita yang berperawakan gemuk, ikut casting. Saya tidak familiar dengan lagu yang dia bawakan (lagu Jerman) tapi salah satu lirik lagunya menceritakan keadaan seseorang yang belum pernah merasakan dicintai dan mencintai. Ketika si wanita menyanyikan bagian “..noch nicht verliebt“ (tidak pernah dicintai), Bohlen spontan berkomentar…”tidak heran, kalau melihat dirimu”.

Komentar komentar dari Bohlen terhadap beberapa peserta yang tidak kalah polosnya adalah:
- “(dengan suaramu), kamu bisa membuat kecoa jadi koma”.
- “Kamu menyanyi seakan akan ada sikat pembersih toilet di dalam pantatmu”.
- “Kamu berdiri di situ seperti –maaf- penis yang tidak bisa ejakulasi malam pengantin”.
- “Pita suaramu (ada) di tempat sampah. Di situ tempat yang cocok untuknya”.

Tentu saja tidak semua peserta dicaci olehnya. Jika memang bagus, diapun tak segan segan memuji si calon bintang. Pernah sekali -terjadi tahun sebelumnya- seorang peserta yang dinyatakan gugur datang mendatangi Dieter Bohlen, mengambil gelas minum di meja dan menyiramkannya ke wajah Bohlen. Kejadian itu disaksikan jutaan pemirsa lewat televisi.
Tapi hal tersebut tidak membuat komentarnya lebih sopan. Meski banyak menuai kritik, Bohlen tetap pantang mundur. “Komentar itu bukan bermaksud untuk membuat seorang anak kecil menangis tapi untuk menyadarkan mereka mereka yang merasa bisa menyanyi," ujarnya membela diri.
Saya tidak tahu bagaimana kelakuan ataupun komentar para juri untuk acara serupa di Indonesia tapi saya yakin tidak ada yang sepolos Bohlen dalam berkomentar.


Source: Bild and RTL TV.

Donnerstag, 11.01.2007.





Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Winter yang bukan Winter

Banyak orang yang bertanya tanya tentang musim dingin kali ini. Pasalnya, sampai memasuki minggu kedua bulan January, salju belum juga turun. Bulan desember lalu sempat sekali dua kali salju turun tapi hanya seadanya, setelah itu lebih sering hujan ataupun sekedar mendung.

Awalnya saya termasuk yang menikmati hal ini dan berharap salju gak turun selama mungkin karena musim dingin (salju) lebih banyak membawa kesulitan daripada kenikmatan untuk saya. Dengan temperature yang biasanya dua digit di bawah nol plus tumpukan salju di mana mana, membuat gerak saya lebih sering terbatas secara fisik dan psikis (baca: unsur malas yang kental).
Mulai dari gak bisa main tennis (yang indoor amat mencekik leher), gak bisa jogging untuk ngecilin ikat pinggang di perut, sampai harus bangun tengah malam untuk kencing saking dinginnya. Belum lagi soal pakaian yang harus berlapis lapis dipakai dari ujung jempol kaki sampai ujung rambut.


Tapi belakangan, saya jadi ikutan khawatir dengan keadaan ini. Bukan karena ikut prihatin dengan pengusaha pemilik ski resort yang mulai merugi, bukan pula prihatin dengan penggemar olahraga ski yang sangat menanti2 turunnya salju ataupun anak saya yang mulai sering bertanya kapan bisa bermain schlittenfahren lagi (berseluncur dari bukit2 yang tertutup salju), melainkan prihatin dengan keadaan lingkungan kita. Sudah separah itukah dampak global warming di planet ini?

Spiegel, awal desember lalu sudah menuliskan bahwa Jerman mengalami Autumn terhangat dalam 500 tahun terakhir dan trend ini akan berlanjut saat winter!!
Pegunungan Alpen sendiri -yang membentang dari Austria ke Slovenia melewati Italy, Swiss, Jerman dan Perancis- dikabarkan tidak pernah mengalami kehangatan seperti ini dalam 1300 tahun sebelumnya!!!. Belum lagi jika membaca bagaimana beruang kutub berubah menjadi kanibal dan terancam punah, banjir dan topan terjadi di bagian bumi yang lain, bahaya kekeringan dan kelaparan atau glaciers yang terus mencair. Kalau sudah begini, saya cuma berharap mudah2an salju cepat turun dan semoga ketidakseimbangan ekosistem di planet ini tidak bertambah parah.


Mari berbuat sesuatu untuk planet ini! Visit Greenpeace for more information!

Picture taken from: www.circadianshift.net


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Madrid versus Muenchen

Madrid dan Muenchen “hanya” berjarak sekitar 2 jam waktu tempuh penerbangan namun keduanya bagaikan dua dunia yang betul betul berbeda. Membandingkan keduanya bagaikan membandingkan gaya permainan Bayern Muenchen dan Real Madrid. Satunya disiplin, kaku dan straight to the point sementara yang satunya lebih bermain dengan hati, mencoba menikmati permainan, berseni, meski tujuan akhirnya sama mencapai kemenangan. Tentu saja opini saya berikut ini sangat subjektif dan terbatas karena hanya bisa menikmati kota Madrid dalam hitungan hari.


Madrid International Airport aka Baraja tidak lebih baik dibandingkan dengan Frans Joseph Strauss Airport. Setidaknya tidak di bagian kedatangan terminal satu, tempat kami tiba. Sebagai salah satu kota terpadat dan paling sering dikunjungi di Eropa, semestinya Madrid lebih membenahi airportnya ini. Kesan tua dan kurang terawat sangat kental terasa terutama di tempat check in, pengambilan luggage dan toilet. Kenyamanan transportasi dari airport ke pusat kota juga kalah jauh dibandingkan di Muenchen. Hal menarik, taksi gelap banyak berkeliaran di sekitara airport (jadi ingat Cengkareng) yang mustahil didapatkan di Muenchen.


Menikmati perjalanan dari airport ke pusat kota sudah memberi kesan betapa berbedanya kota ini dengan Muenchen. Tingkah laku pengendara di jalan, coretan coretan graffiti di sebagian besar dinding bangunan yang ada serta suasana kotanya. Di Muenchen, bus angkutan umum hanya mengambil dan menurunkan penumpang di halte yang telah disediakan. Taksi pun begitu, tidak pernah saya melihatnya mengambil atau menurunkan penumpang di tengah jalan meski misalnya saat menunggu lampu sedang merah. Di Madrid sering saya mendapati sopir bus yang membukakan pintu untuk penumpang meski bukan tepat berada di haltenya. Sopir taksi juga seenaknya berhenti demi penumpang meski kendaraan di belakangnya terpaksa menunggu. Yang positif adalah, kendaraan di belakangnya dengan sukarela menunggu tanpa membunyikan klakson. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan hal ini. Kebanyakan orang juga sering menyeberang jalan sembarangan tanpa harus menyeberang di zebra cross atau dekat lampu merah. Hal yang agak “memalukan” jika dilakukan di Muenchen.




Ibarat gadis, Madrid lebih banyak menarik perhatian turist. Lebih menawarkan keindahan dan kehangatan (udaranya) dibanding Muenchen. Ada banyak yang ditawarkan mulai dari Royal Palace, Buen Retiro Park yang dibuka sejak 1631, Puerta de Alcala, Prado Museum, Cibeles Square sampai Toledo yang terletak agak di luar kota. Selain itu beberapa kantor, hotel ataupun restaurant menempati gedung gedung tua yang berusia ratusan tahun banyak saya dapati. Hampir setiap sudut kota kental dengan peninggalan sejarahnya. Sayangnya ada banyak tangan jahil yang merasa kreatif dan mencoreti dinding-dinding apartement, gedung ataupun pertokoan. Coretan2 graffiti ini banyak dijumpai dan agak mengganggu pemandangan kota.


Dalam hal transportasi, saya lebih menyukai Muenchen. Madrid mungkin terlalu padat sehingga kemacetan -utamanya saat rush hours- tidak bisa dihindari. Meski tidak separah di Jakarta, pemandangan mobil yang berjejer memanjang di jalanan jadi santapan di pagi dan sore hari. Kenyamanan ber -underground juga setali tiga wang. Metro di Madrid relatif lebih kecil dengan daya tampung lebih sedikit. Stasiunnya pun tidak ramah bagi penyandang cacat ataupun orang yang bepergian dengan anak kecil atau kereta bayi. Lift dan escalator tidak tersedia di banyak stasiun. Kalaupun ada, tidak sampai ke bawah ke tempat Metro berhenti. Di stasiun Metro Sol dan Gran Via -dari kereta menuju keluar stasiun- ada beberapa tangga dan “pintu pembatas” yang harus dilewati. Di saat jam sibuk, butuh waktu beberapa menit untuk keluar dari stasiun. Sulit dibayangkan jika terjadi hal hal bersifat emergency (semoga tidak pernah terjadi) yang membuat orang berebutan untuk keluar, akan banyak menimbulkan korban yang terjepit ataupun terinjak karena acces keluar yang sempit dan rumit ini.

Entah karena musim libur atau memang betul betul ramai, suasana kota Madrid cukup padat dibanding Muenchen. Apalagi di daerah Plaza Mayor, Puerta del Sol dan Gran Via yang merupakan pusat kota, penuh dengan “lautan” manusia utamanya menjelang sore sampai tengah malam. Di pagi sampai siang hari, tempat ini masih relatif lapang. Kalaupun ada yang menarik perhatian adalah antrian panjang sampai berbelok seperti ular dari orang orang yang sedang antri membeli kupon lotto. Rupanya ada banyak pemimpi di kota ini. Saat sore menjelang, suasana menjadi lebih padat, untuk berjalanpun sangat sulit. Restaurant dan toko souvenir di sekitarnya penuh jejal manusia. Beberapa wanita penghibur berdiri menunggu pelanggan juga terlihat. Ada yang sendiri, adapula yang berkelompok. Berkulit hitam atau putih, berambut pirang ataupun cokelat, semuanya ada. Bahkan ada pula yang berkulit putih bermata sipit tipikal wanita asia timur. Satu lagi, di Madrid begitu banyak pendatang yang berasal dari Amerika Selatan sehingga muka muka “melayu” yang familiar di mata mudah dijumpai.


Last but not least, harga-harga di Madrid relatif lebih murah dibanding di Muenchen. Hal ini berlaku untuk pakaian dan sepatu, souvenir serta tarif taksi. Kostum sepakbola yang aspal dengan harga miring juga ada di mana mana. Di Muenchen kostum sepakbola aspal seperti ini bagaikan hujan di musim kemarau. Sementara harga makanan dan akomodasi relatif sama.
Jadi, enakan mana tinggal di Madrid atau di Muenchen? Tergantung keinginan anda. Buat saya, Madrid mungkin lebih menarik buat turis tapi untuk tinggal saya lebih memilih Muenchen dengan segala keteraturan dan kekakuannya.


Sebagai perbandingan silahkan tengok tentang kedua kota tersebut di sini:

Madrid
Muenchen







Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Santiago Bernabeu


Untuk sebagian turis yang mengunjungi kota Madrid, berkunjung ke Santiago Bernabeu adalah hal yang tidak boleh dilewatkan. Kenyataannya, stadion kebanggaan tim Galacticos ini bisa menyedot ratusan turis lokal dan manca negara setiap harinya hanya untuk sekedar melihatnya dari dekat. Berbeda dengan Giuseppe Meazza di Milan, Allianz Arena di Munich, atau Amsterdam Arena yang terletak relatif di luar kota, Estadio Santiago Bernabeu masih terletak tidak jauh dari pusat kota. Mungkin pada saat dibangun pada tahun 1947, daerah Paseo de la Castelanna masih tergolong sepi dan seiring dengan perjalanan waktu tumbuh menjadi daerah padat. Yang jelas saya bisa membayangkan bagaimana macetnya daerah ini jika Real Madrid bertanding.
Untuk menuju ke sana, dari pusat kota Gran Via, stadion yang terakhir kali direnovasi pada tahun 2003 lalu ini bisa ditempuh dengan bus, taxi ataupun kereta bawah tanah (Metro). Dengan taksi pada jika bukan saat rush hour, memakan waktu hanya sekitar 10 menit dengan biaya sekitar 10 Euro.
Dari depan, stadion ini mengingatkan saya akan struktur stadion di San Siro. Sore itu, ada beberapa orang yang antri bersama saya untuk membeli tiket tournya. Beberapa diantaranya adalah orang India, yang selama ini saya pikir hanya menggandrungi olahraga cricket.

Setelah membayar 20 euro untuk dua orang dewasa (anak di bawah 6 tahun gratis), tour pun dimulai dengan memasuki stadion dari pintu bagian utara. Para pengunjung langsung dibawa ke bagian teratas stadion dengan menggunakan lift yang berukuran besar. Dinding lift yang menghadap keluar terbuat dari kaca jadi setiap orang di dalamnya bisa melihat pemandangan kota seiring dengan naiknya lift. Keluar dari lift, pengunjung disuguhi pemandangan stadion dari atas. Dari panoramic view ini, pengunjung "dilepas" untuk menikmati stadion sesuka hati. Berphoto ria ataupun duduk membayangkan sedang menonton Raul dkk sedang bermain. Selebihnya, pengunjung hanya perlu mengikuti setiap petunjuk atau tanda panah yang ada untuk mengunjungi bagian stadion lainnya.



Dari sana, kami lalu bergegas menuju ke bagian Museum. Dari "lorong" ruangan ke sana, suara rekaman supporter yang menyanyi ataupun sedang merayakan gol menjadi penghangat suasana. Poster poster berukuran besar terpampang di dinding, menampilkan pemain2 legendaris Real Madrid sejak awal berdirinya. Selain itu ada juga moment2 penting, seperti ketika mereka menjuara kompetisi domestik, piala UEFA ataupun Champions League.

Di dalam museumnya sendiri, dipajang trophy yang pernah dimenangkan oleh klub terbaik abad 20 ini. Ada beberapa trophy yang sudah karatan karena di makan usia. Selain itu dipajang pula beberapa pasang sepatu mantan bintang kesayangan klub tersebut dan juga bola yang pernah dipakai dalam partai penting. Di ruangan ini juga ada beberapa layar TV yang dipasang yang menayangkan gol gol penting dalam sejarah klub. Saat itu yang ditayangkan adalah gol Pedrag Mijatovic di final champions league tahun tahun 1998 melawan Juventus sementara layar disampingnya menayangkan gol Raul Gonzales melawan Valencia di final tahun 2000.
Dari Museum, kami berkunjung ke ruang ganti pemain. Di sini, selain bangku kayú ukuran panjang dan lemari berbentuk locker, tersedia pula tempat shower dan kolam jacuzzi mini berukuran bulat tempat pemain melepas lelah sejenak setelah pertandingan.
Tidak jauh dari situ, ada tempat konferensi pers dalam ruangan yang relatif mewah dengan kursi kursinya lumayan empuk.
Setelah itu, pengunjung diberi kesempatan untuk melihat lapangan dari dekat. Menikmati rumputnya yang berkualitas tinggi, duduk di kursi VIP ataupun merasakan empuknya kursi untuk pelatih dan pemain cadangan di pinggir lapangan.
Bagian akhir dari tour ini adalah shopping center tempat segala souvernir dan pernak pernik yang berhubungan dengan Real Madrid ditawarkan. Mulai dari kostum asli, peralatan sekolah, gantungan kunci, gelas, syal sampai bantal.
Hari itu, pengunjung yang berbelanja di shopping center tidak terlalu ramai. Jauh bila dibandingkan dengan shopping center FC Barcelona di Nou Camp yang sangat padat. Mungkin karena prestasi Madrid sedang menurun belakangan ini.


Montag, 01.01.2007


Baca selanjutnya.....
___________________________________________