Bahasa Burung

Jadi buta huruf dan gak ngerti bahasa orang itu betul betul menyesakkan. Beberapa kejadian yang kami alami di Madrid beberapa hari lalu menjadi bukti. Dari bandara menuju ke tempat penginapan, kami hanya bisa berkomunikasi memakai bahasa burung saat nego harga dengan sopir taksi. Si bapak nyerocos dalam Spanish sementara saya selalu menjawab dalam English. Akhirnya harus menyerah, meskipun merasa tarif agak kemahalan.:-(

Kejadian lain saat memesan makanan di sebuah restoran cepat saji. Saat antri saya sudah mengira ngira apa yang bakal saya katakan pada sang kasir nantinya. Saat tiba giliran, pertanyaan pertama saya adalah, “do you speak English?”. Melihat sang kasir tanpa ekpresi tetap memandangi, saya sadar saatnya untuk kembali berbahasa burung.
“Uno, menu numero Uno. Uno menu numero Dos,” ujar saya pede sambil menunjuk gambar menu di belakangnya. Maksudnya satu untuk menu satu dan satu untuk menu dua.

“si”, jawabnya lalu bolak balik menyediakan pesanan saya. Apa daya, yang datang berbeda dengan yang saya pesan. Pengen protes? Gimana ngomongnya sementara antrian di belakang mulai panjang.
Saat saya minta menu untuk anak (kids menu) yang ada hadiahnya, saya dengan tenangnya berkata…"bambino menu". Dia bingung. Saya kemudian sadar, itukan bahasa Italy.
"El Niño menu?," ujar saya lagi. Saya ingat bahwa Niño dalam bahasa Spanyol berarti anak kecil laki laki. Dia tetap bingung, gak ngeh. Entah ngomong saya yang gak jelas atau dia yang agak telmi. Ujung ujungnya minta menu numero uno lagi..:-(
Ketika anak saya protes kenapa dia gak dapat mainan seperti anak di meja sebelah, saya cuma bisa bilang karena bapaknya anak itu bisa bahasa Spanyol.

Lain lagi saat menunggu kereta (Metro) menuju ke Atoucha Renfe. Saat itu keretanya sudah datang, tapi saya cuek saja karena yang tertulis di papan informasi adalah FELIZ NAVIDAD dan bukan Congosto seperti tujuan kereta yang saya tunggu.

"Kok keretanya dibiarin lewat?" tanya istri saya.
"Bukan sayang. Itu ke Navidad bukan ke Congosto," jawab saya tenang.
"Pa…Feliz navidad itu artinya selamat natal. Semua kereta di jalur ini menuju ke arah Congosto."
Saya cuma melongo lalu kemudian tersenyum geli. Untung saja Metronya lewat setiap lima menit.


29.12.2006




Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Bahasaku Bahasamu

Kata orang orang, bahasa menunjukkan bangsa. Tapi saya sering bingung bagaimana menafsirkannya. Apakah jika dikatakan bahwa bahasa Indonesia termasuk bahasa yang sederhana menunjukkan bahwa kita juga termasuk bangsa yang paling sederhana? Sederhana dalam hidup, berpikir atau ber tingkah laku?

Setidaknya bahasa bisa menunjukkan sejarah masa lalu bangsa itu sendiri. Karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan yang terbentuk dari hasil interaksi sesama manusia dalam perjalanan waktu yang panjang. Kosa kata bahasa kita yang banyak diambil dari bahasa Sansekerta, bahasa Arab ataupun Belanda menjelaskan dengan sendiri betapa wilayah dan kakek moyang kita dulu banyak berinteraksi, kalau tidak mau dibilang “didominasi” oleh orang orang pengguna bahasa asing tersebut.

Dalam skala lebih kecil, bahasa menunjukkan seseorang. Bukan saja bahasa dalam artian tutur kata dan cara bicara tapi juga dalam penguasaan bahasa lain selain bahasa ibu. Di dunia yang katanya sudah mengglobal ini., bahasa asing sudah terintegrasi menjadi bagian dari kualitas seseorang. Tak heran, di sekeliling kita, begitu banyak yang sering berbicara ataupun menulis, sengaja ataupun tidak sengaja, mencampurnya dengan bahasa asing. Entah untuk sekedar tampil keren atau memang otaknya sudah tidak mampu memilah jenis kata yang terucap.


Yang berlebihan, seringnya instansi atau perusahaan mewajibkan setiap calon karyawan untuk bisa berbahasa inggris meski kerjaan ataupun bisnis mereka sendiri tak membutuhkan hal itu. Seorang kenalan pernah “terkecoh” oleh sebuah iklan berbahasa Inggris yang mencari tenaga akuntansi sekaligus menguasai bahasa Inggris. Usut punya usut, ternyata itu adalah lowongan kerja dari sebuah toko emas yang notabene pelanggannya orang local semua. Kalau begitu, bahasa Inggris buat apa?
Dulu juga saya pernah melamar kerjaan dengan syarat yang sama. Semua ujian dan wawancara berlangsung dalam bahasa Inggris. Setelah diterima, saya diberitahu bahwa mereka punya beberapa expatriates dari Korea . Lucunya, expat yang ada di kantor kurang bisa berbahasa Inggris. Setiap kali ditanya, lebih banyak menjawab Yes dan No doang…:-)

Berbicara tentang bahasa asing, beberapa rekan kerja di sini membuat saya iri. Ada beberapa rekan yang berasal dari Tunisia, menguasai bahasa Arab dan Perancis karena kedua bahasa itu yang menjadi bahasa nasional mereka. Di sekolah dia juga belajar bahasa Inggris dan setelah tamat melanjutkan kuliahnya di Jerman. Total jenderal dia bisa berbicara dalam keempat bahasa tersebut sama baiknya.

Ada pula rekan yang ayahnya berasal dari Armenia, ibunya berdarah Yunani, dia dan saudara2nya lahir dan besar di Jerman. Dia tumbuh di daerah perbatasan dengan Perancis di mana bahasa Perancis jamak dipakai sebagai bahasa sehari hari. Belajar bahasa Inggris di sekolah. Menurutnya, dia tidak bisa lagi mengenali yang mana yang merupakan bahasa asing untuknya. Bahasa Armenia, Yunani, Perancis, Jerman ataupun Inggris sama saja buatnya.

Seorang pelayan di sebuah restoran cepat saji di sini juga membuat saya senyum. Meskipun menemukan pramusaji yang berbahasa Inggris adalah hal langka, tapi malam itu saya melihat dia dengan lancarnya “menukar” otaknya untuk berbicara Inggris dan Jerman dengan pelanggan yang ada. Ketika dia berbicara dalam bahasa Perancis dengan rekannya, saya jadi senyum karena berpikir dengan 3 bahasa itu dia mungkin tidak akan terdampar sebagai pramusaji jika saja dia di berada di Indonesia.

Kalau mau jujur, mereka itu sedikit diuntungkan oleh keadaan. Oleh letak geografis ataupun kondisi lingkungan (termasuk soal keturunan) mereka. Banyak diantara kita yang juga mengerti 3-4 bahasa. Mulai dari bahasa daerah, bahasa Indonesia dan setidaknya satu bahasa asing. Sayangnya, bahasa daerah ataupun bahasa Indonesia hanya dipakai dalam lingkup tertentu. Tidak seperti misalnya bahasa Perancis dan bahasa Arab buat orang Tunisia ataupun bahasa Spanyol buat sebagian besar orang Amerika Latin. Ibaratnya sebuah software, bahasa daerah dan Indonesia sudah menyita space di otak kita tapi kurang compatible dengan kebanyakan perangkat yang ada. Sementara software yang ada di kepala mereka lebih banyak diterima dan lebih flexible.

Meski begitu, kita harus tetap bangga dengan bahasa kita, mengajarkannya kepada siapa saja yang mau. Saya tidak habis pikir mendapati beberapa saudara kita yang telah lama menetap di luar ataupun yang menikah dengan orang asing, dengan senangnya berkata bahwa anak anak mereka tidak bisa ataupun kurang fasih berbahasa Indonesia. Tanpa sadar mereka telah mencabut bagian dari akar budaya yang sebenarnya menjadi hak asasi sang anak.Lalu bahasa asing? Tentu saja tetap perlu. Jangan sampai kejadian beberapa tahun lalu saat Menteri Pendidikan kita diwawancarai secara live di CNN terjadi pada kita. Waktu itu beliau lebih banyak ber ah ih ohnya daripada menjawab pertanyaan. Entah gugup entah tidak mengerti pertanyaan yang diajukan, setidaknya rasa kecewa sebagai orang Indonesi hanya bisa saya pendam. Semoga saja orang orang lain yang menonton saat itu lebih berpikir tentang “bahasa menunjukkan seseorang” dibanding “bahasa menunjukkan bangsa”.

24.12.06



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

What is in a Name...

"What's in a name? That which we call a rose.
By any other word would smell as sweet."

--From Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)

Saat William Shakespeare menuliskan naskah di atas dalam cerita tragedi Romeo dan Juliet, menurut saya, dia tidak sedang bermaksud menafikan pentingnya nama dalam arti keseluruhan. Juliet Capulet yang kebetulan mencintai seorang lelaki dari keluarga Montague yang merupakan musuh bebuyutan keluarganya menganggap bahwa ada (cinta) yang lebih penting daripada nama. Bahwa dia mencintai Romeo sebagai seorang lelaki dan bukan sebagai anak keturunan klan Montague.

Dalam kehidupan sehari hari sekarang ini, hampir 400 tahun setelah kematian Shakespeare, masih saja ada orang yang menganggap nama lebih penting daripada diri sendiri. Bukan nama panggilan ataupun nama sejak lahir melainkan yang ada di depan ataupun di belakang nama (baca:gelar).

"...tapi nama itu penting, " sela Parjo saat menikmati pisang goreng dan secangkir kopi di sebuah warung pinggir jalan. "Apalagi di jaman sekarang ini. Nama bisa berarti fasilitas, kemudahan ataupun duit," lanjutnya.
"Memang penting. Tapi bukankah kualitas ataupun tingkah laku yang empunya nama yang lebih penting, Jo?" ujar Pandul.

"Contohnya, sekarang ini begitu banyak orang yang menunaikan ibadah haji dengan maksud tertentu. Begitu kembali ke tanah air, buru buru buat kartu nama baru, papan nama baru dengan tambahan huruf H di depan namanya. Padahal mabrur tidaknya ibadah haji terlihat dari perbuatan dan sikapnya dengan sesama manusia," jelas Pandul panjang lebar.
"Lalu minta dipanggil pak Haji atau bang Haji ya Ndul?" tambah Parjo.
Pandul tersenyum mengiyakan.

"Mahal amat atuh biaya huruf H nya. Mending juga duitnya buat modal Bibi jualan. Lebih bermanfaat dan lebih mulia," tiba tiba bi Omeng yang punya warung ikut ikutan nimbrung.
"Ah bibi kayak nggak tau aja. Bantuin Bibi mah gak mendatangkan manfaat buat dia. Lain halnya kalau dia naik haji, masuk koran atau tipi. Imagenya di masyarakat bisa naek. Besok besok mencalonkan diri jadi wakil rakyat, orang orang bisa simpati hanya gara gara huruf H di depan namanya itu, meski kita gak ngerti kelakuannya di belakang," kata Parjo.
"Kalau itu mah gampang diatur. Dia kan bisa juga ngundang wartawan inpotenmen waktu bantuannya diserahkan ke Bibi," elak bi Omeng.
"Infotainment Bi, bukan inpotenmen. Memangnya impoten?" potong Parjo.
"Itulah, Bibi kagak ngerti nyebutnya. Yang penting Bibi juga masuk tipi sekaligus dapat bantuan buat modal dagangan," ujarnya tersipu sambil mengangkat pisang goreng yang telah matang dari wajan penggorengan di depannya.

"Ngomong-ngomong soal nama, bukan cuman gelar haji tapi gelar pendidikan formal juga jadi koleksi mereka. Sekolahnya di mana gak jelas, bergelar sarjana sampai master tapi kelakuan kayak anak SD," kata Pandul lagi.
"Saya juga pernah baca, katanya hanya di Indonesia orang lulus master sampai masuk koran. Ucapan selamat dari sana sini. Di luar negeri gak pernah begitu, " tambah Parjo.
"Lho emangnya nak Parjo sudah pernah ke luar negeri?" tanya Bi Omeng heran.
"Gak Bi, itu yang saya pernah baca," ujarnya tersenyum sambil menyeruput kopinya.
"Mungkin karena di luar negeri, hal itu sudah dianggap biasa," kata Pandul.
"Mungkin juga orang di sana lebih peduli kenyataan dibanding yang di atas kertas. Tidak seperti kita yang selalu silau dengan yang tertera di kartu nama dibanding praktiknya," tambah Parjo lagi.
"Saya mah boro boro nyekolahin anak sampai dapat gelar mister begitu, tamatin anak sampai SMA aja susahnya minta ampun," ujar Bi Omeng.
"Gelar master Bi, bukan mister, " koreksi Parjo. Dia kemudian berdiri dan menyerahkan beberapa lembar uang seribuan kepada Bi Omeng. "Udah ah, mau narik dulu. Kalau taksinya kelamaan nganggur, anak istri makan apa di rumah," kata Parjo sambil pamit.
"Saya juga Bi, mau ke sebelah dulu," Pandul sumringah sambil menunjuk ke arah bengkelnya. "Kayaknya ada orang yang pengen ditambal ban motornya."
Sebelum berlalu, Pandul berkata, " Udah, Bibi banyak berdoa aja, supaya ada orang yang "khilaf". Uang untuk berangkat haji disumbangkan ke Bibi. Bisa buat nambah modal juga buat nyelesaiin sekolah anak. Satu lagi, bibi bisa masuk tipi."

span >18.12.06


Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Kata Hati, Nafsu dan Bujuk Iblis….

Sering saya bingung membedakan mereka. Ketiganya abstract dan tak terlihat, gelap, tak berbentuk, bermain main di alam pikiran. Ketika seseorang berkata bahwa iman lah pembedanya maka saat itu pula saya semakin terbenam dalam benang benang nurani yang kusut.

Jika seseorang memutuskan untuk mencampur darahnya dengan sesuatu yang terlarang menurut ajaran yang dianutnya, apakah dia baru saja mendengarkan kata hati, nafsu atau bujuk rayu Iblis? Atau sebaliknya, dia baru saja mengingkari hati nurani dan alam pikirannya? Lalu siapakah yang bersorak paling girang saat setiap tetesnya membasahi tenggorakan, mengisi lambungnya? Kata hatinya kah, nafsu atau iblis di sekelilingnya?

Saat seseorang memutuskan untuk melanjutkan lelap dalam dingin embun pagi dibanding bersuci lalu bersujud kepadaNya, apakah dia sedang mengikuti kata hati, nafsu atau bujuk iblis? Lalu dari mana datangnya rasa berdosa itu? Ke mana harus dibuang segala penyesalan?

Bila seseorang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadinya, apakah dia sedang menjadi budak nafsu atau budak iblis? Apakah dia sedang mengingkari hati nuraninya? Bagaimana jika hati nuraninya sendiri bersorak girang saat itu? Lalu kenapa pula selalu ada Iblis sebagai keranjang sampah? Tempat menunjuk sumber segala salah dan dosa? Tidak adakah iblis yang berhati mulia seperti halnya manusia yang berhati iblis?

Jika seseorang memutuskan menekan tombol untuk meledakan bom yang ada di tas punggungnya, di tengah keramaian, tak peduli nyawanya jadi taruhan, nyawa para wanita dan anak anak kecil yang tidak berdosa, apakah dia sedang mendengarkan nuraninya, bisikan iblis ataukah nafsunya?

Kemarin, di dalam tram yang padat, dua orang lelaki berambut panjang sebahu mencuri perhatian seluruh penumpang yang melihatnya. Kumis mereka dibiarkan lebat tapi bibir mereka merah bergincu, dengan wajah penuh make up. Memakai tas tangan model wanita, celana pendek ketat yang cukup jauh di atas lutut, berbalut stocking, tutur kata dan gaya bicara yang feminine. Apakah mereka lebih mendengarkan kata nuraninya, nafsu atau bujukan iblis untuk tampil seperti itu? Mereka jelas jelas tidak sedang menuju ke sebuah Halloween party. Ketika sebagian menilai mereka abnormal, apa yang menjadi katalisatornya? Siapa yang lebih pantas tersenyum melihatnya? Orang orang yang mengaku normalkah atau iblis? Lalu bagaimana kata hati atau alam pikiran mereka memandang dunia ini, melihat orang lain? Apakah mereka memandang saya atau penumpang yang lain juga sebagai abnormal?

Dan mengapa setiap orang punya standar dosa yang berbeda? Ajaran agamakah, kebudayaan, atau lingkungan sekitar yang membentuk standar tersebut?
Standar moral dan “kelayakan” yang tidak senada.Dosa buatku belum tentu dosa buatnya. Normal untukku, tidak normal untuknya. Salah menurutku, benar serunya. Apakah dia memiliki kata hati yang berbeda denganku? Jalan pikiran yang berbeda? Nafsu yang tidak serupa atau bahkan iblisnya dan iblisku berasal dari jenis yang lain? Atau mungkin pula iblis hanya ada di sekitarku dan tidak di sekitarnya? Bilamana saya tahu bahwa suara yang mengiang di kepala adalah bujuk rayu iblis, suara hati atau bisikan dari pikiranku yang normal?

Jika kebenaran hakiki hanya milikNya, mengapa masih ada yang menilai dirinya benar dan menganggap yang lain salah. Merasa diri normal dan yang lain tidak normal. Merasa diri wajar, yang lain tak wajar. Merasa di jalan yang benar, yang lain sesat tak tentu arah.

…hingga kini, sesuatu yang abstract, tak terlihat, gelap , tak berbentuk, masih menari nari di kepalaku, entah sampai kapan.



elf.zwölf.nullsechs







Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Quantum Leap

Saya sedang tidak ingin menulis tentang fenomena dalam ilmu fisika yang merupakan penyebab tunggal emisi radiasi elektromagnet melainkan tentang serial TV bergenre science fiksi yang diperankan Scott Bakula yang sempat tenar di akhir tahun 80an sampai awal 90an dulu.
Kalau dalam Fisika, quantum leap (QL) diartikan sebagai perpindahan sebuah elektron dari satu bidang energi ke bidang energy lainnya di dalam atom, maka QL versi televisi adalah perjalanan seorang ilmuwan, Sam Beckett, yang selalu mendapati dirinya terperangkap dalam lompatan waktu, di dalam tubuh seseorang. Kalau sudah begitu, satu satunya informan baginya adalah Al, imajinasi dalam bentuk holograf yang hanya bisa dilihat dan didengar oleh Sam Beckett sendiri.
Dia digambarkan hidup dari satu hidup ke kehidupan yang lainnya, dengan waktu yang berbeda beda, di dalam tubuh orang yang berlainan, lengkap dengan masalahnya masing masing. Dalam "perjalanannya" itu, Sam Beckett selalu meluruskan hal hal yang salah untuk menghindarkan seseorang dari masalah ataupun musibah.

Seorang politisi di negeri kita sedang mengalami masalah sejak rekaman video "biru"nya dengan seorang artis yang bukan istrinya lalu lalang di jagat internet dan diungkap di berbagai media massa. Caci maki dari seluruh penjuru republik pun bermunculan. Si Politisi tidak saja harus melepaskan jabatannya tapi juga harus menanggung malu dan beban moral di hadapan keluarga dan masyarakat umum.


Lalu hubungannya dengan Sam Beckett? Terlepas dari perbuatannya yang memang tidak dapat dibenarkan, pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan politisi tersebut sekarang? Makan tak enak, tidur tak nyenyak, bukan karena si jantung hati tapi karena beban malu yang besar. Saya yakin dia pasti sangat berharap bahwa semua ini hanya mimpi lalu bisa segera bangun dari tidurnya. Toh kalau kita tetap memaksa untuk memvonisnya bahwa itu akibat dari perbuatannya sendiri, setidaknya kita bisa membayangkan perasaan dan kehidupan istri dan anak anak serta keluarga besarnya setelah kejadian itu. Beban yang harus mereka tanggung karena sesuatu yang tidak mereka perbuat. Bayangkan istrinya yang mungkin untuk sekedar menampakkan diri di depan para tetangganya pun enggan. Perasaan anak anaknya yang setiap hari mendapat cemohan di sekolah. Belum lagi kekecewaan orang tua si politisi. Tadinya mereka tentu bangga punya anak seorang wakil rakyat, materi berlimpah, lalu mengalami kejadian begini. Hampir pasti dunia tidak lagi indah dalam pandangan mereka saat ini.

Seandainya saja Sam Beckett, Al dan project quantum leapnya betul betul nyata, si politisi pasti tidak berpikir dua kali untuk memakai jasa mereka. Tidak peduli kalau setelahnya mereka harus tinggal di dalam gubuk bambu, tidur di atas alas tikar karena segala harta benda mereka habis untuk membayar jasa Sam Beckett, yang penting kejadian beberapa tahun silam tersebut bisa di "undo". Beckett akan masuk ke dalam tubuh politisi tersebut di waktu lampau, lalu memperbaiki kesalahan yang dilakukan olehnya dulu hingga ke depannya tidak ada lagi perselingkuhan dengan sang artis apalagi video mesum. Endingnya, sang politisi tetap eksis meniti karirnya, keluarga pun bahagia. Sayangnya itu cuma andai andai dan kenyataannya adalah dia telah kehilangan karir dengan menanggung beban hidup yang tidak ringan.

Dalam situasi dan level yang berbeda, kita sering merasakan hal yang sama. Merasa menyesal akan sesuatu yang kita perbuat atau tidak perbuat yang mengakibatkan sesuatu yang tidak (baca: kurang) kita inginkan.
Saya pernah menyesal ketika dalam sebuah wawancara kerja, berkata "terserah"
saat ditanyakan masalah gaji. Penyesalan muncul ketika mengetahui teman teman yang masuk bersamaan dengan kerjaan yang sama, menerima gaji lebih dari saya. "Seandainya saja saya meminta lebih...."pikir saya waktu itu.
Saat SD dulu, saya pernah membuat taplak yang melapisi meja makan tertutup api gara gara bermain spiritus di atasnya. Itu terjadi saat lebaran Idul Fitri, saat orang tua saya mengadakan open house, saat banyaknya tamu yang datang. Untung saja Om saya waktu itu bertindak cepat menarik taplak yang terbakar dan merendamnya ke dalam air. Tapi karena taplaknya ditarik, piring dan teman2nya, makanan dan konco2nya berserakan di lantai..:-) Kebayang bukan?
Ketika kemudian dihukum, saya lalu berandai andai untuk tidak bermain spiritus di meja makan.
Tadi sepulang kantor, saya merasa bersalah dan menyesal melihat sang anak menangis sedih karena tidak dibawakan majalah pesanannya.

Anda juga pasti punya moment moment di mana anda merasa menyesal akibat perbuatan anda sendiri.

Kita semua tahu ungkapan "penyesalan datangnya belakangan", jadi sebelum berbuat sesuatu, ada baiknya untuk selalu memikirkan dampaknya buat kita, orang2 yang kita cintai, karena hidup selalu berjalan ke depan, untuk mundur sedetik pun tak mungkin dan yang paling utama, karena Sam Beckett itu cuma tokoh fiksi..;-)


07.12.2006



Baca selanjutnya.....
___________________________________________

Tidak Semua Lelaki

Mahluk yang bernama laki laki, di jaman sekarang ini, jika punya harta berlebih apalagi dengan imbuhan kekuasaan dan atau ketenaran, SERINGKALI menjadi besar kepala dan lupa diri lalu merasa bisa berlaku adil. Lupa diri dalam artian tidak bisa berpikir jernih. Tidak bisa memakai logika. Entah dia cendekiawan, tokoh masyarakat ataupun public figure, begitu mata bertemu mata, pandang bertemu pandang, lalu jatuh ke selangkangan (ngakunya sih nyangkut ke hati dulu), maka seketika itu pula dia bagai kerbau dicocok hidung.

Primata mammalia yang satu ini kemudian berpikir perlunya berbagi dengan sesama. Maksudnya berbagi dengan sesama manusia yang umumnya berlainan jenis. Pembagian ini BIASANYA terbungkus dalam satu paket. Isinya tentu saja ada harta, terkadang melibatkan hati dan perhatian tapi yang SELALU ikut adalah kelamin.Tentang porsi yang mana yang lebih besar dalam paket ini berbeda beda dari setiap jenis LAKI LAKI.

Ada macam macam alasan ataupun tameng yang dikeluarkannya. Yang pertama tentu saja kitab suci yang menyebutkan dibolehkannya untuk menikahi lebih dari seorang wanita. Sayangnya dalam mengutip ayat tentang yang satu ini, si Laki Laki mungkin SENGAJA mengutip setengahnya saja. Mereka lupa ada syarat keadilan dalam ayat tersebut. Mereka tidak mau tahu bahwa dalam kitab suci juga ada ayat yang menyatakan bahwa satu(istri) lebih baik buat lelaki. Jika sang istri ataupun sang anak merasa tidak ikhlas sedikit saja di dalam hati, bukankah mereka telah teraniaya? Lalu pemimpin yang mana yang bisa disebut adil jika orang orang terdekatnyapun dianiaya? Apa arti adil buat suami itu hanya sekedar menggauli masing masing istri dengan frekuensi yang sama setiap minggu? Atau adil hanya sekedar memberi uang belanja bulanan yang sama? Bagaimana dengan perasaan sang istri ataupun kegalauan hati sang anak?


Tameng kedua buat mereka tentu saja riwayat hidup Rasulullah (peace be upon him).
Kebanyakan lelaki lupa bahwa jaman dahulu jamak orang orang beristri lebih dari satu. Lagipula di tanah Arab pada masa Nabi , wanita dan anak anak yang tidak memiliki suami/ayah akan kehilangan bukan saja sumber pemberi nafkah melainkan status sosial beserta hak haknya dalam masyarakat.
Kalau kita tetap saja ingin meniru sunnah Rasul, kenapa yang satu ini? Mengapa tidak mencontoh suri tauladan Beliau yang rela menafkahkan segala harta bendanya untuk siar agama? Mengapa bukan sifat Nabi yang jujur terpercaya? Atau kebiasaan Nabi yang lebih banyak sujud di malam hari memohon ampun dan keselamatan atas umatnya.


Alasan lain yang juga sering terucap adalah mengangkat derajat sang wanita. Derajat yang mana? Kalau yang dimaksud mengangkat derajat itu adalah perbaikan hidup buatnya, tidak harus dinikahi bukan? Apalagi cuma sekedar dikawini. Kenapa tidak diberi saja tunjangan setiap bulan atau anak2nya (kalau ada) disekolahkan. Bukankah yang begitu jauh lebih mulia dan tidak mengenal pamrih?

Tidak semua lelaki yang bertabiat demikian, tapi yang jelas, teramat banyak.


Baca selanjutnya.....
___________________________________________